Strisanggrahana Hukuman Pelaku Kejahatan Seksual Zaman Majapahit
loading...
A
A
A
Cerita pagi kali ini menyuguhkan cara Kerajaan Majapahit yang sangat tegas dalam menerapkan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual yang disebut Strisanggrahana. Hukumannya mulai dari denda, potong tangan, hingga hukuman mati. Hukuman itu sebagai bukti ketegasan penegakan hukum Kerajaan Majapahit dalam mengatur hubungan pria dan wanita.
Dari beragam sumber diketahui, aturan itu termaktub dalam Prasasti Cangu (1358 M) dan kitab perundangan-undangan Agama. Ketegasan hukum di zaman Majapahit itu bisa dilihat dari aturan tempat penyeberangan di Bengawan Solo, yang penerapan hukumannya bisa dilihat dari contoh kasus seorang tukang perahu.
Seseorang tidak akan dianggap bersalah jika menyeberangkan perempuan baik yang masih perawan atau sudah bersuami. Namun, aturan ini berlaku selama dia tidak berbuat astacorah, yaitu delapan macam kejahatan yang berhubungan dengan pencurian.
Dalam teks perundang-undangan Agama, terdapat bab mengenai paradara di antara 19 bab yang memiliki 275 pasal. Paradara memiliki arti istri orang lain atau perbuatan serong. Bab Paradara memuat 17 pasal yang mengatur jenis hukuman dan denda yang dikenakan kepada laki-laki yang mengganggu perempuan.
Paradara mengatur ketentuan hukuman bagi pemerkosa istri orang lain yang dendanya disesuaikan dengan kedudukan sang perempuan dalam kasta. Bila korban berkasta tinggi, yang dikategorikan sebagai perempuan utama, jumlah dendanya dua laksa.
Jika berasal dari kasta menengah, dendanya selaksa. Jika istrinya berkasta rendah, dendanya lima tali. Dalam hal ini penentu jumlah denda memang raja yang berkuasa, dan penerima denda menjadi hak sang suami. ''Jika sedang memerkosa tertangkap basah oleh sang suami, pemerkosa boleh dibunuh,” kata arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa.
Denda diberlakukan jika sang suami menghendaki denda uang. Hukuman lainnya, pelaku bisa dipotong tangannya dan diusir dari desa tempat tinggalnya diberi tanda kalau dia pernah memerkosa istri orang.
Jika yang diperkosa belum menikah, dirayu, diajak lari, atau ke tempat sepi, laki-laki ini disebut babi. Laki-laki ini dikenakan denda empat tali oleh raja. Hukuman mati pun bisa diberikan oleh raja, jika ada saksi yang menyaksikan pemerkosaan tersebut.
Jika seorang laki-laki meniduri istri orang lain setelah dia menguntitnya sampai rumah si perempuan langsung dikenakan pidana mati oleh raja. Namun, bila si istri berhasil meloloskan diri dari pelukan laki-laki itu, pelaku didenda dua laksa. ''Denda diserahkan kepada yang punya istri sebagai penebus hidupnya. Jika berhasil menidurinya, dikenakan pidana mati oleh yang punya istri,” lanjut Titi.
Hukuman unik pun bisa diberikan raja, jika ada seseorang berbicara dan menegur perempuan yang bukan istrinya. Perilaku tersebut dianggap raja sebagai pelecehan seksual dan dendanya dua laksa. Bahkan aturan ini juga mengikat pendeta. Jika tak mampu mematuhinya, status kependetaannya terancam hilang. ''Jangan bicara dengan perempuan yang sudah menikah, terutama di tempat sepi, karena nafsu birahi susah dikendalikan,”tulis Titi.
Dendanya pun menjadi lebih sedikit apalagi perempuan yang diajak bicara di tempat sepi bukan istri larangan, atau istri utama yang dipingit. Laki-laki ini didenda sebesar lima tali. Pun jika si laki-laki tak tahu kalau yang dia ajak bicara sudah bersuami. Dia tetap dikenai denda lima tali.
''Meskipun perempuan itu istri saudaranya, istri pamannya, istri menantunya. Pokoknya, dengan perempuan yang telah menikah, perempuan larangan,” lanjutnya.
Perbuatan strisanggrahana yang meliputi mereka yang membantu dan memfasilitasi perbuatan dalam pasal paradara. Misalnya, orang yang menyuruh si laki-laki untuk meniduri istri orang. Dia akan dikenakan denda dua laksa.
Menurut Kutara, orang yang meniduri perempuan bersuami dikenakan hukuman mati. Ia bisa hidup jika membayar denda empat laksa. Sementara orang yang menghasut dan menyuruh untuk meniduri si perempuan di rumahnya, juga dikenakan denda empat laksa oleh raja
Kendati dalam teks undang-undang Majapahit tegas menghukum mereka yang melecehkan perempuan, dalam prasasti ditemukan juga adanya profesijuru jalir.Profesi ini tugasnya memungut pajak dari para pelacur. Namun, dalam hal ini tak ada keterangan pasti yang menyebut pelacur itu pasti perempuan. Bisa dibilang, pelacur pada masa Majapahit mendapat pengesahan dari penguasa.
