Kisah Penumpasan Paraku, TNI dan Rakyat Bersatu Lawan Kaki Tangan Malaysia
loading...
A
A
A
Letnan Kolonel Harsono Subardi, mantan Biro Intel POM Kodam XII Tanjungpura, menyatakan bahwa mereka melatih PGRS/Paraku untuk membantu memerdekakan Malaysia.
Namun, setelah pergantian pemerintahan dari Sukarno ke Soeharto, dan situasi politik anti-komunis, Paraku/PGRS menjadi musuh pemerintah Indonesia dan TNI. Pada akhirnya, TNI bersekutu dengan militer Malaysia dan Inggris untuk menumpas Paraku-PGRS.
Kemudian diberi label "Gerombolan Tjina Komunis" (GTK) oleh pemerintah Indonesia dan "Communist Terrorist" (CT) oleh pihak Malaysia. Karena putusnya jalur logistik dan pengungsian ribuan warga Tionghoa, gerakan PGRS/Paraku semakin terjepit.
Pimpinan PGRS/Paraku seperti Bong Kee Chok (menyerah 1973) dan Wen Ming Chyuan (menyerah 1990) akhirnya menyerah dan menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah Malaysia dan Indonesia.
Gerakan pembasmian PGRS/Paraku yang dimulai sejak 1967 menyebar luas di masyarakat lokal Dayak.
Sentimen rasial meningkat dengan mengidentikkan etnis Tionghoa Kalimantan sebagai anggota PGRS/Paraku, sehingga banyak mereka menjadi korban dalam gerakan pembersihan.
Lihat Juga: Momen Perubahan Gaya Hidup Sultan Hamengkubuwono IV yang Berseberangan dengan Pangeran Diponegoro
Namun, setelah pergantian pemerintahan dari Sukarno ke Soeharto, dan situasi politik anti-komunis, Paraku/PGRS menjadi musuh pemerintah Indonesia dan TNI. Pada akhirnya, TNI bersekutu dengan militer Malaysia dan Inggris untuk menumpas Paraku-PGRS.
Kemudian diberi label "Gerombolan Tjina Komunis" (GTK) oleh pemerintah Indonesia dan "Communist Terrorist" (CT) oleh pihak Malaysia. Karena putusnya jalur logistik dan pengungsian ribuan warga Tionghoa, gerakan PGRS/Paraku semakin terjepit.
Pimpinan PGRS/Paraku seperti Bong Kee Chok (menyerah 1973) dan Wen Ming Chyuan (menyerah 1990) akhirnya menyerah dan menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah Malaysia dan Indonesia.
Gerakan pembasmian PGRS/Paraku yang dimulai sejak 1967 menyebar luas di masyarakat lokal Dayak.
Sentimen rasial meningkat dengan mengidentikkan etnis Tionghoa Kalimantan sebagai anggota PGRS/Paraku, sehingga banyak mereka menjadi korban dalam gerakan pembersihan.
Lihat Juga: Momen Perubahan Gaya Hidup Sultan Hamengkubuwono IV yang Berseberangan dengan Pangeran Diponegoro
(ams)