Kisah Jenderal Soemitro, Tentara Kesayangan Soeharto dari Ramalan Boneka Jailangkung
loading...
A
A
A
Namun dengan kemampuan yang dimiliki, Soemitro berhasil menghilangkan sentimen pro Soekarno dalam komandonya. Ketika Soeharto dilantik menjadi Plt Presiden RI pada 1967, Soemitro ditarik ke Jakarta.
Dia ditempatkan menjadi Asisten Operasi Panglima Angkatan Darat. Karier Soemitro terus menanjak. Dua tahun kemudian, ia dipercaya menjabat Kepala Staf Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Berdasarkan buku Soemitro dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib karya Ramadhan KH (1994), semrawutnya organisasi militer dan melemahnya kewibawaan tentara pasca peristiwa G30S/PKI, mendorong dilakukan reorganisasi pada 1969.
Situasi ini mengantarkan Soemitro menduduki jabatan Wakil Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Wapangkopkamtib) yang memiliki tugas mengembalikan kondisi keamanan dan ketertiban.
Soemitro meraih pangkat jenderal penuh, empat bintang, pada 1970. Setahun kemudian dia juga mencapai puncak karier militernya, menjadi Panglima Kopkamtib merangkap Wakil Panglima ABRI.
Jabatan Pangkopkamtib sangat prestisius karena memiliki kewenangan penuh atas keamanan dan ketertiban di Indonesia. Kekuasaan Soemitro sangat luas meliputi bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Lembaga ini berwenang melarang unjuk rasa, menangkap figur politik yang dianggap bermasalah, melarang diskusi dengan topik sensitif, dan melakukan sensor media massa. Soemitro pun menjadi orang nomor dua setelah Presiden Soeharto.
Kewenangan Kopkamtib kerap berbenturan dengan kepentingan-kepentingan kelompok kekuasaan lain yang dikoordinasi oleh Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, Ali Murtopo. Salah satunya terkait keinginan Soemitro memotong keterlibatan militer dalam politik.
Sementara Ali Murtopo berkehendak sebaliknya. Keduanya pun terlibat dalam persaingan di kancah perpolitikan Indonesia. Soeharto sempat berupaya mendamaikan keduanya tapi tidak berhasil. Pada akhir 1973, Soemitro malah seakan menjauhi pemerintah.
Ia membiarkan kritik-kritik terhadap rezim Soeharto. Bahkan, Soemitro mulai mengunjungi kampus-kampus untuk terlibat dalam diskusi dengan mahasiswa. Dalam pidatonya, Soemitro menawarkan pola kepemimpinan nasional baru.
Dia ditempatkan menjadi Asisten Operasi Panglima Angkatan Darat. Karier Soemitro terus menanjak. Dua tahun kemudian, ia dipercaya menjabat Kepala Staf Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Berdasarkan buku Soemitro dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib karya Ramadhan KH (1994), semrawutnya organisasi militer dan melemahnya kewibawaan tentara pasca peristiwa G30S/PKI, mendorong dilakukan reorganisasi pada 1969.
Situasi ini mengantarkan Soemitro menduduki jabatan Wakil Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Wapangkopkamtib) yang memiliki tugas mengembalikan kondisi keamanan dan ketertiban.
Soemitro meraih pangkat jenderal penuh, empat bintang, pada 1970. Setahun kemudian dia juga mencapai puncak karier militernya, menjadi Panglima Kopkamtib merangkap Wakil Panglima ABRI.
Jabatan Pangkopkamtib sangat prestisius karena memiliki kewenangan penuh atas keamanan dan ketertiban di Indonesia. Kekuasaan Soemitro sangat luas meliputi bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Lembaga ini berwenang melarang unjuk rasa, menangkap figur politik yang dianggap bermasalah, melarang diskusi dengan topik sensitif, dan melakukan sensor media massa. Soemitro pun menjadi orang nomor dua setelah Presiden Soeharto.
Kewenangan Kopkamtib kerap berbenturan dengan kepentingan-kepentingan kelompok kekuasaan lain yang dikoordinasi oleh Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, Ali Murtopo. Salah satunya terkait keinginan Soemitro memotong keterlibatan militer dalam politik.
Sementara Ali Murtopo berkehendak sebaliknya. Keduanya pun terlibat dalam persaingan di kancah perpolitikan Indonesia. Soeharto sempat berupaya mendamaikan keduanya tapi tidak berhasil. Pada akhir 1973, Soemitro malah seakan menjauhi pemerintah.
Ia membiarkan kritik-kritik terhadap rezim Soeharto. Bahkan, Soemitro mulai mengunjungi kampus-kampus untuk terlibat dalam diskusi dengan mahasiswa. Dalam pidatonya, Soemitro menawarkan pola kepemimpinan nasional baru.