Kisah Raja Mataram Dyah Balitung Persatukan Kerajaan Bawahan dan Bebaskan Pajak Upeti
loading...
A
A
A
Dyah Balitung membawa Kerajaan Mataram Kuno mencapai kemajuannya. Berbagai terobosan inovasi kebijakan pembangunan, hingga kebijakan politik ia cetuskan. Alhasil Kerajaan Mataram saat itu menjadi kerajaan yang disegani di Nusantara.
Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung, demikian gelarnya ketika menjadi raja, mampu mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi. Tak hanya itu, Dyah Balitung mampu mempersatukan kembali kerajaan- kerajaan bawahannya yang hampir terpecah akibat perselisihan antar kaum bangsawan.
Raja Dyah Balitung yang dikenal sebagai Sri Iswarakesawotsawatungga atau Sri Iswarakesawasamarattungga memiliki sifat ekspansionis atau berambisi menyebarluaskan wilayah.
Oleh sebab itu, Dyah Balitung berhasil memperluas wilayah kekuasaan Medang hingga wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, dikisahkan dari "13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa".
Selain ekspansionis, Dyah Balitung dikenal sebagai raja besar yang sangat berkomitmen di dalam menyejahterakan seluruh rakyatnya, serta memajukan perekonomian dan menjamin keamanan negaranya.
Kebijakan Dyah Balitung yang tersohor yakni pemindahan ibu kota kerajaan dari Mamrati ke Poh Pitu, atau yang dikenal nama Yamapura.
Perpindahan ibu kota ini dikarenakan istana di Mamrati mengalami kehancuran sewaktu terjadi peperangan antara Dyah Lokapala atau Rakai Kayuwangi dan Dyah Saladu atau Rakai Gurungwangi.
Dyah Balitung juga membentuk jabatan Rakryan Kanuruhan yang setingkat dengan jabatan perdana menteri, dan Rakryan Mapatih atau Rakryan i Hino, yang dipegang oleh Mpu Daksa, sebagaimana dituliskan pada Prasasti Watukura, 27 Juli 902 M.
Jabatan tritunggal yakni Rakryan i Hino, Rakryan i Halu, dan Rakryan i Sirikan, juga dibentuk. Tiga model jabatan itulah yang akhirnya juga dicontohkan dan digunakan oleh pemerintahan Kerajaan Singhasari dan Majapahit.
Selain kebijakan politis, kebijakan pembangunan fisik juga dibuat Dyah Balitung. Pada Prasasti Telang 11 Januari 904 M, konon pembangunan kompleks penyeberangan di Sungai Bengawan Solo bernama Paparahuan, diperintahkan dibentuk ke Mpu Sudarsana.
Sebagai Rakai Welar atau orang yang berkuasa di wilayah Welar, daerah kekuasaan Kerajaan Mataram. Pembebasan pajak ke desa-desa sekitar tempat penyeberangan Paparahuan, dan melarang penduduknya memungut biaya dari para penyeberang Sungai Bengawan Solo.
Pembebasan pajak juga dilakukan di Desa Poh, yang mendapatkan tugas untuk mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silungkung, sebagaimana tercantum pada Prasasti Poh, 17 Juli 905 M. Hal ini demi menggerakkan ekonomi kerakyatan kala itu di wilayah Mataram.
Dyah Balitung memberikan anugerah Desa Kubu-Kubu kepada Rakryan Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan. Anugerah diberikan karena berjasa penaklukan daerah Bantan atau Bali, berdasarkan pada Prasasti Kubu-Kubu, 17 Oktober 905 M.
Anugerah Desa Rukam juga dianugerahkan ke Rakryan Sanjiwana, atau neneknya, yang telah merawat bangunan suci di Limwung. Tak ketinggalan lima patih di negeri bawahan diberikan anugerah karena telah menjaga keamanan ketika pernikahannya.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung, demikian gelarnya ketika menjadi raja, mampu mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi. Tak hanya itu, Dyah Balitung mampu mempersatukan kembali kerajaan- kerajaan bawahannya yang hampir terpecah akibat perselisihan antar kaum bangsawan.
Raja Dyah Balitung yang dikenal sebagai Sri Iswarakesawotsawatungga atau Sri Iswarakesawasamarattungga memiliki sifat ekspansionis atau berambisi menyebarluaskan wilayah.
Oleh sebab itu, Dyah Balitung berhasil memperluas wilayah kekuasaan Medang hingga wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, dikisahkan dari "13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa".
Selain ekspansionis, Dyah Balitung dikenal sebagai raja besar yang sangat berkomitmen di dalam menyejahterakan seluruh rakyatnya, serta memajukan perekonomian dan menjamin keamanan negaranya.
Kebijakan Dyah Balitung yang tersohor yakni pemindahan ibu kota kerajaan dari Mamrati ke Poh Pitu, atau yang dikenal nama Yamapura.
Perpindahan ibu kota ini dikarenakan istana di Mamrati mengalami kehancuran sewaktu terjadi peperangan antara Dyah Lokapala atau Rakai Kayuwangi dan Dyah Saladu atau Rakai Gurungwangi.
Dyah Balitung juga membentuk jabatan Rakryan Kanuruhan yang setingkat dengan jabatan perdana menteri, dan Rakryan Mapatih atau Rakryan i Hino, yang dipegang oleh Mpu Daksa, sebagaimana dituliskan pada Prasasti Watukura, 27 Juli 902 M.
Jabatan tritunggal yakni Rakryan i Hino, Rakryan i Halu, dan Rakryan i Sirikan, juga dibentuk. Tiga model jabatan itulah yang akhirnya juga dicontohkan dan digunakan oleh pemerintahan Kerajaan Singhasari dan Majapahit.
Selain kebijakan politis, kebijakan pembangunan fisik juga dibuat Dyah Balitung. Pada Prasasti Telang 11 Januari 904 M, konon pembangunan kompleks penyeberangan di Sungai Bengawan Solo bernama Paparahuan, diperintahkan dibentuk ke Mpu Sudarsana.
Sebagai Rakai Welar atau orang yang berkuasa di wilayah Welar, daerah kekuasaan Kerajaan Mataram. Pembebasan pajak ke desa-desa sekitar tempat penyeberangan Paparahuan, dan melarang penduduknya memungut biaya dari para penyeberang Sungai Bengawan Solo.
Pembebasan pajak juga dilakukan di Desa Poh, yang mendapatkan tugas untuk mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silungkung, sebagaimana tercantum pada Prasasti Poh, 17 Juli 905 M. Hal ini demi menggerakkan ekonomi kerakyatan kala itu di wilayah Mataram.
Dyah Balitung memberikan anugerah Desa Kubu-Kubu kepada Rakryan Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan. Anugerah diberikan karena berjasa penaklukan daerah Bantan atau Bali, berdasarkan pada Prasasti Kubu-Kubu, 17 Oktober 905 M.
Anugerah Desa Rukam juga dianugerahkan ke Rakryan Sanjiwana, atau neneknya, yang telah merawat bangunan suci di Limwung. Tak ketinggalan lima patih di negeri bawahan diberikan anugerah karena telah menjaga keamanan ketika pernikahannya.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
(ams)