Demi Pengungsi Merapi, Mereka Rela Pulang Dari Yogyakarta untuk Memasak
loading...
A
A
A
BOYOLALI - Suasana kegotongroyongan menjadi warna di dapur umum Tempat Penampungan Pengungsian Sementara (TPPS) di Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Para perempuan yang tinggal di sekitar pengungsi an, ikhlas memasak bergiliran agar konsumsi tersedia tiga kali sehari. (Baca juga: Geger Warisan, Seorang Adik di Nias Utara Tega Habisi Kakak Kandung )
Keramahan, serta tegur sapa antara pengungsi dan warga di sekitar pengungsi an menjadi pemandangan yang akrab dilihat. Ciri khas masyarakat pedesaan yang kental dengan gotong royong, ramah, dan saling membantu tetap terjaga di Desa Tlogolele.
Ketika warga kategori rentan dari empat dukuh yang berjarak 3-5 kilometer dari puncak Gunung Merapi harus diungsikan mulai Senin (9/11/2020) kemarin, warga di sekitar pengungsi an tidak tinggal diam.
Warga setiap RT di sekitar TPPS yang berjarak sekitar 9 kilometer dari puncak Gunung Merapi , secara bergiliran memasak bersama. "Setiap RT giliran, sekali masak 12 orang," kata Panti (45) warga RT 1 RW 1 Dukuh Tlogolele. (Baca juga: 10 Kontainer Mebel Jepara Siap Ekspor Ludes Terbakar, Kerugian Rp15 M )
Dalam sehari, memasak dilakukan tiga kali. Yakni pagi, siang dan sore. Warga yang terlibat adalah ibu-ibu yang berasal dari RT 1 hingga RT 4 di Dukuh Tlogolele. Karena jumlah perempuan di satu RT saja sudah banyak, maka jatah memasak juga dibuat bergiliran.
Memasak untuk pengungsi bagi warga di sekitar TPPS di Desa Tlogolele, baru pertama kali ini. Sebab saat erupsi Gunung Merapi tahun 2010 silam, semua warga di Desa Tlogolele mengungsi ke wilayah Magelang. (Baca juga: Timses Bupati Pelalawan Diduga Kendalikan Jaringan Narkotika Internasional )
"Kalau sekarang sudah ada aba-aba (mengungsi), dahulu juga belum ada gedung ini," terangnya. Mendapat giliran memasak untuk pengungsi , warga di sekitar TPPS ikhlas dan gembira. "Saya saja yang kerja di Yogyakarta, pulang agar bisa ikut membantu," ucapnya.
Ia tidak tega ketika warga di desanya tengah dalam kondisi seperti ini, dirinya enak-enak mencari uang di Yogyakarta. Meski tidak terlalu kenal dengan warga di Dukuh Stabelan, Dukuh Takeran, Dukuh Belang, dan Dukuh Gumuk, yang tengah mengungsi, namun hal itu bukan menjadi hambatan untuk membantu di dapur umum .
Saat datang ke dapur umum , warga tidak perlu membawa peralatan mengingat semuanya telah tersedia. Termasuk juga bahan makanan yang akan dimasak juga telah tersedia. Menu yang akan dimasak, daftarnya sudah disiapkan oleh petugas khusus yang membidangi dapur umum .
Tidak ada pembagian kerja secara khusus karena semuanya digarap bersama-sama. Mereka langsung tanggap terhadap apa yang harus dikerjakan. "Ada yang masak nasi, racik-racik dan lainnya. Sudah semua berjalan begitu saja," paparnya. Namun khusus untuk yang memasukkan bumbu ke masakan, dilakukan satu orang karena menyangkut rasa. (Baca juga: Bensin Tumpah, Warga Kobar Hajar Tetangga Sendiri Pakai Parang )
Ia mendapat tugas itu karena dalam keseharian memiliki usaha katering dan warung. Jika semua yang masak ikut memasukkan bumbu, dikhawatirkan rasa masakan menjadi tidak karuan. Sementara, menu yang dimasak adalah nasi, sayur, dan lauk pauk. Sayur dan lauk pauk berbeda-beda jenisnya, setiap memasak dan sudah ada daftar menunya.
"Pagi, siang, malam selalu ganti. Sekali makan beda lauknya," ucap Panti. Ia mengaku memasak dalam suasana kegotongroyongan sangat menyenangkan. "Asyik tidak asyik, harus asyik karena sudah kewajiban warga," lanjutnya.
Dirinya sengaja pulang karena ada kabar warga di desanya mengungsi. Meski pulang untuk waktu tiga hari, usaha katering dan warung makan di Yogyakarta, tetap jalan karena ada yang menunggu. (Baca juga: Relawan Kotak Kosong Dianiaya, Johnson Panjaitan Datangi Polres Raja Ampat )
Saat memasak, sesekali ibu-ibu melontarkan candaan agar tidak tegang. Mengingat pengungsi dari kelompok rentan terdiri dari balita, anak-anak, ibu hamil, difabel dan lansia, menu yang dimasak pun berbeda-beda. Terutama untuk balita, anak-anak, dan lansia dibuat khusus.
