Kisah Aji Saka Pencipta Aksara Jawa untuk Mengenang 2 Pengawal Setianya
loading...
A
A
A
Akhirnya, terjadilah pertarungan sengit antara kedua orang bersahabat tersebut. Mereka sama kuat dan tangguhnya, sehingga mereka pun mati bersama. Sementara itu, Aji Saka sudah mulai gelisah menunggu kedatangan Dora dari Pegunung Gendeng membawa kerisnya.
Sudah dua hari Aji Saka menunggu, namun Dora tak kunjung tiba. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul abdinya itu ke Pegunungan Gendeng seorang diri. Betapa terkejutnya saat tiba di sana, dia melihat kedua abdi setianya telah tewas. Mereka tewas karena ingin membuktikan kesetiaannya kepada tuan mereka.
Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka menciptakan aksara Jawa atau dikenal dengan istilah dhentawyanjana, yang mengisahkan pertarungan antara dua abdinya yang memiliki kesaktiaan yang sama dan tewas bersama. Huruf-huruf tersebut juga dikenal dengan istilah carakan.
Namun demikian, ada referensi lain Aji Saka dan kedua abdinya berasal dari India. Mereka melakukan perjalanan jauh ke Pulau Jawa, namun sebelum sampai di Jawa, sempat singgah di suatu pulau di laut Jawa dan minta kepada salah satu abdinya untuk menjaga keris saktinya di pulau itu.
Mungkin legenda ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa huruf Jawa (juga, Bali dan beberapa huruf lainnya di Nusantara) adalah turunan dari huruf Brahmic dari India. Istilah Carakan berasal dari urutan abjad huruf jawa yang dimulai dari Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Lengkapnya adalah: Hanacaraka, Dathasawala, Padhajayanya, Magabatanga. Yang merupakan huruf atau aksara Silabel (aksara sukukata) sebanyak 20 aksara.
Sedangkan untuk huruf Bali hanya 18 aksara, dimana aksara dha = da dan tha = ta (Aksara Bali lumrah : Hanacaraka, Datasawala, Magabanga, Pajayanya). Urutan aksara di atas yang berupa syair mempunyai arti yaitu: Hanacaraka = Ada Utusan, atau abdi; Dathasawala = membawa khabar atau surat; Padhajayanya = sama-sama sakti; Magabatanga = semuanya menjadi mayat.
Sementara dalam cerita pewayangan, berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa versi Ronggowarsito maupun versi daerah Ngasinan, Aji Saka juga dikenal dengan Batara Aji Saka, Jaka Sengkala, Empu Sengkala, dan Prabu Wisaka. Ia merupakan anak dari Batara Anggajali dan cucu dari Batara Ramayadi. Ayah dan kakeknya adalah Dewa Pembuat Pusaka Kadewatan untuk Para Dewa yang dipimpin oleh Batara Guru.Sumber: dok.sindonews
Sudah dua hari Aji Saka menunggu, namun Dora tak kunjung tiba. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul abdinya itu ke Pegunungan Gendeng seorang diri. Betapa terkejutnya saat tiba di sana, dia melihat kedua abdi setianya telah tewas. Mereka tewas karena ingin membuktikan kesetiaannya kepada tuan mereka.
Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka menciptakan aksara Jawa atau dikenal dengan istilah dhentawyanjana, yang mengisahkan pertarungan antara dua abdinya yang memiliki kesaktiaan yang sama dan tewas bersama. Huruf-huruf tersebut juga dikenal dengan istilah carakan.
Namun demikian, ada referensi lain Aji Saka dan kedua abdinya berasal dari India. Mereka melakukan perjalanan jauh ke Pulau Jawa, namun sebelum sampai di Jawa, sempat singgah di suatu pulau di laut Jawa dan minta kepada salah satu abdinya untuk menjaga keris saktinya di pulau itu.
Mungkin legenda ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa huruf Jawa (juga, Bali dan beberapa huruf lainnya di Nusantara) adalah turunan dari huruf Brahmic dari India. Istilah Carakan berasal dari urutan abjad huruf jawa yang dimulai dari Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Lengkapnya adalah: Hanacaraka, Dathasawala, Padhajayanya, Magabatanga. Yang merupakan huruf atau aksara Silabel (aksara sukukata) sebanyak 20 aksara.
Sedangkan untuk huruf Bali hanya 18 aksara, dimana aksara dha = da dan tha = ta (Aksara Bali lumrah : Hanacaraka, Datasawala, Magabanga, Pajayanya). Urutan aksara di atas yang berupa syair mempunyai arti yaitu: Hanacaraka = Ada Utusan, atau abdi; Dathasawala = membawa khabar atau surat; Padhajayanya = sama-sama sakti; Magabatanga = semuanya menjadi mayat.
Sementara dalam cerita pewayangan, berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa versi Ronggowarsito maupun versi daerah Ngasinan, Aji Saka juga dikenal dengan Batara Aji Saka, Jaka Sengkala, Empu Sengkala, dan Prabu Wisaka. Ia merupakan anak dari Batara Anggajali dan cucu dari Batara Ramayadi. Ayah dan kakeknya adalah Dewa Pembuat Pusaka Kadewatan untuk Para Dewa yang dipimpin oleh Batara Guru.Sumber: dok.sindonews
(nic)