Dari beragam sumber diketahui, aturan itu termaktub dalam Prasasti Cangu (1358 M) dan kitab perundangan-undangan Agama. Ketegasan hukum di zaman Majapahit itu bisa dilihat dari aturan tempat penyeberangan di Bengawan Solo, yang penerapan hukumannya bisa dilihat dari contoh kasus seorang tukang perahu.
Seseorang tidak akan dianggap bersalah jika menyeberangkan perempuan baik yang masih perawan atau sudah bersuami. Namun, aturan ini berlaku selama dia tidak berbuat astacorah, yaitu delapan macam kejahatan yang berhubungan dengan pencurian.
Dalam teks perundang-undangan Agama, terdapat bab mengenai paradara di antara 19 bab yang memiliki 275 pasal. Paradara memiliki arti istri orang lain atau perbuatan serong. Bab Paradara memuat 17 pasal yang mengatur jenis hukuman dan denda yang dikenakan kepada laki-laki yang mengganggu perempuan.
Paradara mengatur ketentuan hukuman bagi pemerkosa istri orang lain yang dendanya disesuaikan dengan kedudukan sang perempuan dalam kasta. Bila korban berkasta tinggi, yang dikategorikan sebagai perempuan utama, jumlah dendanya dua laksa.
Jika berasal dari kasta menengah, dendanya selaksa. Jika istrinya berkasta rendah, dendanya lima tali. Dalam hal ini penentu jumlah denda memang raja yang berkuasa, dan penerima denda menjadi hak sang suami. ''Jika sedang memerkosa tertangkap basah oleh sang suami, pemerkosa boleh dibunuh,” kata arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa.
Denda diberlakukan jika sang suami menghendaki denda uang. Hukuman lainnya, pelaku bisa dipotong tangannya dan diusir dari desa tempat tinggalnya diberi tanda kalau dia pernah memerkosa istri orang.
Jika yang diperkosa belum menikah, dirayu, diajak lari, atau ke tempat sepi, laki-laki ini disebut babi. Laki-laki ini dikenakan denda empat tali oleh raja. Hukuman mati pun bisa diberikan oleh raja, jika ada saksi yang menyaksikan pemerkosaan tersebut.
Jika seorang laki-laki meniduri istri orang lain setelah dia menguntitnya sampai rumah si perempuan langsung dikenakan pidana mati oleh raja. Namun, bila si istri berhasil meloloskan diri dari pelukan laki-laki itu, pelaku didenda dua laksa. ''Denda diserahkan kepada yang punya istri sebagai penebus hidupnya. Jika berhasil menidurinya, dikenakan pidana mati oleh yang punya istri,” lanjut Titi.
Hukuman unik pun bisa diberikan raja, jika ada seseorang berbicara dan menegur perempuan yang bukan istrinya. Perilaku tersebut dianggap raja sebagai pelecehan seksual dan dendanya dua laksa. Bahkan aturan ini juga mengikat pendeta. Jika tak mampu mematuhinya, status kependetaannya terancam hilang. ''Jangan bicara dengan perempuan yang sudah menikah, terutama di tempat sepi, karena nafsu birahi susah dikendalikan,”tulis Titi.
Dendanya pun menjadi lebih sedikit apalagi perempuan yang diajak bicara di tempat sepi bukan istri larangan, atau istri utama yang dipingit. Laki-laki ini didenda sebesar lima tali. Pun jika si laki-laki tak tahu kalau yang dia ajak bicara sudah bersuami. Dia tetap dikenai denda lima tali.
''Meskipun perempuan itu istri saudaranya, istri pamannya, istri menantunya. Pokoknya, dengan perempuan yang telah menikah, perempuan larangan,” lanjutnya.
Baca Juga
Perbuatan strisanggrahana yang meliputi mereka yang membantu dan memfasilitasi perbuatan dalam pasal paradara. Misalnya, orang yang menyuruh si laki-laki untuk meniduri istri orang. Dia akan dikenakan denda dua laksa.
Menurut Kutara, orang yang meniduri perempuan bersuami dikenakan hukuman mati. Ia bisa hidup jika membayar denda empat laksa. Sementara orang yang menghasut dan menyuruh untuk meniduri si perempuan di rumahnya, juga dikenakan denda empat laksa oleh raja
Kendati dalam teks undang-undang Majapahit tegas menghukum mereka yang melecehkan perempuan, dalam prasasti ditemukan juga adanya profesijuru jalir.Profesi ini tugasnya memungut pajak dari para pelacur. Namun, dalam hal ini tak ada keterangan pasti yang menyebut pelacur itu pasti perempuan. Bisa dibilang, pelacur pada masa Majapahit mendapat pengesahan dari penguasa.
(aww)