Demi Pengungsi Merapi, Mereka Rela Pulang Dari Yogyakarta untuk Memasak
loading...
A
A
A
Saat datang ke dapur umum , warga tidak perlu membawa peralatan mengingat semuanya telah tersedia. Termasuk juga bahan makanan yang akan dimasak juga telah tersedia. Menu yang akan dimasak, daftarnya sudah disiapkan oleh petugas khusus yang membidangi dapur umum .
Tidak ada pembagian kerja secara khusus karena semuanya digarap bersama-sama. Mereka langsung tanggap terhadap apa yang harus dikerjakan. "Ada yang masak nasi, racik-racik dan lainnya. Sudah semua berjalan begitu saja," paparnya. Namun khusus untuk yang memasukkan bumbu ke masakan, dilakukan satu orang karena menyangkut rasa. (Baca juga: Bensin Tumpah, Warga Kobar Hajar Tetangga Sendiri Pakai Parang )
Ia mendapat tugas itu karena dalam keseharian memiliki usaha katering dan warung. Jika semua yang masak ikut memasukkan bumbu, dikhawatirkan rasa masakan menjadi tidak karuan. Sementara, menu yang dimasak adalah nasi, sayur, dan lauk pauk. Sayur dan lauk pauk berbeda-beda jenisnya, setiap memasak dan sudah ada daftar menunya.
"Pagi, siang, malam selalu ganti. Sekali makan beda lauknya," ucap Panti. Ia mengaku memasak dalam suasana kegotongroyongan sangat menyenangkan. "Asyik tidak asyik, harus asyik karena sudah kewajiban warga," lanjutnya.
Dirinya sengaja pulang karena ada kabar warga di desanya mengungsi. Meski pulang untuk waktu tiga hari, usaha katering dan warung makan di Yogyakarta, tetap jalan karena ada yang menunggu. (Baca juga: Relawan Kotak Kosong Dianiaya, Johnson Panjaitan Datangi Polres Raja Ampat )
Saat memasak, sesekali ibu-ibu melontarkan candaan agar tidak tegang. Mengingat pengungsi dari kelompok rentan terdiri dari balita, anak-anak, ibu hamil, difabel dan lansia, menu yang dimasak pun berbeda-beda. Terutama untuk balita, anak-anak, dan lansia dibuat khusus.
"Masakan untuk pengungsi balita dan lansia tentunya tidak sama. Kalau anak yang sudah agak besar, dengan yang orang dewasa, menunya bisa sama," lanjut Winarni (40). Untuk satu kali masak, membutuhkan beras sekitar 10 kilogram untuk memenuhi konsumsi sebanyak 200 orang.
Tidak ada pembagian kerja secara khusus karena semuanya digarap bersama-sama. Mereka langsung tanggap terhadap apa yang harus dikerjakan. "Ada yang masak nasi, racik-racik dan lainnya. Sudah semua berjalan begitu saja," paparnya. Namun khusus untuk yang memasukkan bumbu ke masakan, dilakukan satu orang karena menyangkut rasa. (Baca juga: Bensin Tumpah, Warga Kobar Hajar Tetangga Sendiri Pakai Parang )
Ia mendapat tugas itu karena dalam keseharian memiliki usaha katering dan warung. Jika semua yang masak ikut memasukkan bumbu, dikhawatirkan rasa masakan menjadi tidak karuan. Sementara, menu yang dimasak adalah nasi, sayur, dan lauk pauk. Sayur dan lauk pauk berbeda-beda jenisnya, setiap memasak dan sudah ada daftar menunya.
"Pagi, siang, malam selalu ganti. Sekali makan beda lauknya," ucap Panti. Ia mengaku memasak dalam suasana kegotongroyongan sangat menyenangkan. "Asyik tidak asyik, harus asyik karena sudah kewajiban warga," lanjutnya.
Dirinya sengaja pulang karena ada kabar warga di desanya mengungsi. Meski pulang untuk waktu tiga hari, usaha katering dan warung makan di Yogyakarta, tetap jalan karena ada yang menunggu. (Baca juga: Relawan Kotak Kosong Dianiaya, Johnson Panjaitan Datangi Polres Raja Ampat )
Saat memasak, sesekali ibu-ibu melontarkan candaan agar tidak tegang. Mengingat pengungsi dari kelompok rentan terdiri dari balita, anak-anak, ibu hamil, difabel dan lansia, menu yang dimasak pun berbeda-beda. Terutama untuk balita, anak-anak, dan lansia dibuat khusus.
"Masakan untuk pengungsi balita dan lansia tentunya tidak sama. Kalau anak yang sudah agak besar, dengan yang orang dewasa, menunya bisa sama," lanjut Winarni (40). Untuk satu kali masak, membutuhkan beras sekitar 10 kilogram untuk memenuhi konsumsi sebanyak 200 orang.
(eyt)