Kisah Aji Saka Pencipta Aksara Jawa untuk Mengenang 2 Pengawal Setianya

Jum'at, 17 Maret 2023 - 09:15 WIB
loading...
Kisah Aji Saka Pencipta Aksara Jawa untuk Mengenang 2 Pengawal Setianya
Padha jayanya (keduanya sama jayanya dalam pertempuran), mengisahkan kedua abdi Aji Saka sama kuat saat bertarung hingga keduanya sama-sama tewas. Foto: Istimewa
A A A
KISAH peradaban Tanah Jawa dan asal usul Aksara Jawa seolah masih jadi misteri, namun tidak bisa dilepas dari nama Aji Saka. Dia adalah sosok sakti mandraguna yang memiliki dua pengawal setia.

Bahkan untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka menciptakan aksara Jawa atau dikenal dengan istilah dhentawyanjana, yang mengisahkan pertarungan antara dua abdinya yang memiliki kesaktiaan yang sama dan tewas bersama. Huruf-huruf tersebut juga dikenal dengan istilah carakan.

Ternyata, ada cerita di balik Aksara Jawa. Dahulu kala, hiduplah pendekar tampan sakti mandraguna bernama Aji Saka di Dusun Medang Kawit, Desa Majethi, Jawa Tengah.

Dia mempunyai sebuah keris pusaka dan sorban sakti. Bukan hanya sakti, dia juga rajin dan baik hati. Membantu ayahnya bekerja di ladang dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Dia selalu ditemani dua orang abdinya, Dora dan Sembada.

Suatu hari, Aji Saka meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mengembara bersama Dora. Sementara, Sembada ditugaskan untuk membawa dan menjaga keris pusaka miliknya ke Pegunungan Kendeng.

“Sembada! Bawa keris pusaka ini ke Pegunungan Kendeng. Kamu harus menjaganya dengan baik dan jangan berikan kepada siapa pun sampai aku sendiri yang mengambilnya!” pesan Aji Saka kepada Sembada. “Baik, Tuan! Saya berjanji akan menjaga dan merawat keris pusaka Tuan!” jawab Sembada.

Kisah Aji Saka Pencipta Aksara Jawa untuk Mengenang 2 Pengawal Setianya


Baca juga: Kisah Gunung Merapi Dijaga Kiai Sapu Jagat, Sosok Misterius dan Disegani


Setelah itu, berangkatlah Sembada ke arah Utara menuju Gunung Kendeng, sedangkan Aji Saka dan Dora berangkat mengembara menuju ke arah Selatan. Mereka tidak membawa bekal pakaian kecuali yang melekat pada tubuh mereka. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat.

Ketika akan melintasi hutan tersebut, tiba-tiba Aji Saka mendengar teriakan seorang laki-laki meminta tolong. “Tolong...! Tolong...! Tolong...!” Mendengar teriakan itu, Aji Saka dan Dora segera menuju ke sumber suara tersebut. Tak lama kemudian, mereka melihat seorang laki-laki paruh baya sedang dipukuli oleh dua orang perampok.

Aji Saka pun berteriak agar mereka berhenti memukul pria tersebut, namun kedua perampok itu tidak menghiraukan teriakan Aji Saka. Mereka tetap memukuli laki-laki itu. Melihat tindakan kedua perampok tersebut, Aji Saka pun naik pitam. Dengan cepat, dia melayangkan sebuah tendangan keras ke kepala kedua perampok tersebut hingga tersungkur ke tanah dan tidak sadarkan diri. Setelah itu, ia dan abdinya segera menghampiri laki-laki itu. “Maaf, Pak! Kalau boleh kami tahu, Bapak dari mana dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya Aji Saka.



Lelaki paruh baya itu pun bercerita bahwa dia seorang pengungsi dari Negeri Medang Kamukan. Dia mengungsi karena raja di negerinya yang bernama Prabu Dewata Cengkar suka memakan daging manusia. Setiap hari, dia memakan daging seorang manusia yang dipersembahkan oleh Patihnya yang bernama Jugul Muda. Karena takut menjadi mangsa sang Raja, sebagian rakyat mengungsi secara diam-diam ke daerah lain.

