Ikut Pertempuran 10 November, KH Amin Asal Cirebon Disebut Tak Mempan Lemparan Bom
Rabu, 10 November 2021 - 05:00 WIB
Ketika belajar di pesantren, Babakan Ciwaringin, beliau dikenal dengan sebutan Santri Pinter, karena beliau pandai mengaji. Setelah beliau menyelasaikan tahassus, kemudian dinikahkan dengan keponakan Kiai Ismail.
Sehingga sepeninggal Kiai Ismail, pada tahun 1916, pengasuh Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin Cirebon diteruskan oleh Kiai Amin yang lebih dikenal dengan dengan Kiai Amin Sepuh.
Gelar itu disematkan kepada beliau, dikarenakan keilmuan dan asal muasal beliau yang sama dengan pendiri Pesantren Babakan, yaitu Kiai Jatira dari Mijahan.
Dengan bermodal ilmu pengetahuan yang telah ia peroleh, serta upaya untuk mengikuti perkembangan Islam yang terjadi di Timur Tengah, Kiai Amin Sepuh memegang tampuk pimpinan Pesantren Babakan Ciwaringin, peninggalan nenek moyangnya dengan penuh kesungguhan. Baca: Dendam Kesumat Mpu Purwa Kutuk Penculik Ken Dedes Binasa Tertikam Keris.
Kiai muda yang masih energik ini, selain mengajar berbagai khazanah kitab kuning, beliau juga memperkaya pengetahuan para santrinya dengan ilmu keislaman modern, tentu dengan tetap memprioritaskan kajian ilmu ubudiyah dalam kehidupan sehari-hari.
Kepiawaian dan kedigdayaan Kiai Amin sepuh tertuang dalam perjuangan 10 November 1945 di Surabaya.
Diceritakan dalam sebuah majelis, bahwasanya almarhum KH Abdul Mujib Ridlwan, Putra KH. Ridlwan Abdullah Pencipta lambang NU, mengajukan sebuah pertanyaan.
"Kenapa perlawanan rakyat Surabaya itu terjadi 10 November 1945, kenapa tidak sehari atau dua hari sebelumnya, padahal pada saat itu tentara dan rakyat sudah siap?"
Melihat tak satu pun hadirin yang dapat menjawab, akhirnya pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Kiai Mujib. Baca Juga: Kisah Pertempuran Untung Surapati Melawan VOC dan Kesuksesan Menjadi Adipati Pasuruhan.
"Jawabannya adalah saat itu belum diizinkan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari untuk memulai pertempuran, mengapa tidak diizinkan?
Sehingga sepeninggal Kiai Ismail, pada tahun 1916, pengasuh Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin Cirebon diteruskan oleh Kiai Amin yang lebih dikenal dengan dengan Kiai Amin Sepuh.
Gelar itu disematkan kepada beliau, dikarenakan keilmuan dan asal muasal beliau yang sama dengan pendiri Pesantren Babakan, yaitu Kiai Jatira dari Mijahan.
Dengan bermodal ilmu pengetahuan yang telah ia peroleh, serta upaya untuk mengikuti perkembangan Islam yang terjadi di Timur Tengah, Kiai Amin Sepuh memegang tampuk pimpinan Pesantren Babakan Ciwaringin, peninggalan nenek moyangnya dengan penuh kesungguhan. Baca: Dendam Kesumat Mpu Purwa Kutuk Penculik Ken Dedes Binasa Tertikam Keris.
Kiai muda yang masih energik ini, selain mengajar berbagai khazanah kitab kuning, beliau juga memperkaya pengetahuan para santrinya dengan ilmu keislaman modern, tentu dengan tetap memprioritaskan kajian ilmu ubudiyah dalam kehidupan sehari-hari.
Kepiawaian dan kedigdayaan Kiai Amin sepuh tertuang dalam perjuangan 10 November 1945 di Surabaya.
Diceritakan dalam sebuah majelis, bahwasanya almarhum KH Abdul Mujib Ridlwan, Putra KH. Ridlwan Abdullah Pencipta lambang NU, mengajukan sebuah pertanyaan.
"Kenapa perlawanan rakyat Surabaya itu terjadi 10 November 1945, kenapa tidak sehari atau dua hari sebelumnya, padahal pada saat itu tentara dan rakyat sudah siap?"
Melihat tak satu pun hadirin yang dapat menjawab, akhirnya pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Kiai Mujib. Baca Juga: Kisah Pertempuran Untung Surapati Melawan VOC dan Kesuksesan Menjadi Adipati Pasuruhan.
"Jawabannya adalah saat itu belum diizinkan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari untuk memulai pertempuran, mengapa tidak diizinkan?
tulis komentar anda