Harganas Tingkat Provinsi Sulsel, Momentum Fokus Turunkan Angka Stunting
Kamis, 28 Juli 2022 - 15:32 WIB
"Pemerintah pusat telah menargetkan prevalensi stunting turun dari 30,8 persen tahun 2018 dan 24,4 persen di tahun 2021 menjadi 14 persen di tahun 2024," ungkapnya.
Deputi Bidang Pelatihan, penelitian dan pengembangan (Lalitbang) BKKBN , M.Rizal Damanik, menambahkan dengan persentase tersebut, bisa dimaknai bahwa dari 100 kelahiran, ada 24 bayi yang masuk dalam kategori stunting. Stunting menjadi persoalan karena dampak yang ditimbulkannya berkelanjutan dan jangka panjang.
"Bayi yang terlahir stunting ini tidak langsung meninggal dunia. Kalau meninggal dunia, bisa langsung dikebumikan. Tapi dia akan hidup dengan segala kekurangan dan keterbatasan," ujar Rizal.
Kekurangan gizi kronis yang menyebabkan bayi menjadi stunting, kata dia, akan memberikan dampak yang cukup serius. Salah satunya terganggunya pertumbuhan organ tubuh, seperti jantung, paru-paru, organ reproduksi, sampai pada perkembangan sel otak.
"Itu sebabnya, bayi stunting pasti pendek tapi yang pendek belum tentu stunting. Pendek karena pertumbuhan tungkai pahanya tidak maksimal karena kurang mengonsumsi makanan yang banyak mengandung kalsium," urainya.
Rizal mengemukakan, strategi penurunan angka stunting juga sudah ditetapkan dalam strategi nasional percepatan penurunan stunting sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2021.
Peraturan Pemerintah tersebut mendorong sejumlah langkah, seperti peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan terkait program penurunan angka stunting di kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah desa.
Selain itu, juga peningkatan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat, peningkatan konvergensi intervensi spesifik dan sensitif.
Upaya lain yang diamanatkan PP No 72 Tahun 2021 adalah peningkatan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu, keluarga, dan masyarakat, serta penguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, riset, dan inovasi.
Deputi Bidang Pelatihan, penelitian dan pengembangan (Lalitbang) BKKBN , M.Rizal Damanik, menambahkan dengan persentase tersebut, bisa dimaknai bahwa dari 100 kelahiran, ada 24 bayi yang masuk dalam kategori stunting. Stunting menjadi persoalan karena dampak yang ditimbulkannya berkelanjutan dan jangka panjang.
"Bayi yang terlahir stunting ini tidak langsung meninggal dunia. Kalau meninggal dunia, bisa langsung dikebumikan. Tapi dia akan hidup dengan segala kekurangan dan keterbatasan," ujar Rizal.
Kekurangan gizi kronis yang menyebabkan bayi menjadi stunting, kata dia, akan memberikan dampak yang cukup serius. Salah satunya terganggunya pertumbuhan organ tubuh, seperti jantung, paru-paru, organ reproduksi, sampai pada perkembangan sel otak.
"Itu sebabnya, bayi stunting pasti pendek tapi yang pendek belum tentu stunting. Pendek karena pertumbuhan tungkai pahanya tidak maksimal karena kurang mengonsumsi makanan yang banyak mengandung kalsium," urainya.
Rizal mengemukakan, strategi penurunan angka stunting juga sudah ditetapkan dalam strategi nasional percepatan penurunan stunting sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2021.
Peraturan Pemerintah tersebut mendorong sejumlah langkah, seperti peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan terkait program penurunan angka stunting di kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah desa.
Selain itu, juga peningkatan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat, peningkatan konvergensi intervensi spesifik dan sensitif.
Upaya lain yang diamanatkan PP No 72 Tahun 2021 adalah peningkatan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu, keluarga, dan masyarakat, serta penguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, riset, dan inovasi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda