Pilkada Tetap Digelar 2020 Dianggap Untungkan Petahana
loading...
A
A
A
JAKARTA - Keputusan pemerintah untuk tetap melaksanakan Pilkada Serentak 2020 pada Desember tahun ini dianggap terlalu memaksakan diri.
Ada sejumlah risiko yang dihadapi penyelenggara pilkada, partai politik, dan calon kepala daerah.
Pengamat politik Arya Fernandes mengatakan pilkada pada Desember ini akan membuat atau menciptakan ketidakpastian. Pertama, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus membuat Peraturan KPU (PKPU) untuk pilkada serentak yang akan dilaksanakan di 270 daerah.
Pilihan Desember 2020 tentu membuat tahapan harus dimulai pada Juni atau Juli. Masalahnya, masa tanggap darurat penanganan COVID-19 itu baru berakhir pada 28 Mei nanti. DPR, pemerintah, dan KPU juga baru akan melakukan review mengenai memungkinkan atau tidak pilkada tetap digelar tahun ini pada Juni.
"Kalau tidak memungkinkan akan diundur. Risiko KPU jika mereka tidak mempersiapkan dengan baik. Ketika membuat PKPU dan mulai persiapan-persiapan pada Juni ditunda. Persiapannya menjadi sia-sia. Kalau tidak dilakukan persiapan, ternyata pilkada dapat dilakukan, tahapan ada yang kepotong," kata dia saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (9/5/2020).
Pilkada ini, kata dia, akan menguntungkan petahana. Alasannya, penantang dalam kondisi pandemi COVID-19 dan beberapa daerah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak bisa bergerak. Sementara itu, petahana sudah dikenal oleh masyarakat. "Itu enggak fair bagi penantang," kata dia.
Kandidat mana pun memang akan kesulitan untuk sosialisasi ke masyarakat karena adanya aturan tidak boleh berkerumun. Namun, apabila mereka tidak bergerak dari sekarang, akan tertinggal atau disalip oleh kandidat lain.
Mereka juga butuh rekomendasi dari partai politik sebagai tiket berlaga dalam pilkada. Partai juga dilematis karena kalau tidak segera menerbitkan rekomendasi nantinya calonnya kehilangan waktu untuk kampanye.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) itu memprediksi partisipasi publik baik saat kampanye dan pemilihan akan turun. "Saya kira ini akan menciptakan kompetisi politik yang tidak fair," pungkas dia.
Ada sejumlah risiko yang dihadapi penyelenggara pilkada, partai politik, dan calon kepala daerah.
Pengamat politik Arya Fernandes mengatakan pilkada pada Desember ini akan membuat atau menciptakan ketidakpastian. Pertama, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus membuat Peraturan KPU (PKPU) untuk pilkada serentak yang akan dilaksanakan di 270 daerah.
Pilihan Desember 2020 tentu membuat tahapan harus dimulai pada Juni atau Juli. Masalahnya, masa tanggap darurat penanganan COVID-19 itu baru berakhir pada 28 Mei nanti. DPR, pemerintah, dan KPU juga baru akan melakukan review mengenai memungkinkan atau tidak pilkada tetap digelar tahun ini pada Juni.
"Kalau tidak memungkinkan akan diundur. Risiko KPU jika mereka tidak mempersiapkan dengan baik. Ketika membuat PKPU dan mulai persiapan-persiapan pada Juni ditunda. Persiapannya menjadi sia-sia. Kalau tidak dilakukan persiapan, ternyata pilkada dapat dilakukan, tahapan ada yang kepotong," kata dia saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (9/5/2020).
Pilkada ini, kata dia, akan menguntungkan petahana. Alasannya, penantang dalam kondisi pandemi COVID-19 dan beberapa daerah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak bisa bergerak. Sementara itu, petahana sudah dikenal oleh masyarakat. "Itu enggak fair bagi penantang," kata dia.
Kandidat mana pun memang akan kesulitan untuk sosialisasi ke masyarakat karena adanya aturan tidak boleh berkerumun. Namun, apabila mereka tidak bergerak dari sekarang, akan tertinggal atau disalip oleh kandidat lain.
Mereka juga butuh rekomendasi dari partai politik sebagai tiket berlaga dalam pilkada. Partai juga dilematis karena kalau tidak segera menerbitkan rekomendasi nantinya calonnya kehilangan waktu untuk kampanye.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) itu memprediksi partisipasi publik baik saat kampanye dan pemilihan akan turun. "Saya kira ini akan menciptakan kompetisi politik yang tidak fair," pungkas dia.
(nth)