Kisah Raja Mataram Dyah Balitung Persatukan Kerajaan Bawahan dan Bebaskan Pajak Upeti
loading...
A
A
A
Jabatan tritunggal yakni Rakryan i Hino, Rakryan i Halu, dan Rakryan i Sirikan, juga dibentuk. Tiga model jabatan itulah yang akhirnya juga dicontohkan dan digunakan oleh pemerintahan Kerajaan Singhasari dan Majapahit.
Selain kebijakan politis, kebijakan pembangunan fisik juga dibuat Dyah Balitung. Pada Prasasti Telang 11 Januari 904 M, konon pembangunan kompleks penyeberangan di Sungai Bengawan Solo bernama Paparahuan, diperintahkan dibentuk ke Mpu Sudarsana.
Sebagai Rakai Welar atau orang yang berkuasa di wilayah Welar, daerah kekuasaan Kerajaan Mataram. Pembebasan pajak ke desa-desa sekitar tempat penyeberangan Paparahuan, dan melarang penduduknya memungut biaya dari para penyeberang Sungai Bengawan Solo.
Pembebasan pajak juga dilakukan di Desa Poh, yang mendapatkan tugas untuk mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silungkung, sebagaimana tercantum pada Prasasti Poh, 17 Juli 905 M. Hal ini demi menggerakkan ekonomi kerakyatan kala itu di wilayah Mataram.
Dyah Balitung memberikan anugerah Desa Kubu-Kubu kepada Rakryan Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan. Anugerah diberikan karena berjasa penaklukan daerah Bantan atau Bali, berdasarkan pada Prasasti Kubu-Kubu, 17 Oktober 905 M.
Anugerah Desa Rukam juga dianugerahkan ke Rakryan Sanjiwana, atau neneknya, yang telah merawat bangunan suci di Limwung. Tak ketinggalan lima patih di negeri bawahan diberikan anugerah karena telah menjaga keamanan ketika pernikahannya.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
Selain kebijakan politis, kebijakan pembangunan fisik juga dibuat Dyah Balitung. Pada Prasasti Telang 11 Januari 904 M, konon pembangunan kompleks penyeberangan di Sungai Bengawan Solo bernama Paparahuan, diperintahkan dibentuk ke Mpu Sudarsana.
Sebagai Rakai Welar atau orang yang berkuasa di wilayah Welar, daerah kekuasaan Kerajaan Mataram. Pembebasan pajak ke desa-desa sekitar tempat penyeberangan Paparahuan, dan melarang penduduknya memungut biaya dari para penyeberang Sungai Bengawan Solo.
Pembebasan pajak juga dilakukan di Desa Poh, yang mendapatkan tugas untuk mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silungkung, sebagaimana tercantum pada Prasasti Poh, 17 Juli 905 M. Hal ini demi menggerakkan ekonomi kerakyatan kala itu di wilayah Mataram.
Dyah Balitung memberikan anugerah Desa Kubu-Kubu kepada Rakryan Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan. Anugerah diberikan karena berjasa penaklukan daerah Bantan atau Bali, berdasarkan pada Prasasti Kubu-Kubu, 17 Oktober 905 M.
Anugerah Desa Rukam juga dianugerahkan ke Rakryan Sanjiwana, atau neneknya, yang telah merawat bangunan suci di Limwung. Tak ketinggalan lima patih di negeri bawahan diberikan anugerah karena telah menjaga keamanan ketika pernikahannya.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
(ams)