Strisanggrahana Hukuman Pelaku Kejahatan Seksual Zaman Majapahit
Kamis, 25 November 2021 - 05:13 WIB
Jika seorang laki-laki meniduri istri orang lain setelah dia menguntitnya sampai rumah si perempuan langsung dikenakan pidana mati oleh raja. Namun, bila si istri berhasil meloloskan diri dari pelukan laki-laki itu, pelaku didenda dua laksa. ''Denda diserahkan kepada yang punya istri sebagai penebus hidupnya. Jika berhasil menidurinya, dikenakan pidana mati oleh yang punya istri,” lanjut Titi.
Hukuman unik pun bisa diberikan raja, jika ada seseorang berbicara dan menegur perempuan yang bukan istrinya. Perilaku tersebut dianggap raja sebagai pelecehan seksual dan dendanya dua laksa. Bahkan aturan ini juga mengikat pendeta. Jika tak mampu mematuhinya, status kependetaannya terancam hilang. ''Jangan bicara dengan perempuan yang sudah menikah, terutama di tempat sepi, karena nafsu birahi susah dikendalikan,”tulis Titi.
Dendanya pun menjadi lebih sedikit apalagi perempuan yang diajak bicara di tempat sepi bukan istri larangan, atau istri utama yang dipingit. Laki-laki ini didenda sebesar lima tali. Pun jika si laki-laki tak tahu kalau yang dia ajak bicara sudah bersuami. Dia tetap dikenai denda lima tali.
''Meskipun perempuan itu istri saudaranya, istri pamannya, istri menantunya. Pokoknya, dengan perempuan yang telah menikah, perempuan larangan,” lanjutnya.
Perbuatan strisanggrahana yang meliputi mereka yang membantu dan memfasilitasi perbuatan dalam pasal paradara. Misalnya, orang yang menyuruh si laki-laki untuk meniduri istri orang. Dia akan dikenakan denda dua laksa.
Menurut Kutara, orang yang meniduri perempuan bersuami dikenakan hukuman mati. Ia bisa hidup jika membayar denda empat laksa. Sementara orang yang menghasut dan menyuruh untuk meniduri si perempuan di rumahnya, juga dikenakan denda empat laksa oleh raja
Kendati dalam teks undang-undang Majapahit tegas menghukum mereka yang melecehkan perempuan, dalam prasasti ditemukan juga adanya profesijuru jalir.Profesi ini tugasnya memungut pajak dari para pelacur. Namun, dalam hal ini tak ada keterangan pasti yang menyebut pelacur itu pasti perempuan. Bisa dibilang, pelacur pada masa Majapahit mendapat pengesahan dari penguasa.
Hukuman unik pun bisa diberikan raja, jika ada seseorang berbicara dan menegur perempuan yang bukan istrinya. Perilaku tersebut dianggap raja sebagai pelecehan seksual dan dendanya dua laksa. Bahkan aturan ini juga mengikat pendeta. Jika tak mampu mematuhinya, status kependetaannya terancam hilang. ''Jangan bicara dengan perempuan yang sudah menikah, terutama di tempat sepi, karena nafsu birahi susah dikendalikan,”tulis Titi.
Dendanya pun menjadi lebih sedikit apalagi perempuan yang diajak bicara di tempat sepi bukan istri larangan, atau istri utama yang dipingit. Laki-laki ini didenda sebesar lima tali. Pun jika si laki-laki tak tahu kalau yang dia ajak bicara sudah bersuami. Dia tetap dikenai denda lima tali.
''Meskipun perempuan itu istri saudaranya, istri pamannya, istri menantunya. Pokoknya, dengan perempuan yang telah menikah, perempuan larangan,” lanjutnya.
Baca Juga
Perbuatan strisanggrahana yang meliputi mereka yang membantu dan memfasilitasi perbuatan dalam pasal paradara. Misalnya, orang yang menyuruh si laki-laki untuk meniduri istri orang. Dia akan dikenakan denda dua laksa.
Menurut Kutara, orang yang meniduri perempuan bersuami dikenakan hukuman mati. Ia bisa hidup jika membayar denda empat laksa. Sementara orang yang menghasut dan menyuruh untuk meniduri si perempuan di rumahnya, juga dikenakan denda empat laksa oleh raja
Kendati dalam teks undang-undang Majapahit tegas menghukum mereka yang melecehkan perempuan, dalam prasasti ditemukan juga adanya profesijuru jalir.Profesi ini tugasnya memungut pajak dari para pelacur. Namun, dalam hal ini tak ada keterangan pasti yang menyebut pelacur itu pasti perempuan. Bisa dibilang, pelacur pada masa Majapahit mendapat pengesahan dari penguasa.
(aww)
tulis komentar anda