Aji Saka dan abdinya tersentak kaget mendengar cerita laki-laki tua yang baru saja ditolongnya itu. “Bagaimana itu bisa terjadi, Pak?” tanya Aji Saka dengan heran. “Begini, Tuan! Kegemaran Prabu Dewata Cengkar memakan daging manusia bermula ketika seorang juru masak istana teriris jarinya, lalu potongan jari itu masuk ke dalam sup yang disajikan untuk sang Prabu. Rupanya, beliau sangat menyukainya. Sejak itulah sang Prabu menjadi senang makan daging manusia dan sifatnya pun berubah menjadi bengis,” jelas lelaki itu.

Mendengar cerita itu, Aji Saka dan abdinya memutuskan untuk pergi ke Negeri Medang Kamukan. Dia ingin menolong rakyat Medang Kamukan dari kebengisan Prabu Dewata Cengkar. Setelah sehari semalam berjalan keluar masuk hutan, menyeberangi sungai, serta menaiki dan menuruni bukit.



Akhirnya mereka sampai di kota Kerajaan Medang Kamukan. Suasana kota itu tampak sepi. Kota itu bagaikan kota mati. Tak seorang pun yang terlihat lalu lalang di jalan. Semua pintu rumah tertutup rapat. Para penduduk tidak mau keluar rumah, karena takut dimangsa oleh sang Prabu. Dia pun memutuskan untuk masuk menemui raja sementara abdinya diminta tetap menunggu di luar.

Dengan gagahnya, Aji Saka berjalan menuju ke istana. Suasana di sekitar istana tampak sepi. Hanya ada beberapa orang pengawal yang sedang mondar-mandir di depan pintu gerbang istana. Pengawal istana pun mencegatnya dan menanyakan maksud Aji Saka datang ke istana. “Saya Aji Saka dari Medang Kawit ingin bertemu dengan sang Prabu untuk menyerahkan diri saya kepada sang Prabu untuk dimangsa,” kata Aji Saka.

Para pengawal istana terkejut mendengar jawaban Aji Saka. Tanpa banyak tanya, mereka pun mengizinkan Aji Saka masuk ke dalam istana. Saat berada di dalam istana, ia melihat Prabu Dewata Cengkar sedang murka, karena Patih Jugul tidak membawa mangsa untuknya.

Tanpa rasa takut, Aji Saka langsung menghadap kepada sang Prabu dan menyerahkan diri untuk dimangsa. “Ampun, Gusti Prabu! Hamba Aji Saka. Jika Baginda berkenan, hamba siap menjadi santapan Baginda hari ini,” kata Aji Saka.

Betapa senangnya hati sang Prabu mendapat tawaran makanan. Dia segera memerintahkan Patih Jugul untuk menangkap dan memotong-motong tubuh Aji Saka untuk dimasak. Ketika Patih Jugul akan menangkapnya, Aji Saka mundur selangkah, lalu berkata: “Ampun, Gusti! Sebelum ditangkap, Hamba ada satu permintaan. Hamba mohon imbalan sebidang tanah seluas sorban hamba ini,” pinta Aji Saka.

Prabu Dewata Cengkar pun langsung memenuhi permintaan Aji Saka. Namun untuk menghindari kecurangan Aji Saka minta agar sang prabu sendiri yang mengukurnya.

Prabu Dewata Cengkar pun setuju. Perlahan-lahan, dia melangkah mundur sambil mengulur sorban itu. Anehnya, setiap diulur, sorban itu terus memanjang dan meluas hingga meliputi seluruh wilayah Kerajaan Medang Kamulan.

Saking senangnya mendapat mangsa yang masih muda dan segar, sang Prabu terus mengulur sorban itu sampai di pantai Laut Selatan tanpa disadarinya. Ketika dia masuk ke tengah laut, Aji Saka segera menyentakkan sorbannya, sehingga sang Prabu terjungkal dan seketika itu pula berubah menjadi seekor buaya putih.

Mengetahui kabar tersebut, seluruh rakyat Medang Kamulan kembali dari tempat pengungsian mereka. Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi Raja Medang Kamulan menggantikan Prabu Dewata Cengkar dengan gelar Prabu Anom Aji Saka.

Aji Saka pun memimpin Kerajaan Medang Kamulan dengan arif dan bijaksana, sehingga seluruh rakyatnya hidup tenang, aman, makmur, dan sentosa.

