Petaka Wabah Kolera Sebelum Perang Diponegoro Bikin Rakyat Jawa Menderita
loading...
A
A
A
Derita penduduk Jawa semasa Pangeran Diponegoro masih berlanjut usai serangan Imam Mahdi ke pemerintahan kolonial Belanda. Persoalan wabah penyakit dan kekeringan ekstrem terjadi menerjang desa-desa di Pulau Jawa bagian selatan - tengah.
Hal ini memperburuk kondisi perekonomian masyarakat di tengah dampak monopoli cukai oleh Belanda dan penjaga gerbang cukai pada April 1821. Apalagi panen padi yang kurang memuaskan dan krisis dalam industri gula pribumi ikut memberi andil.
Pada awal 1821, situasi semakin parah karena gagalnya panen di banyak tempat lantaran kemarau panjang yang tidak biasanya terjadi. Residen Belanda Nahuys Van Burgst saat menulis laporan pada bulan April 1821, menyebut konon hampir empat bulan tak turun hujan.
Peter Carey dalam bukunya “Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro: 1785 – 1855” mencatat di selatan Pacitan bahkan kondisi persawahan kering. Di sana banyak sawah terbengkalai, karena kekurangan air. Kalaupun ditanami akan cepat kering, karena tiupan angin kering dari arah laut.
Pada Juni 1821, wabah kolera Asia pertama menghantam Pacitan dan memakan banyak korban penduduk yang memang sudah dalam kondisi lemah: setiap hari ada saja petani harus diangkat dari perkebunan lada dan kopi setelah tewas akibat kelelahan dan demam.
Kekeringan ekstrem ini membuat para pribumi yang didominasi petani terancam hidupnya. Sebab sawah mereka mengering, dan hanya bisa mengandalkan makan akar-akaran dan daun-daunan. Mereka ini terutama adalah mereka yang tidak memiliki akses pada sawah irigasi.
Alhasil, pada waktu itu, seluruh warga desa mengungsi ke daerah-daerah yang lokasinya dekat keraton, guna menghindari kerja paksa di tanah-tanah pemerintah di pantai selatan. Jumlah penduduk turun hingga hampir 10 persen hanya dalam tempo dua tahun.
Ketika datang melanda pada April-Agustus 1821, wabah kolera itu benar-benar seganas sebagaimana yang diramalkan Kiai Iman Sampurno. Di Jawa, wabah itu menyerang penduduk yang tidak memiliki kekebalan alamiah terhadap penyakit tersebut.
Wabah mematikan itu dibawa oleh para pelaut dari Pulau Pinang dan Melaka ke Pantai Utara Jawa, wabah itu pertama kali menjangkiti Kampung Melayu di Terboyo, Semarang.
Pada awal Mei, wabah itu menyebar ke sepanjang Pantai Utara dengan serangan yang sangat mematikan terjadi di Ibu Kota kolonial, Batavia. Di mana ada 156 orang yang dilaporkan tewas dalam sehari, serta Surabaya, warga yang tewas setiap harinya mencapai jumlah 76 orang.
Hal ini memperburuk kondisi perekonomian masyarakat di tengah dampak monopoli cukai oleh Belanda dan penjaga gerbang cukai pada April 1821. Apalagi panen padi yang kurang memuaskan dan krisis dalam industri gula pribumi ikut memberi andil.
Pada awal 1821, situasi semakin parah karena gagalnya panen di banyak tempat lantaran kemarau panjang yang tidak biasanya terjadi. Residen Belanda Nahuys Van Burgst saat menulis laporan pada bulan April 1821, menyebut konon hampir empat bulan tak turun hujan.
Peter Carey dalam bukunya “Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro: 1785 – 1855” mencatat di selatan Pacitan bahkan kondisi persawahan kering. Di sana banyak sawah terbengkalai, karena kekurangan air. Kalaupun ditanami akan cepat kering, karena tiupan angin kering dari arah laut.
Pada Juni 1821, wabah kolera Asia pertama menghantam Pacitan dan memakan banyak korban penduduk yang memang sudah dalam kondisi lemah: setiap hari ada saja petani harus diangkat dari perkebunan lada dan kopi setelah tewas akibat kelelahan dan demam.
Kekeringan ekstrem ini membuat para pribumi yang didominasi petani terancam hidupnya. Sebab sawah mereka mengering, dan hanya bisa mengandalkan makan akar-akaran dan daun-daunan. Mereka ini terutama adalah mereka yang tidak memiliki akses pada sawah irigasi.
Alhasil, pada waktu itu, seluruh warga desa mengungsi ke daerah-daerah yang lokasinya dekat keraton, guna menghindari kerja paksa di tanah-tanah pemerintah di pantai selatan. Jumlah penduduk turun hingga hampir 10 persen hanya dalam tempo dua tahun.
Ketika datang melanda pada April-Agustus 1821, wabah kolera itu benar-benar seganas sebagaimana yang diramalkan Kiai Iman Sampurno. Di Jawa, wabah itu menyerang penduduk yang tidak memiliki kekebalan alamiah terhadap penyakit tersebut.
Wabah mematikan itu dibawa oleh para pelaut dari Pulau Pinang dan Melaka ke Pantai Utara Jawa, wabah itu pertama kali menjangkiti Kampung Melayu di Terboyo, Semarang.
Pada awal Mei, wabah itu menyebar ke sepanjang Pantai Utara dengan serangan yang sangat mematikan terjadi di Ibu Kota kolonial, Batavia. Di mana ada 156 orang yang dilaporkan tewas dalam sehari, serta Surabaya, warga yang tewas setiap harinya mencapai jumlah 76 orang.
(ams)