"Masakan untuk pengungsi balita dan lansia tentunya tidak sama. Kalau anak yang sudah agak besar, dengan yang orang dewasa, menunya bisa sama," lanjut Winarni (40). Untuk satu kali masak, membutuhkan beras sekitar 10 kilogram untuk memenuhi konsumsi sebanyak 200 orang.
Keramahan, serta tegur sapa antara pengungsi dan warga di sekitar pengungsi an menjadi pemandangan yang akrab dilihat. Ciri khas masyarakat pedesaan yang kental dengan gotong royong, ramah, dan saling membantu tetap terjaga di Desa Tlogolele.
Ketika warga kategori rentan dari empat dukuh yang berjarak 3-5 kilometer dari puncak Gunung Merapi harus diungsikan mulai Senin (9/11/2020) kemarin, warga di sekitar pengungsi an tidak tinggal diam.
Warga setiap RT di sekitar TPPS yang berjarak sekitar 9 kilometer dari puncak Gunung Merapi , secara bergiliran memasak bersama. "Setiap RT giliran, sekali masak 12 orang," kata Panti (45) warga RT 1 RW 1 Dukuh Tlogolele. (Baca juga: 10 Kontainer Mebel Jepara Siap Ekspor Ludes Terbakar, Kerugian Rp15 M )
Dalam sehari, memasak dilakukan tiga kali. Yakni pagi, siang dan sore. Warga yang terlibat adalah ibu-ibu yang berasal dari RT 1 hingga RT 4 di Dukuh Tlogolele. Karena jumlah perempuan di satu RT saja sudah banyak, maka jatah memasak juga dibuat bergiliran.
Memasak untuk pengungsi bagi warga di sekitar TPPS di Desa Tlogolele, baru pertama kali ini. Sebab saat erupsi Gunung Merapi tahun 2010 silam, semua warga di Desa Tlogolele mengungsi ke wilayah Magelang. (Baca juga: Timses Bupati Pelalawan Diduga Kendalikan Jaringan Narkotika Internasional )
"Kalau sekarang sudah ada aba-aba (mengungsi), dahulu juga belum ada gedung ini," terangnya. Mendapat giliran memasak untuk pengungsi , warga di sekitar TPPS ikhlas dan gembira. "Saya saja yang kerja di Yogyakarta, pulang agar bisa ikut membantu," ucapnya.
Ia tidak tega ketika warga di desanya tengah dalam kondisi seperti ini, dirinya enak-enak mencari uang di Yogyakarta. Meski tidak terlalu kenal dengan warga di Dukuh Stabelan, Dukuh Takeran, Dukuh Belang, dan Dukuh Gumuk, yang tengah mengungsi, namun hal itu bukan menjadi hambatan untuk membantu di dapur umum .
Saat datang ke dapur umum , warga tidak perlu membawa peralatan mengingat semuanya telah tersedia. Termasuk juga bahan makanan yang akan dimasak juga telah tersedia. Menu yang akan dimasak, daftarnya sudah disiapkan oleh petugas khusus yang membidangi dapur umum .
Tidak ada pembagian kerja secara khusus karena semuanya digarap bersama-sama. Mereka langsung tanggap terhadap apa yang harus dikerjakan. "Ada yang masak nasi, racik-racik dan lainnya. Sudah semua berjalan begitu saja," paparnya. Namun khusus untuk yang memasukkan bumbu ke masakan, dilakukan satu orang karena menyangkut rasa. (Baca juga: Bensin Tumpah, Warga Kobar Hajar Tetangga Sendiri Pakai Parang )
Ia mendapat tugas itu karena dalam keseharian memiliki usaha katering dan warung. Jika semua yang masak ikut memasukkan bumbu, dikhawatirkan rasa masakan menjadi tidak karuan. Sementara, menu yang dimasak adalah nasi, sayur, dan lauk pauk. Sayur dan lauk pauk berbeda-beda jenisnya, setiap memasak dan sudah ada daftar menunya.
"Pagi, siang, malam selalu ganti. Sekali makan beda lauknya," ucap Panti. Ia mengaku memasak dalam suasana kegotongroyongan sangat menyenangkan. "Asyik tidak asyik, harus asyik karena sudah kewajiban warga," lanjutnya.
Dirinya sengaja pulang karena ada kabar warga di desanya mengungsi. Meski pulang untuk waktu tiga hari, usaha katering dan warung makan di Yogyakarta, tetap jalan karena ada yang menunggu. (Baca juga: Relawan Kotak Kosong Dianiaya, Johnson Panjaitan Datangi Polres Raja Ampat )
Saat memasak, sesekali ibu-ibu melontarkan candaan agar tidak tegang. Mengingat pengungsi dari kelompok rentan terdiri dari balita, anak-anak, ibu hamil, difabel dan lansia, menu yang dimasak pun berbeda-beda. Terutama untuk balita, anak-anak, dan lansia dibuat khusus.
"Masakan untuk pengungsi balita dan lansia tentunya tidak sama. Kalau anak yang sudah agak besar, dengan yang orang dewasa, menunya bisa sama," lanjut Winarni (40). Untuk satu kali masak, membutuhkan beras sekitar 10 kilogram untuk memenuhi konsumsi sebanyak 200 orang.
(eyt)