Pada suatu hari, Aji Saka memanggil Dora untuk menghadap kepadanya dan memerintahkan Dora pergi ke Pegunungan Kendeng untuk mengambil kerisnya. “Katakan kepada Sembada bahwa aku yang menyuruhmu,” titah Raja yang baru itu.

Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Dora di Pegunungan Gendeng. Ketika kedua sahabat tersebut bertemu, mereka saling rangkul untuk melepas rasa rindu. Setelah itu, Dora pun menyampaikan maksud kedatangannya kepada Sembada. “Sembada, sahabatku! Kini Tuan Aji Saka telah menjadi raja Negeri Medang Kamulan. Beliau mengutusku kemari untuk mengambil keris pusakanya untuk dibawa ke istana,” ungkap Dora.

“Tidak, sahabatku! Tuan Aji Saka berpesan kepadaku bahwa keris ini tidak boleh diberikan kepada siapa pun, kecuali beliau sendiri yang datang mengambilnya,” kata Sembada dengan tegas.

Karena merasa mendapat tanggung jawab dari Aji Saka, Dora pun harus mengambil keris itu dari tangan Sembada untuk dibawa ke istana. Kedua orang abdi bersahabat tersebut tidak ada yang mau mengalah. Mereka bersikeras mempertahankan tanggungjawab masing-masing dari Aji Saka. Mereka bertekad lebih baik mati daripada menghianati perintah tuannya.



Akhirnya, terjadilah pertarungan sengit antara kedua orang bersahabat tersebut. Mereka sama kuat dan tangguhnya, sehingga mereka pun mati bersama. Sementara itu, Aji Saka sudah mulai gelisah menunggu kedatangan Dora dari Pegunung Gendeng membawa kerisnya.

Sudah dua hari Aji Saka menunggu, namun Dora tak kunjung tiba. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul abdinya itu ke Pegunungan Gendeng seorang diri. Betapa terkejutnya saat tiba di sana, dia melihat kedua abdi setianya telah tewas. Mereka tewas karena ingin membuktikan kesetiaannya kepada tuan mereka.

Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka menciptakan aksara Jawa atau dikenal dengan istilah dhentawyanjana, yang mengisahkan pertarungan antara dua abdinya yang memiliki kesaktiaan yang sama dan tewas bersama. Huruf-huruf tersebut juga dikenal dengan istilah carakan.

Namun demikian, ada referensi lain Aji Saka dan kedua abdinya berasal dari India. Mereka melakukan perjalanan jauh ke Pulau Jawa, namun sebelum sampai di Jawa, sempat singgah di suatu pulau di laut Jawa dan minta kepada salah satu abdinya untuk menjaga keris saktinya di pulau itu.

Mungkin legenda ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa huruf Jawa (juga, Bali dan beberapa huruf lainnya di Nusantara) adalah turunan dari huruf Brahmic dari India. Istilah Carakan berasal dari urutan abjad huruf jawa yang dimulai dari Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Lengkapnya adalah: Hanacaraka, Dathasawala, Padhajayanya, Magabatanga. Yang merupakan huruf atau aksara Silabel (aksara sukukata) sebanyak 20 aksara.

Sedangkan untuk huruf Bali hanya 18 aksara, dimana aksara dha = da dan tha = ta (Aksara Bali lumrah : Hanacaraka, Datasawala, Magabanga, Pajayanya). Urutan aksara di atas yang berupa syair mempunyai arti yaitu: Hanacaraka = Ada Utusan, atau abdi; Dathasawala = membawa khabar atau surat; Padhajayanya = sama-sama sakti; Magabatanga = semuanya menjadi mayat.

Sementara dalam cerita pewayangan, berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa versi Ronggowarsito maupun versi daerah Ngasinan, Aji Saka juga dikenal dengan Batara Aji Saka, Jaka Sengkala, Empu Sengkala, dan Prabu Wisaka. Ia merupakan anak dari Batara Anggajali dan cucu dari Batara Ramayadi. Ayah dan kakeknya adalah Dewa Pembuat Pusaka Kadewatan untuk Para Dewa yang dipimpin oleh Batara Guru.Sumber: dok.sindonews
(nic)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1972 seconds (0.1#10.140)