Intrik dan Perpecahan di Kerajaan Pajajaran setelah Prabu Siliwangi Mangkat
loading...
A
A
A
KEMUNDURANterjadi pasca Prabu Siliwangi turun tahta dari Kerajaan Pajajaran. Sang anak Surawisesa, yang naik tahta menggantikan ayahnya dibuat kewalahan selama pemerintahan.
Di masa Surawisesa itulah Pajajaran harus menghadapi sejumlah ujian begitu besar sewaktu bertahta di Sunda Pakuan, ibukota Pajajaran.
Tercatat selama 14 tahun bertahta ada 15 kali peperangan yang terjadi di pemerintahan Surawisesa. Hal ini membuat Surawisesa lebih sibuk dibandingkan ayahnya untuk mempertahankan kedaulatan negeri Pajajaran.
Saleh Danasasmita pada "Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi", menyebut, Surawisesa hidup sezaman dengan Sultan Trenggono di Kesultanan Demak. Namanya hanya terdapat dalam Carita Parahiyangan, tetapi tidak disebutkan di Prasasti Batutulis yang dibuat olehnya.
Semasa memerintah Surawisesa dapat disebut lelah lahir batin. Selama menjabat sebagai susuhunan, negaranya terancam terus-menerus oleh peperangan. Beliau dinobatkan jadi raja pada tahun 1522, dan hanya tenang selama empat tahun pertama.
Pada tahun 1526, Surawisesa harus sudah menghadapi musuh di Banten yang kemudian merebak tak habis-habisnya. Portugis berjanji akan membantu Pajajaran tetapi tidak muncul-muncul.
Mereka baru datang pada tahun 1527 ketika pelabuhan Kalapa sudah dirampas dan pesisir utara sudah direbut oleh musuh. Pelabuhan-pelabuhan Sunda sudah tidak mampu memberikan penghasilan apa pun bagi negara. Bahkan mereka berbalik arah ancaman baru terhadap pusat kerajaan.
Raja-raja di daerah memanfaatkan kekacauan, lalu memberontak dan ingin melepaskan diri dari pusat. Negara warisan Sri Baduga menjadi acak-acakan dan terancam runtuh. Padahal keberhasilannya menjadi Susuhunan Pajajaran diraih dengan cara tak elok, memaksa dan melangkahi para saudara yang lebih tua dan yang lebih berhak.
Pembesar Pajajaran pun umumnya tidak setuju dengan pengangkatannya jadi susuhunan Pajajaran. Mereka menerima karena terpaksa. Pada sisi ini, secara manusiawi, rasa malu, perasaan perih dan sakit hati, rasa bersalah, karena tak mampu memegang amanat mempertahankan pusaka warisan leluhur.
Rasa kecewa dan perasaan hormat kepada orang tua yang telah mewariskan pusaka, bercampur aduk sehingga menjadikan batinnya tersiksa.
Dapat dipahami jika nama Prabu Surawisesa sendiri tidak dicantumkan dalam prasasti. Sakakala itu adalah tanda taubat, pengakuan ketidakberdayaan diri, pengakuan terhadap keagungan sang ayah almarhum seraya meminta perlindungan kegaiban beliau.
Di masa Surawisesa itulah Pajajaran harus menghadapi sejumlah ujian begitu besar sewaktu bertahta di Sunda Pakuan, ibukota Pajajaran.
Tercatat selama 14 tahun bertahta ada 15 kali peperangan yang terjadi di pemerintahan Surawisesa. Hal ini membuat Surawisesa lebih sibuk dibandingkan ayahnya untuk mempertahankan kedaulatan negeri Pajajaran.
Saleh Danasasmita pada "Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi", menyebut, Surawisesa hidup sezaman dengan Sultan Trenggono di Kesultanan Demak. Namanya hanya terdapat dalam Carita Parahiyangan, tetapi tidak disebutkan di Prasasti Batutulis yang dibuat olehnya.
Semasa memerintah Surawisesa dapat disebut lelah lahir batin. Selama menjabat sebagai susuhunan, negaranya terancam terus-menerus oleh peperangan. Beliau dinobatkan jadi raja pada tahun 1522, dan hanya tenang selama empat tahun pertama.
Pada tahun 1526, Surawisesa harus sudah menghadapi musuh di Banten yang kemudian merebak tak habis-habisnya. Portugis berjanji akan membantu Pajajaran tetapi tidak muncul-muncul.
Mereka baru datang pada tahun 1527 ketika pelabuhan Kalapa sudah dirampas dan pesisir utara sudah direbut oleh musuh. Pelabuhan-pelabuhan Sunda sudah tidak mampu memberikan penghasilan apa pun bagi negara. Bahkan mereka berbalik arah ancaman baru terhadap pusat kerajaan.
Raja-raja di daerah memanfaatkan kekacauan, lalu memberontak dan ingin melepaskan diri dari pusat. Negara warisan Sri Baduga menjadi acak-acakan dan terancam runtuh. Padahal keberhasilannya menjadi Susuhunan Pajajaran diraih dengan cara tak elok, memaksa dan melangkahi para saudara yang lebih tua dan yang lebih berhak.
Pembesar Pajajaran pun umumnya tidak setuju dengan pengangkatannya jadi susuhunan Pajajaran. Mereka menerima karena terpaksa. Pada sisi ini, secara manusiawi, rasa malu, perasaan perih dan sakit hati, rasa bersalah, karena tak mampu memegang amanat mempertahankan pusaka warisan leluhur.
Rasa kecewa dan perasaan hormat kepada orang tua yang telah mewariskan pusaka, bercampur aduk sehingga menjadikan batinnya tersiksa.
Dapat dipahami jika nama Prabu Surawisesa sendiri tidak dicantumkan dalam prasasti. Sakakala itu adalah tanda taubat, pengakuan ketidakberdayaan diri, pengakuan terhadap keagungan sang ayah almarhum seraya meminta perlindungan kegaiban beliau.
(shf)