Melawan Tanpa Kekerasan, Kaum Samin Berhasil Repotkan Kolonial Belanda

Sabtu, 16 Mei 2020 - 06:00 WIB
Berbagai tulisan para sejarawan dan sosiolog yang meneliti gerakan Saminisme mencoba merumuskan penyebab yang melatar-belakangi munculnya perlawanan halus itu. Pertama, akibat pajak-pajak yang ditetapkan pemerintah, makin tahun makin menaik. Karena itu, mereka melakukan perlawanan halus, dengan pura-pura tidak mengenal pajak.

Dalam catatan pemerintah Belanda, orang Samin semacam itu tidak bisa dianjurkan dengan baik-baik. Maka, pengadilan kemudian menjatuhkan putusan, bahwa terdakwa ditetapkan memiliki utang kepada negara yang harus dibayar delapan hari kemudian. Namun karena selama tenggang waktu itu tidak ada pelunasan utang, maka aparat pemerintah kemudian menyita sejumlah barang milik terdakwa orang Saminis itu.

Anehnya, mereka tidak menghalangi penyitaan itu. Ketika barang-barang dijual dan ternyata lebih besar ketimbang utangnya, kelebihan itu dikembalikan oleh aparat kepadanya. Anehnya, mereka juga tidak mau menerima kelebihan uang itu. Sebab, mereka merasa tidak menjual apa-apa dan tidak berhak atas pengembalian sisa penjualan itu.

Kedua, faktor ekonomis lain yang juga dianggap sebagai penyebab perlawanan rakyat Samin adalah penutupan hutan jati oleh pemerintah. Lingkungan yang ditempati oleh kaum Samin adalah hutan jati yang terbaik di Pulau Jawa pada awal abad ke-20. Larangan pemerintah tentu saja dianggap melanggar Ajaran Adam, yang berpatokan pada lemah podho duwe, banyu podho duwe, kayu podho duwe.

Hutan adalah milik mereka sebagai warisan nenek moyang. Jadi, ketika mereka tetap mengambil ranting-ranting kayu dari hutan dan ditangkap dengan tuduhan mencuri, mereka menyangkalnya. Mereka juga tidak melawan ketika dijebloskan ke penjara. Kaum Saminis memang mempunyai kesabaran yang luar biasa, sesuai dengan Ajaran Adam seperti yang disampaikan gurunya Surosentiko Samin : wong sikep weruh theke dewe (orang sikep tahu apa yang menjadi miliknya).

Meskipun kewalahan menagih pajak di Blora, Bojonegoro, Rembang, dan juga Madiun, pemerintah kolonial tidak melakukan tindakan yang keras kepada mereka. Karena mereka juga tidak melakukan keonaran dan tindak kriminal. Namun pada awal Maret 1907, muncul isu akan akan ada pemberontakan oleh kaum Saminis. Maka ketika ada acara selamatan di salah satu rumah warga Saminis, yang dicurigai menjadi pusat makar, polisi menangkapi para tamu yang datang.

Surosentiko Samin sendiri tidak datang dalam acara itu, hingga dia aman dari penangkapan. Namun pada awal November 1907, Samin yang diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam, ditangkap oleh pemerintah kolonial ketika menghadiri undangan Bupati Rembang.

Samin kemudian dibuang ke Padang dan pada 2 September 1914 meninggal dunia. Apakah kemudian ajaran Saminis musnah? Nyatanya tidak. Tercatat beberapa nama meneruskan ajarannya. Mulai dari menantunya, hingga murid-muridnya. Ada nama Wongsorejo, Surohidin (menantu Samin), Pak Engkrak, Karsiyah, Jokromi, Projodikoro, dan Samat. Bahkan pada era Orde Baru, masih banyak kaum Saminis di Blora dan Pati. Tentu, saat ini sudah tidak “sekaku” dahulu. (sumber:kerisnews.com/diolah dari berbagai sumber)
(nbs)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More Content