Melawan Tanpa Kekerasan, Kaum Samin Berhasil Repotkan Kolonial Belanda

Sabtu, 16 Mei 2020 - 06:00 WIB
Lemah podho duwe, banyu podho duwe, kayu podho duwe (tanah semua punya, air semua punya, kayu semua punya). Inilah konsep Ajaran Adam yang didengungkan oleh Samin yang oleh Belanda dulu dianggap sebagai ciri-ciri dasar ideologi komunis yang muncul pada kaum Saminis.

Namun, rupanya falsafah yang mendasarinya berbeda. Ajaran Samin bukanlah komunisme. Para sosiolog justru melihat, bahwa masyarakat Samin sangat egaliter. Nyatanya, konsep itu justru menunjukkan sikap dasar mereka yang menganggap bahwa tanah, air, dan kayu adalah milik bersama jadi harus dirawat bersama, dan tidak ada pihak yang berhak mendominasi ke tiga hal tersebut.

Egaliterian kaum Saminis ini juga terungkap dalam ucapan dan tindakan mereka. Mereka tidak mau kenal istilah atasan dan bawahan. Semua sama. Bahasa yang mereka kenal adalah Bahasa Jawa Ngoko (kasar) tidak ada Bahasa Jawa Krama Inggil (halus). Bicara antara yang muda kepada orangtua, kepada aparat desa, asisten residen dan residen, bupati atau aparat lainnya, mereka menggunakan Bahasa Jawa Ngoko.

Dalam pergaulan dengan para pejabat daerah dan aparat kolonial, mereka juga tidak menjalankan unggah-ungguh seperti normalnya orang Jawa. Ada cerita ketika Asisten Residen Tuban JE Jasper mengunjungi seorang Samin di rumahnya. Sang tuan rumah justru meletakkan kakinya (jegang) di atas meja di depan tamunya.



Ajaran Adam yang dibawakan oleh Samin kepada orang-orang di desanya dan juga desa sekitar, berkembang pesat. Kalau pada tahun 1903 hanya ada 772 orang pengikut di Blora dan Bojonegoro yang tersebar di 34 desa, maka tiga tahun kemudian pada tahun 1906, pengikut Saminis telah menjadi 3.000 orang dan berkembang hingga daerah Selatan Rembang.

Pemerintah Hindia Belanda semula tidak terlalu menggubris ajaran Samin tersebut. Karena hanya dianggap semacam aliran kebatinan biasa. Namun ketika perkembangan jumlah pengikut termasuk pesat, dan terutama terjadi perubahan drastis perilaku masyarakat Saminis itu, maka sejak tahun 1905, pemerintah kolonial mulai peduli.

Perubahan perilaku yang dilaporkan oleh Kontrolir Blora kepada Residen Rembang adalah bahwa para pengikut Samin mulai menarik diri dari kehidupan umum desanya, menolak menyetor sumbangan bagi lumbung desa, dan juga menolak mengandangkan ternaknya. Lama-kelamaan, mereka juga menolak semua kebijakan pemerintah yang menyangkut pungutan pajak kepada rakyat.

Tentu saja, tidak semua kelompok Samin menolak menyerahkan uang pajak kepada pemerintah. Mereka melakukan pembayaran itu dengan tulus ikhlas bukan sebagai pelunasan pajak, tapi lebih didasari sebagai penyerahan sukarela zakat. Mereka tidak mengenal paksaan dan kewajiban membayar pajak. Menyerahkan uang atau tidak kepada pemerintah, lebih merupakan sebagai keputusan bebas mereka.

Jadi, mereka menganggap pajak sebagai sumbangan sukarela, dan itu sebabnya mereka memandang penarik pajak sebagai pengemis. Penarikan pajak di daerah Bojonegoro ketika itu dinilai sangat bagus, karena para petugas pajak menarik uang dari para penduduk dengan cara seperti mengemis, tidak memaksa.
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More