Penghapusan RUU PKS dari Prolegnas Tanda Lunturnya Penegakan HAM
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Indonesia Social Justice Network (ISJN) mengecam keputusan pencabutan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI .
Organisasi para alumni penerima beasiswa International Fellowship Programs (IFP) dari Ford Foundation, Amerika menyatakan sikap kekecewaannya terhadap keputusan DPR setelah melalui rapat koordinasi Badan Legislasi dengan para pimpinan komisi 30 Juni lalu.
Salah satu anggota ISJN, Ahmad Yani mengatakan, keputusan tersebut bisa menimbulkan keresahan utamanya para korban kekerasan seksual dan para penyintas kekerasan seksual, terlebih hal itu menandakan lunturnya upaya penegakan hak asasi manusia (HAM), agar terbebas dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Menurut Ahmad, dari pandangan ISJN, mengacu pada riset yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, terdapat 4.898 laporan kasus kekerasan seksual sepanjang 2019, jumlah tersebut naik hampir delapan kali lipat sejak 12 tahun silam dengan persentase 792%.
"Lembaga yang kompeten itu yang jadi pertimbangan kami juga, belum lagi tindakan pelecehan seksual terhadap perempuan yang malah korbannya di framing sebagai penyebab. Nah RUU PKS ini sebenarnya konsentrasinya ke perlindungan korban kasus tersebut. Makanya harus dibahas kembali," ungkap Ahmad kepada SINDOnews melalui sambungan telepon, Senin (13/7/2020).
Dijelaskan Ahmad yang juga merupakan dosen administrasi publik di Universitas Hasanuddin ini, dengan keputusan tersebut DPR RI dinilai gagal meletakkan program perlindungan terhadap perempuan dan anak sebagai prioritas seperti yang diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024.
Keputusan DPR mengeluarkan RUU PKS dari prolegnas bertentangan dengan prinsip kewajiban negara untuk memberikan dan menjamin perlindungan warga negara dari ancaman kekerasan seksual. DPR menurut dia jelas-jelas menolak memahami dan tidak mempertimbangkan bahwa kekerasan seksual dengan segala akibatnya adalah persoalan sangat serius.
Dengan langkah ini menurut dia, DPR RI juga mengingkari pentingnya UU PKS sebagai elemen dasar penegakan hukum untuk mengurangi aksi kekerasan seksual di Indonesia. Sebagai representasi politik rakyat, seharusnya DPR memahami bahwa upaya penghapusan kekerasan seksual melalui RUU ini sungguh-sungguh dibutuhkan, dan telah ditunggu lama sejak 2012 seperti yang sudah diinisiasi oleh gerakan perempuan dan Komnas Perempuan sejak tahun 2012.
"Inikan sudah dibahas hampir delapan tahun, selama itu pula korban berjatuhan tanpa ada perlindungan yang tegas dan mendapatkan keadilan. Dan sungguh menyedihkan, penantian itu malah akan berujung pupusnya harapan karena DPR malah mencabut RUU tersebut dari prolegnas prioritas 2020," papar Ahmad.
Olehnya itu, berdasarkan pertimbangan tersebut ISJN menyatakan sikap, pertama menilai keberadaan UU PKS adalah mutlak untuk memperkuat upaya penghapusan kekerasan seksual di Indonesia, sekaligus untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang mampu menjamin warganya agar terbebas dari ancaman kekerasan seksual, sebagai wujud nyata perlindungan negara.
Kedua, ISJN meminta dengan tegas agar DPR RI memastikan pembahasan dan pengesahan UU PKS tetap dijalankan karena itu merupakan kewajiban negara untuk memastikan bahwa, negara bertanggungjawab dalam menjamin warga negara untuk terbebas dari segala bentuk kekerasan seksual.
Ketiga, ISJN menolak keputusan DPR untuk mencabut RUU PKS dari prolegnas prioritas 2020 dan mendesak DPR untuk mengembalikan RUU tersebut pada prolegnas prioritas 2020 dan segera membahas dan mengesahkannya menjadi Undang-Undang.
Keempat, ISJN mendesak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak agar bekerja sama dengan semua instansi pemerintah dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan melakukan lobi dan upaya lainnya terhadap DPR untuk mengembalikan RUU PKS dari prolegnas 2020, segera membahas dan mengesahkannya menjadi UU dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Kelima, ISJN mengajak agar seluruh komponen masyarakat terlibat aktif untuk menekan wakilnya di DPR RI untuk memastikan RUU PKS tidak dieliminir dan diabaikan.
Selain itu masyarakat diminta untuk bersama-sama mendorong dan mendesak DPR segera mengembalikan RUU PKS pada prolegnas prioritas 2020 dan mendukung pembahasan dan pengesahan RUU tersebut.
ISJN juga mengajak semua warga masyarakat bersama-sama mengkampanyekan gerakan anti kekerasan seksual dan membangun kepedulian dan solidaritas, saling mendukung dan menguatkan berbagai upaya memenuhi hak-hak korban kekerasan seksual.
