Kisah Perlawanan Raden Mas Said hingga Menyerah ke VOC Belanda setelah Perjanjian Salatiga
loading...
A
A
A
Keberhasilan Raden Mas Said dari Keraton Kartasura dalam menguasai beberapa wilayah di Madiun dan Ponorogo dari tangan VOC Belanda berefek domino. Pasukan Belanda yang tak mau kalah dan wilayah kekuasaan terusik mencoba melakukan perlawanan.
Kala itu perlawanan dilakukan oleh Mayor JJ Steenmulder, yang mencoba mengunci pergerakan pasukan Raden Mas Said di Ponorogo. Langkah ini dilakukan oleh VOC Belanda usai pergolakan di Madiun Raya, hingga Jogorogo, yang kini masuk Ngawi.
Di sisi lain, hubungan Mangkubumi, penguasa Yogyakarta dengan Belanda yang mulai membaik mempengaruhi hal tersebut. Hal ini memunculkan situasi Mas Said yang membuat terbuka kembali ke keraton pada tahun yang sama 1754.
Di tahun 1754 pula itulah pergolakan di Madiun dan Ponorogo tak terelakkan. Pasukan Mas Said bertempur hingga akhirnya wilayah Ponorogo, Madiun, dan Caruban, kembali dikuasai oleh Keraton Kartasura. Tapi konsekuensinya Mas Said yang terdesak oleh serangan Belanda lari ke Pacitan.
Dikutip dari "Antara Lawu dan Wilis: Arkeologi, Sejarah, dan Legenda Madiun Raya Berdasarkan Catatan Lucien Adam Residen Madiun 1934-38" dikutip, Kamis (19/9/2024), serangan pasukan VOC Belanda di bawah Mayor JJ Steenmulder membuat Mas Said terpaksa melarikan diri. Namun demikian, dia berhasil bergerak kembali ke Ponorogo, Madiun, dan Kediri, bersembunyi di Daha.
Kemudian dari Daha, wilayah Kediri pasukan Mas Said berusaha untuk menembus keluar. Namun, pasukan raja, Mayor Steenmulder, dan Pangeran Madura bergerilya di sekelilingnya secara terus-menerus. Selain pelarian di Daha, Lucien Adam menemukan laporan mengenai pelariannya ke Ngawi melalui Bengawan Solo.
Pelarian ini dilakukan melalui Mantingan di bagian barat Ngawi yang dilanjutkan dengan pergerakan ke arah utara. Mas Said baru menyerahkan diri pada 17 Maret 1757 ketika menandatangani Perjanjian Salatiga dengan Kompeni yang mengakui statusnya sebagai Pangeran Adipati, alias Pangeran Amardika di Surakarta dengan apanase empat ribu cacah atau keluarga petani.
Menariknya, Babad Pacitan menyebutkan bahwa Pangeran Mangkubumi juga berkelana melalui daerah ini dengan beberapa orang pengikutnya. Pengikut yang mendampinginya saat itu adalah Ngabehi Notoprojo dan pengikut setianya, Bupati Setroketipo atau yang dikenal sebagai Raden Tumenggung Setrowijoyo I.
Kepada orang kedua tadi, sang pangeran memberikan hadiah berupa selirnya yang merupakan putri Demang Panggul, seorang penguasa dari sebuah daerah yang pernah ditinggalinya.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
Kala itu perlawanan dilakukan oleh Mayor JJ Steenmulder, yang mencoba mengunci pergerakan pasukan Raden Mas Said di Ponorogo. Langkah ini dilakukan oleh VOC Belanda usai pergolakan di Madiun Raya, hingga Jogorogo, yang kini masuk Ngawi.
Di sisi lain, hubungan Mangkubumi, penguasa Yogyakarta dengan Belanda yang mulai membaik mempengaruhi hal tersebut. Hal ini memunculkan situasi Mas Said yang membuat terbuka kembali ke keraton pada tahun yang sama 1754.
Di tahun 1754 pula itulah pergolakan di Madiun dan Ponorogo tak terelakkan. Pasukan Mas Said bertempur hingga akhirnya wilayah Ponorogo, Madiun, dan Caruban, kembali dikuasai oleh Keraton Kartasura. Tapi konsekuensinya Mas Said yang terdesak oleh serangan Belanda lari ke Pacitan.
Dikutip dari "Antara Lawu dan Wilis: Arkeologi, Sejarah, dan Legenda Madiun Raya Berdasarkan Catatan Lucien Adam Residen Madiun 1934-38" dikutip, Kamis (19/9/2024), serangan pasukan VOC Belanda di bawah Mayor JJ Steenmulder membuat Mas Said terpaksa melarikan diri. Namun demikian, dia berhasil bergerak kembali ke Ponorogo, Madiun, dan Kediri, bersembunyi di Daha.
Kemudian dari Daha, wilayah Kediri pasukan Mas Said berusaha untuk menembus keluar. Namun, pasukan raja, Mayor Steenmulder, dan Pangeran Madura bergerilya di sekelilingnya secara terus-menerus. Selain pelarian di Daha, Lucien Adam menemukan laporan mengenai pelariannya ke Ngawi melalui Bengawan Solo.
Pelarian ini dilakukan melalui Mantingan di bagian barat Ngawi yang dilanjutkan dengan pergerakan ke arah utara. Mas Said baru menyerahkan diri pada 17 Maret 1757 ketika menandatangani Perjanjian Salatiga dengan Kompeni yang mengakui statusnya sebagai Pangeran Adipati, alias Pangeran Amardika di Surakarta dengan apanase empat ribu cacah atau keluarga petani.
Menariknya, Babad Pacitan menyebutkan bahwa Pangeran Mangkubumi juga berkelana melalui daerah ini dengan beberapa orang pengikutnya. Pengikut yang mendampinginya saat itu adalah Ngabehi Notoprojo dan pengikut setianya, Bupati Setroketipo atau yang dikenal sebagai Raden Tumenggung Setrowijoyo I.
Baca Juga
Kepada orang kedua tadi, sang pangeran memberikan hadiah berupa selirnya yang merupakan putri Demang Panggul, seorang penguasa dari sebuah daerah yang pernah ditinggalinya.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
(kri)