Penghapusan RUU PKS dari Prolegnas Tanda Lunturnya Penegakan HAM
Senin, 13 Juli 2020 - 19:10 WIB
MAKASSAR - Indonesia Social Justice Network (ISJN) mengecam keputusan pencabutan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI .
Organisasi para alumni penerima beasiswa International Fellowship Programs (IFP) dari Ford Foundation, Amerika menyatakan sikap kekecewaannya terhadap keputusan DPR setelah melalui rapat koordinasi Badan Legislasi dengan para pimpinan komisi 30 Juni lalu.
Salah satu anggota ISJN, Ahmad Yani mengatakan, keputusan tersebut bisa menimbulkan keresahan utamanya para korban kekerasan seksual dan para penyintas kekerasan seksual, terlebih hal itu menandakan lunturnya upaya penegakan hak asasi manusia (HAM), agar terbebas dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Menurut Ahmad, dari pandangan ISJN, mengacu pada riset yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, terdapat 4.898 laporan kasus kekerasan seksual sepanjang 2019, jumlah tersebut naik hampir delapan kali lipat sejak 12 tahun silam dengan persentase 792%.
"Lembaga yang kompeten itu yang jadi pertimbangan kami juga, belum lagi tindakan pelecehan seksual terhadap perempuan yang malah korbannya di framing sebagai penyebab. Nah RUU PKS ini sebenarnya konsentrasinya ke perlindungan korban kasus tersebut. Makanya harus dibahas kembali," ungkap Ahmad kepada SINDOnews melalui sambungan telepon, Senin (13/7/2020).
Dijelaskan Ahmad yang juga merupakan dosen administrasi publik di Universitas Hasanuddin ini, dengan keputusan tersebut DPR RI dinilai gagal meletakkan program perlindungan terhadap perempuan dan anak sebagai prioritas seperti yang diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024.
Keputusan DPR mengeluarkan RUU PKS dari prolegnas bertentangan dengan prinsip kewajiban negara untuk memberikan dan menjamin perlindungan warga negara dari ancaman kekerasan seksual. DPR menurut dia jelas-jelas menolak memahami dan tidak mempertimbangkan bahwa kekerasan seksual dengan segala akibatnya adalah persoalan sangat serius.
Organisasi para alumni penerima beasiswa International Fellowship Programs (IFP) dari Ford Foundation, Amerika menyatakan sikap kekecewaannya terhadap keputusan DPR setelah melalui rapat koordinasi Badan Legislasi dengan para pimpinan komisi 30 Juni lalu.
Salah satu anggota ISJN, Ahmad Yani mengatakan, keputusan tersebut bisa menimbulkan keresahan utamanya para korban kekerasan seksual dan para penyintas kekerasan seksual, terlebih hal itu menandakan lunturnya upaya penegakan hak asasi manusia (HAM), agar terbebas dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Menurut Ahmad, dari pandangan ISJN, mengacu pada riset yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, terdapat 4.898 laporan kasus kekerasan seksual sepanjang 2019, jumlah tersebut naik hampir delapan kali lipat sejak 12 tahun silam dengan persentase 792%.
"Lembaga yang kompeten itu yang jadi pertimbangan kami juga, belum lagi tindakan pelecehan seksual terhadap perempuan yang malah korbannya di framing sebagai penyebab. Nah RUU PKS ini sebenarnya konsentrasinya ke perlindungan korban kasus tersebut. Makanya harus dibahas kembali," ungkap Ahmad kepada SINDOnews melalui sambungan telepon, Senin (13/7/2020).
Dijelaskan Ahmad yang juga merupakan dosen administrasi publik di Universitas Hasanuddin ini, dengan keputusan tersebut DPR RI dinilai gagal meletakkan program perlindungan terhadap perempuan dan anak sebagai prioritas seperti yang diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024.
Keputusan DPR mengeluarkan RUU PKS dari prolegnas bertentangan dengan prinsip kewajiban negara untuk memberikan dan menjamin perlindungan warga negara dari ancaman kekerasan seksual. DPR menurut dia jelas-jelas menolak memahami dan tidak mempertimbangkan bahwa kekerasan seksual dengan segala akibatnya adalah persoalan sangat serius.
tulis komentar anda