Kisah Aji Saka Pencipta Aksara Jawa untuk Mengenang 2 Pengawal Setianya
loading...
A
A
A
KISAH peradaban Tanah Jawa dan asal usul Aksara Jawa seolah masih jadi misteri, namun tidak bisa dilepas dari nama Aji Saka. Dia adalah sosok sakti mandraguna yang memiliki dua pengawal setia.
Bahkan untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka menciptakan aksara Jawa atau dikenal dengan istilah dhentawyanjana, yang mengisahkan pertarungan antara dua abdinya yang memiliki kesaktiaan yang sama dan tewas bersama. Huruf-huruf tersebut juga dikenal dengan istilah carakan.
Ternyata, ada cerita di balik Aksara Jawa. Dahulu kala, hiduplah pendekar tampan sakti mandraguna bernama Aji Saka di Dusun Medang Kawit, Desa Majethi, Jawa Tengah.
Dia mempunyai sebuah keris pusaka dan sorban sakti. Bukan hanya sakti, dia juga rajin dan baik hati. Membantu ayahnya bekerja di ladang dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Dia selalu ditemani dua orang abdinya, Dora dan Sembada.
Suatu hari, Aji Saka meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mengembara bersama Dora. Sementara, Sembada ditugaskan untuk membawa dan menjaga keris pusaka miliknya ke Pegunungan Kendeng.
“Sembada! Bawa keris pusaka ini ke Pegunungan Kendeng. Kamu harus menjaganya dengan baik dan jangan berikan kepada siapa pun sampai aku sendiri yang mengambilnya!” pesan Aji Saka kepada Sembada. “Baik, Tuan! Saya berjanji akan menjaga dan merawat keris pusaka Tuan!” jawab Sembada.
Baca juga: Kisah Gunung Merapi Dijaga Kiai Sapu Jagat, Sosok Misterius dan Disegani
Setelah itu, berangkatlah Sembada ke arah Utara menuju Gunung Kendeng, sedangkan Aji Saka dan Dora berangkat mengembara menuju ke arah Selatan. Mereka tidak membawa bekal pakaian kecuali yang melekat pada tubuh mereka. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat.
Ketika akan melintasi hutan tersebut, tiba-tiba Aji Saka mendengar teriakan seorang laki-laki meminta tolong. “Tolong...! Tolong...! Tolong...!” Mendengar teriakan itu, Aji Saka dan Dora segera menuju ke sumber suara tersebut. Tak lama kemudian, mereka melihat seorang laki-laki paruh baya sedang dipukuli oleh dua orang perampok.
Aji Saka pun berteriak agar mereka berhenti memukul pria tersebut, namun kedua perampok itu tidak menghiraukan teriakan Aji Saka. Mereka tetap memukuli laki-laki itu. Melihat tindakan kedua perampok tersebut, Aji Saka pun naik pitam. Dengan cepat, dia melayangkan sebuah tendangan keras ke kepala kedua perampok tersebut hingga tersungkur ke tanah dan tidak sadarkan diri. Setelah itu, ia dan abdinya segera menghampiri laki-laki itu. “Maaf, Pak! Kalau boleh kami tahu, Bapak dari mana dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya Aji Saka.
Bahkan untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka menciptakan aksara Jawa atau dikenal dengan istilah dhentawyanjana, yang mengisahkan pertarungan antara dua abdinya yang memiliki kesaktiaan yang sama dan tewas bersama. Huruf-huruf tersebut juga dikenal dengan istilah carakan.
Ternyata, ada cerita di balik Aksara Jawa. Dahulu kala, hiduplah pendekar tampan sakti mandraguna bernama Aji Saka di Dusun Medang Kawit, Desa Majethi, Jawa Tengah.
Dia mempunyai sebuah keris pusaka dan sorban sakti. Bukan hanya sakti, dia juga rajin dan baik hati. Membantu ayahnya bekerja di ladang dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Dia selalu ditemani dua orang abdinya, Dora dan Sembada.
Suatu hari, Aji Saka meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mengembara bersama Dora. Sementara, Sembada ditugaskan untuk membawa dan menjaga keris pusaka miliknya ke Pegunungan Kendeng.
“Sembada! Bawa keris pusaka ini ke Pegunungan Kendeng. Kamu harus menjaganya dengan baik dan jangan berikan kepada siapa pun sampai aku sendiri yang mengambilnya!” pesan Aji Saka kepada Sembada. “Baik, Tuan! Saya berjanji akan menjaga dan merawat keris pusaka Tuan!” jawab Sembada.
Baca juga: Kisah Gunung Merapi Dijaga Kiai Sapu Jagat, Sosok Misterius dan Disegani
Setelah itu, berangkatlah Sembada ke arah Utara menuju Gunung Kendeng, sedangkan Aji Saka dan Dora berangkat mengembara menuju ke arah Selatan. Mereka tidak membawa bekal pakaian kecuali yang melekat pada tubuh mereka. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat.
Ketika akan melintasi hutan tersebut, tiba-tiba Aji Saka mendengar teriakan seorang laki-laki meminta tolong. “Tolong...! Tolong...! Tolong...!” Mendengar teriakan itu, Aji Saka dan Dora segera menuju ke sumber suara tersebut. Tak lama kemudian, mereka melihat seorang laki-laki paruh baya sedang dipukuli oleh dua orang perampok.
Aji Saka pun berteriak agar mereka berhenti memukul pria tersebut, namun kedua perampok itu tidak menghiraukan teriakan Aji Saka. Mereka tetap memukuli laki-laki itu. Melihat tindakan kedua perampok tersebut, Aji Saka pun naik pitam. Dengan cepat, dia melayangkan sebuah tendangan keras ke kepala kedua perampok tersebut hingga tersungkur ke tanah dan tidak sadarkan diri. Setelah itu, ia dan abdinya segera menghampiri laki-laki itu. “Maaf, Pak! Kalau boleh kami tahu, Bapak dari mana dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya Aji Saka.