Kisah Kerajaan Mataram Kehilangan Wilayah Kekuasaan di Pulau Kalimantan pada Masa Amangkurat I
loading...
A
A
A
Beberapa wilayah di luar pulau, salah satunya Kalimantan mulai melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Mataram. Ini terjadi pada masa kekuasaan Raja Sultan Amangkurat I. Lepasnya Kalimantan ini menyusul wilayah Blambangan yang akhirnya juga terlepas dari kekuasaan Mataram.
Sukadana yang menjadi wilayah kekuasaan Mataram memilih melepaskan diri. Menurut Babad Sangkala 1575 J atau mulai 2 Desember 1652, utusan-utusan rakyat Sukadana ketika itu berdatang sembah kepada Mataram (Wong Sokadana seba mring Mataram). Tahun berikutnya mulai pada tanggal 22 November 1653, rakyat Siam juga berbuat demikian.
H.J. De Graaf pada bukunya "Disintegrasi Mataram : Dibawah Mangkurat I", mengisahkan bagaimana Babad Momana mencatat setahun kemudian terjadinya perang dengan Sukadana dan Siam, prang Sokadana, prang Siyem). Yang pertama masuk akal. Orang-orang Siam yang berdatang sembah itu mungkin pedagang-pedagang pembeli kuda.
Pada tahun-tahun 1656-1657 Sukadana masih dianggap sebagai bagian dari Kerajaan Mataram, karena Ngabei Wangsaraja, penguasa Semarang, diberi tugas mengawasi daerah tersebut. Sukadana dikuasai seorang pangeran.
Tetapi beberapa tahun kemudian Raja Mataram Sultan Amangkurat I konon menjadi sangat marah, karena baik Banjarmasin maupun Sukadana tidak datang bersembah kepadanya. Sebagai kebalikan, mencolok perilaku Kapten Moor di Batavia, yang memberikan segala apa yang diminta Sunan.
Memang ada alasan bagi Sunan untuk merasa khawatir. Selama pedagang Evert Michielsen singgah di Banjarmasin pada bulan Mei 1661, muncullah di sana dua orang utusan, yaitu dari Sukadana dan Johor. Kerajaan Sukadan dan Martapura membentuk persekutuan ofensif dan defensif untuk melawan Sultan Amangkurat I yang tidak lagi menerima sembah dari Banjar.
Secara resmi, kedua kerajaan Kalimantan itu pada tahun 1659 menghentikan pemberian sembahnya kepada Sunan. Dapat dimengerti bahwa Sukadana, yang paling lemah, mencari dukungan dari Banjarmasin supaya dapat lebih baik mempertahankan diri dari serangan Mataram.
Pada bulan Juli tahun 1668 masih terdengar desas-desus di Jepara bahwa Sunan akan memerangi raja Kalimantan dan untuk itu semua pelabuhan besar harus mempersiapkan kapal-kapal perang. Selain Kalimantan, ada juga wilayah Jambi yang akan diperanginya, jika mereka tidak segera datang untuk memberi semba
Ketika itu masih hidup anggapan bahwa kedua kerajaan itu masih di bawah kekuasaan Mataram. Tetapi ternyata pula dari berita ini bahwa mereka sudah lama meninggalkan sikap kepatuhannya pada Sunan. Mobilisasi pelabuhan-pelabuhan lautnya hanya merupakan gertak sambal sang raja belaka.
Sukadana yang menjadi wilayah kekuasaan Mataram memilih melepaskan diri. Menurut Babad Sangkala 1575 J atau mulai 2 Desember 1652, utusan-utusan rakyat Sukadana ketika itu berdatang sembah kepada Mataram (Wong Sokadana seba mring Mataram). Tahun berikutnya mulai pada tanggal 22 November 1653, rakyat Siam juga berbuat demikian.
H.J. De Graaf pada bukunya "Disintegrasi Mataram : Dibawah Mangkurat I", mengisahkan bagaimana Babad Momana mencatat setahun kemudian terjadinya perang dengan Sukadana dan Siam, prang Sokadana, prang Siyem). Yang pertama masuk akal. Orang-orang Siam yang berdatang sembah itu mungkin pedagang-pedagang pembeli kuda.
Pada tahun-tahun 1656-1657 Sukadana masih dianggap sebagai bagian dari Kerajaan Mataram, karena Ngabei Wangsaraja, penguasa Semarang, diberi tugas mengawasi daerah tersebut. Sukadana dikuasai seorang pangeran.
Tetapi beberapa tahun kemudian Raja Mataram Sultan Amangkurat I konon menjadi sangat marah, karena baik Banjarmasin maupun Sukadana tidak datang bersembah kepadanya. Sebagai kebalikan, mencolok perilaku Kapten Moor di Batavia, yang memberikan segala apa yang diminta Sunan.
Memang ada alasan bagi Sunan untuk merasa khawatir. Selama pedagang Evert Michielsen singgah di Banjarmasin pada bulan Mei 1661, muncullah di sana dua orang utusan, yaitu dari Sukadana dan Johor. Kerajaan Sukadan dan Martapura membentuk persekutuan ofensif dan defensif untuk melawan Sultan Amangkurat I yang tidak lagi menerima sembah dari Banjar.
Secara resmi, kedua kerajaan Kalimantan itu pada tahun 1659 menghentikan pemberian sembahnya kepada Sunan. Dapat dimengerti bahwa Sukadana, yang paling lemah, mencari dukungan dari Banjarmasin supaya dapat lebih baik mempertahankan diri dari serangan Mataram.
Pada bulan Juli tahun 1668 masih terdengar desas-desus di Jepara bahwa Sunan akan memerangi raja Kalimantan dan untuk itu semua pelabuhan besar harus mempersiapkan kapal-kapal perang. Selain Kalimantan, ada juga wilayah Jambi yang akan diperanginya, jika mereka tidak segera datang untuk memberi semba
Ketika itu masih hidup anggapan bahwa kedua kerajaan itu masih di bawah kekuasaan Mataram. Tetapi ternyata pula dari berita ini bahwa mereka sudah lama meninggalkan sikap kepatuhannya pada Sunan. Mobilisasi pelabuhan-pelabuhan lautnya hanya merupakan gertak sambal sang raja belaka.
(don)