Kisah Penyerangan Sriwijaya dan Tiongkok ke Mataram Hancurkan Kerajaan Medang
loading...
A
A
A
Wilayah Palembang dan Sumatera Selatan jauh sebelum menjadi kekuasaan Majapahit pernah berjaya di masa Sriwijaya. Saat itu Kerajaan Sriwijaya yang berlokasi di Pulau Sumatera bagian selatan memegang peranan penting dalam peta perdagangan dan penyebaran agama Buddha.
Konon di Kerajaan Sriwijaya banyak pedagang dari Tiongkok dan India, yang harus tinggal di sana selama beberapa bulan, untuk menunggu perubahan arah angin. Hal ini demi bisa kembali ke Cina dan India, akibat efek angin muson atau angin musiman yang terjadi dua kali setahun.
Tak heran saat itu Sriwijaya tumbuh menjadi pusat perdagangan internasional terbesar, dan tidak hanya pasarnya, tetapi juga infrastruktur untuk para pedagang, seperti penginapan dan tempat hiburan yang juga dikembangkan.
Sriwijaya juga memerankan diri sebagai sebuah pusat budaya.
Yijing, seorang pengelana Buddhis Tiongkok yang tinggal di Palembang dan Jambi pada abad ke-7, atau sekitar tahun 671, mencatat bahwa terdapat lebih dari seribu biksu dan sarjana terpelajar, yang didukung oleh kerajaan untuk belajar agama di Palembang. “
Mereka belajar agama Buddha, yang membuat wilayah Kerajaan Sriwijaya tumbuh menjadi pusat pendidikan agama Buddha," sebagaimana dikutip dari "Sejarah Kerajaan Bawahan Majapahit di Luar Jawa dan Luar Negeri".
Dia juga mencatat bahwa terdapat banyak "negara" di bawah kerajaan yang disebut Sriwijaya (Shili Foshi) (Nas, 1995: 133-134). Sebuah rupaka Buddha, juga ditemukan di situs arkeologi Bukit Seguntang yang kini dipajang di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang.
Tapi ketika memasuki abad 10 tepatnya sekitar tahun 990 M, pasukan dari Kerajaan Medang, atau Kerajaan Mataram kuno di Jawa menyerang Sriwijaya. Akibat penyerangan ini, Palembang porak-poranda dan istananya pun dijarah.
Cudamani Warmadewa segera meminta perlindungan dari Tiongkok. Pada tahun 1006, invasi Medang berhasil dipukul mundur. Sebagai pembalasan, Raja Sriwijaya mengirim pasukannya untuk membantu Raja Wurawari dari Lwaram, dalam pemberontakannya terhadap Medang.
Dalam pertempuran selanjutnya, Istana Medang dihancurkan dan keluarga Kerajaan Medang dieksekusi mati.
Konon di Kerajaan Sriwijaya banyak pedagang dari Tiongkok dan India, yang harus tinggal di sana selama beberapa bulan, untuk menunggu perubahan arah angin. Hal ini demi bisa kembali ke Cina dan India, akibat efek angin muson atau angin musiman yang terjadi dua kali setahun.
Tak heran saat itu Sriwijaya tumbuh menjadi pusat perdagangan internasional terbesar, dan tidak hanya pasarnya, tetapi juga infrastruktur untuk para pedagang, seperti penginapan dan tempat hiburan yang juga dikembangkan.
Sriwijaya juga memerankan diri sebagai sebuah pusat budaya.
Yijing, seorang pengelana Buddhis Tiongkok yang tinggal di Palembang dan Jambi pada abad ke-7, atau sekitar tahun 671, mencatat bahwa terdapat lebih dari seribu biksu dan sarjana terpelajar, yang didukung oleh kerajaan untuk belajar agama di Palembang. “
Mereka belajar agama Buddha, yang membuat wilayah Kerajaan Sriwijaya tumbuh menjadi pusat pendidikan agama Buddha," sebagaimana dikutip dari "Sejarah Kerajaan Bawahan Majapahit di Luar Jawa dan Luar Negeri".
Dia juga mencatat bahwa terdapat banyak "negara" di bawah kerajaan yang disebut Sriwijaya (Shili Foshi) (Nas, 1995: 133-134). Sebuah rupaka Buddha, juga ditemukan di situs arkeologi Bukit Seguntang yang kini dipajang di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang.
Tapi ketika memasuki abad 10 tepatnya sekitar tahun 990 M, pasukan dari Kerajaan Medang, atau Kerajaan Mataram kuno di Jawa menyerang Sriwijaya. Akibat penyerangan ini, Palembang porak-poranda dan istananya pun dijarah.
Cudamani Warmadewa segera meminta perlindungan dari Tiongkok. Pada tahun 1006, invasi Medang berhasil dipukul mundur. Sebagai pembalasan, Raja Sriwijaya mengirim pasukannya untuk membantu Raja Wurawari dari Lwaram, dalam pemberontakannya terhadap Medang.
Dalam pertempuran selanjutnya, Istana Medang dihancurkan dan keluarga Kerajaan Medang dieksekusi mati.
(ams)