Kisah Laskar Wanita Malang Bantu Pejuang dalam Perang Gerilya Melawan Belanda
loading...
A
A
A
PEJUANG wanita di Malang, Jawa Timur ikut mempertahankan kemerdekaan membantu gerilyawan. Mereka memang tidak angka senjata bergerilya, tapi menjadi perantara antar pasukan dan merawat para pejuang kemerdekaan yang terluka.
Laskar Wanita (Laswi) Malang yang dipimpin oleh Soeprapti berperan mengirimkan dokumen antar pasukan gerilyawan di beberapa wilayah di Malang raya. Para anggota Laswi ini juga punya andil dalam perawatan pejuang yang terluka saat agresi militer satu dan dua pada tahun 1948.
"Tidak jarang beliau menyamar sebagai seorang perawat, serta ikut berperan dalam penculikan dokter, antara lain dr Sutoyo dari rumah sakit Turen untuk dibawa ke daerah gerilya," kata pemerhati sejarah Malang Eko Irawan, Senin (26/8/2024).
Tak jarang kata Eko, pasukan wanita ini memberikan suplai obat-obatan ke para gerilyawan di markas masing-masing. Selain menyuplai obat-obatan, Laswi juga mengurus jenazah-jenazah korban pertempuran.
"Bu Prapti dan kelompoknya kaum wanita telah ikut berjuang sejak pertempuran Surabaya, sampai dengan perang gerilya di wilayah Karesidenan Malang. Mereka giat mengurus jenazah-jenazah korban pertempuran, memberikan bantuan perawatan kepada korban perang yang terluka, dan giat di di dapur umum," jelasnya.
Para gerilyawan ini memang memanfaatkan rumah-rumah warga sekitar untuk menjadi markasnya, hal ini untuk menghindari spionase atau mata-mata dari Belanda dan sekutunya. Terlebih ada beberapa wilayah yang harus dihindari oleh pejuang gerilyawan karena dikuasai Belanda.
"Tidak kalah pentingnya, para pejuang wanita tersebut merupakan mata dan telinga gerilyawan, sehingga sangat menguntungkan untuk menghindari serangan mendadak pasukan Belanda," kata pria pengelola Museum Reenactor Malang ini.
Pejuang Laswi juga harus menguasai medan dan mengerti pos-pos pemeriksaan yang didirikan tentara Belanda. Hal ini agar menghindari mereka tertangkap oleh Belanda, ketika melintasi pos-pos pemeriksaan dengan menyamar menjadi pedagang.
"Jadi butuh keberanian dan penuh resiko memang. Mereka juga jadi penunjuk jalan bagi para gerilyawan ini untuk bisa melintas rute yang aman. Mereka juga mengerti dan tahu tempat kedudukan komando dan pejuang gerilya," ujarnya.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
Laskar Wanita (Laswi) Malang yang dipimpin oleh Soeprapti berperan mengirimkan dokumen antar pasukan gerilyawan di beberapa wilayah di Malang raya. Para anggota Laswi ini juga punya andil dalam perawatan pejuang yang terluka saat agresi militer satu dan dua pada tahun 1948.
Baca Juga
"Tidak jarang beliau menyamar sebagai seorang perawat, serta ikut berperan dalam penculikan dokter, antara lain dr Sutoyo dari rumah sakit Turen untuk dibawa ke daerah gerilya," kata pemerhati sejarah Malang Eko Irawan, Senin (26/8/2024).
Tak jarang kata Eko, pasukan wanita ini memberikan suplai obat-obatan ke para gerilyawan di markas masing-masing. Selain menyuplai obat-obatan, Laswi juga mengurus jenazah-jenazah korban pertempuran.
"Bu Prapti dan kelompoknya kaum wanita telah ikut berjuang sejak pertempuran Surabaya, sampai dengan perang gerilya di wilayah Karesidenan Malang. Mereka giat mengurus jenazah-jenazah korban pertempuran, memberikan bantuan perawatan kepada korban perang yang terluka, dan giat di di dapur umum," jelasnya.
Para gerilyawan ini memang memanfaatkan rumah-rumah warga sekitar untuk menjadi markasnya, hal ini untuk menghindari spionase atau mata-mata dari Belanda dan sekutunya. Terlebih ada beberapa wilayah yang harus dihindari oleh pejuang gerilyawan karena dikuasai Belanda.
"Tidak kalah pentingnya, para pejuang wanita tersebut merupakan mata dan telinga gerilyawan, sehingga sangat menguntungkan untuk menghindari serangan mendadak pasukan Belanda," kata pria pengelola Museum Reenactor Malang ini.
Pejuang Laswi juga harus menguasai medan dan mengerti pos-pos pemeriksaan yang didirikan tentara Belanda. Hal ini agar menghindari mereka tertangkap oleh Belanda, ketika melintasi pos-pos pemeriksaan dengan menyamar menjadi pedagang.
"Jadi butuh keberanian dan penuh resiko memang. Mereka juga jadi penunjuk jalan bagi para gerilyawan ini untuk bisa melintas rute yang aman. Mereka juga mengerti dan tahu tempat kedudukan komando dan pejuang gerilya," ujarnya.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
(shf)