Organisasi para alumni penerima beasiswa International Fellowship Programs (IFP) dari Ford Foundation, Amerika menyatakan sikap kekecewaannya terhadap keputusan DPR setelah melalui rapat koordinasi Badan Legislasi dengan para pimpinan komisi 30 Juni lalu.
Salah satu anggota ISJN, Ahmad Yani mengatakan, keputusan tersebut bisa menimbulkan keresahan utamanya para korban kekerasan seksual dan para penyintas kekerasan seksual, terlebih hal itu menandakan lunturnya upaya penegakan hak asasi manusia (HAM), agar terbebas dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Menurut Ahmad, dari pandangan ISJN, mengacu pada riset yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, terdapat 4.898 laporan kasus kekerasan seksual sepanjang 2019, jumlah tersebut naik hampir delapan kali lipat sejak 12 tahun silam dengan persentase 792%.
"Lembaga yang kompeten itu yang jadi pertimbangan kami juga, belum lagi tindakan pelecehan seksual terhadap perempuan yang malah korbannya di framing sebagai penyebab. Nah RUU PKS ini sebenarnya konsentrasinya ke perlindungan korban kasus tersebut. Makanya harus dibahas kembali," ungkap Ahmad kepada SINDOnews melalui sambungan telepon, Senin (13/7/2020).
Dijelaskan Ahmad yang juga merupakan dosen administrasi publik di Universitas Hasanuddin ini, dengan keputusan tersebut DPR RI dinilai gagal meletakkan program perlindungan terhadap perempuan dan anak sebagai prioritas seperti yang diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024.
Keputusan DPR mengeluarkan RUU PKS dari prolegnas bertentangan dengan prinsip kewajiban negara untuk memberikan dan menjamin perlindungan warga negara dari ancaman kekerasan seksual. DPR menurut dia jelas-jelas menolak memahami dan tidak mempertimbangkan bahwa kekerasan seksual dengan segala akibatnya adalah persoalan sangat serius.
Dengan langkah ini menurut dia, DPR RI juga mengingkari pentingnya UU PKS sebagai elemen dasar penegakan hukum untuk mengurangi aksi kekerasan seksual di Indonesia. Sebagai representasi politik rakyat, seharusnya DPR memahami bahwa upaya penghapusan kekerasan seksual melalui RUU ini sungguh-sungguh dibutuhkan, dan telah ditunggu lama sejak 2012 seperti yang sudah diinisiasi oleh gerakan perempuan dan Komnas Perempuan sejak tahun 2012.
"Inikan sudah dibahas hampir delapan tahun, selama itu pula korban berjatuhan tanpa ada perlindungan yang tegas dan mendapatkan keadilan. Dan sungguh menyedihkan, penantian itu malah akan berujung pupusnya harapan karena DPR malah mencabut RUU tersebut dari prolegnas prioritas 2020," papar Ahmad.
Olehnya itu, berdasarkan pertimbangan tersebut ISJN menyatakan sikap, pertama menilai keberadaan UU PKS adalah mutlak untuk memperkuat upaya penghapusan kekerasan seksual di Indonesia, sekaligus untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang mampu menjamin warganya agar terbebas dari ancaman kekerasan seksual, sebagai wujud nyata perlindungan negara.
Kedua, ISJN meminta dengan tegas agar DPR RI memastikan pembahasan dan pengesahan UU PKS tetap dijalankan karena itu merupakan kewajiban negara untuk memastikan bahwa, negara bertanggungjawab dalam menjamin warga negara untuk terbebas dari segala bentuk kekerasan seksual.
Ketiga, ISJN menolak keputusan DPR untuk mencabut RUU PKS dari prolegnas prioritas 2020 dan mendesak DPR untuk mengembalikan RUU tersebut pada prolegnas prioritas 2020 dan segera membahas dan mengesahkannya menjadi Undang-Undang.
Keempat, ISJN mendesak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak agar bekerja sama dengan semua instansi pemerintah dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan melakukan lobi dan upaya lainnya terhadap DPR untuk mengembalikan RUU PKS dari prolegnas 2020, segera membahas dan mengesahkannya menjadi UU dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Kelima, ISJN mengajak agar seluruh komponen masyarakat terlibat aktif untuk menekan wakilnya di DPR RI untuk memastikan RUU PKS tidak dieliminir dan diabaikan.
Selain itu masyarakat diminta untuk bersama-sama mendorong dan mendesak DPR segera mengembalikan RUU PKS pada prolegnas prioritas 2020 dan mendukung pembahasan dan pengesahan RUU tersebut.
ISJN juga mengajak semua warga masyarakat bersama-sama mengkampanyekan gerakan anti kekerasan seksual dan membangun kepedulian dan solidaritas, saling mendukung dan menguatkan berbagai upaya memenuhi hak-hak korban kekerasan seksual.
(luq)