Kisah Penumpasan Paraku, TNI dan Rakyat Bersatu Lawan Kaki Tangan Malaysia

Rabu, 07 Agustus 2024 - 07:43 WIB
loading...
Kisah Penumpasan Paraku,...
Tentara Indonesia melatih seorang warga menggunakan senapan untuk membantu penumpasan PGRS/Paraku. Foto/Situs Ind
A A A
Peristiwa pemberangusan Paraku/PGRS (Pasukan Rakyat Kalimantan Utara/Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak) pada era 60-an di Indonesia tercatat salah satu pelanggaran HAM. Dilaporkan adanya pembersihan etnis terhadap warga Tionghoa di pedalaman Kalimantan.

Buku "Tandjoengpoera Berdjoeng" tahun 1977 menyebutkan bahwa setidaknya 27.000 orang tewas, 101.700 warga mengungsi, dan 43.425 orang direlokasi ke Pontianak. Awalnya, PGRS/Paraku yang didominasi oleh etnis Tionghoa Kalimantan pada 1962-1964.

Bersama TNI dan sukarelawan Indonesia, melawan pasukan Malaysia selama konfrontasi Indonesia-Malaysia. Paraku/PGRS merupakan sayap bersenjata dari NKCP (North Kalimantan Communist Party), partai politik komunis di Sarawak, Malaysia.



Mereka terbentuk pada 19 September 1971 di bawah pimpinan Wen Min Chyuan. Pembentukan Paraku-PGRS terkait dengan konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia dari 1963 hingga 1966. Pemerintah Indonesia menolak pembentukan Federasi Malaysia yang didukung Inggris.

Wilayah Kalimantan Utara yang merupakan koloni Inggris dimasukkan ke dalam Federasi Malaysia tanpa persetujuan penduduk setempat, termasuk warga Tionghoa yang khawatir akan dominasi warga Melayu Semenanjung Malaya.

Pada 2 Desember 1963, Soebandrio, Wakil Menteri Pertama Indonesia, datang ke Kalimantan Barat untuk kampanye anti-Malaysia dan memperkenalkan Syekh AM Azahari, pemimpin Partai Rakyat Brunei.

Azahari memproklamirkan berdirinya Negara Nasional Kalimantan Utara (NNKU) pada 8 Desember 1962, mencakup Serawak, Brunei, dan Sabah. Pertemuan di Sintang dan Bogor memutuskan pembentukan pasukan bersenjata, cikal bakal PGRS dan Paraku.



Pasukan Paraku yang terdiri dari etnis Tionghoa dan berbagai etnis lain dilatih militer oleh TNI dan sukarelawan Indonesia. Kodam Tanjungpura memberikan pelatihan militer pada sukarelawan SUPP (Sarawak United People Party) dan sukarelawan dari Jakarta di Bengkayang.

Letnan Kolonel Harsono Subardi, mantan Biro Intel POM Kodam XII Tanjungpura, menyatakan bahwa mereka melatih PGRS/Paraku untuk membantu memerdekakan Malaysia.

Namun, setelah pergantian pemerintahan dari Sukarno ke Soeharto, dan situasi politik anti-komunis, Paraku/PGRS menjadi musuh pemerintah Indonesia dan TNI. Pada akhirnya, TNI bersekutu dengan militer Malaysia dan Inggris untuk menumpas Paraku-PGRS.

Kemudian diberi label "Gerombolan Tjina Komunis" (GTK) oleh pemerintah Indonesia dan "Communist Terrorist" (CT) oleh pihak Malaysia. Karena putusnya jalur logistik dan pengungsian ribuan warga Tionghoa, gerakan PGRS/Paraku semakin terjepit.



Pimpinan PGRS/Paraku seperti Bong Kee Chok (menyerah 1973) dan Wen Ming Chyuan (menyerah 1990) akhirnya menyerah dan menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah Malaysia dan Indonesia.

Gerakan pembasmian PGRS/Paraku yang dimulai sejak 1967 menyebar luas di masyarakat lokal Dayak.

Sentimen rasial meningkat dengan mengidentikkan etnis Tionghoa Kalimantan sebagai anggota PGRS/Paraku, sehingga banyak mereka menjadi korban dalam gerakan pembersihan.
(ams)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1990 seconds (0.1#10.140)