Melawan Tanpa Kekerasan, Kaum Samin Berhasil Repotkan Kolonial Belanda
Sabtu, 16 Mei 2020 - 06:00 WIB
Sejak Perang Diponegoro usai tahun 1830, praktis tak ada lagi gerakan perlawanan di Tanah Jawa yang diprakrasai kaum bangsawan. Sejak itu, justru marak perlawanan yang muncul di pedesaan yang dilakukan kaum petani. Salah satunya kaum Samin di Blora dan sekitarnya pada awal abad ke-20. Inilah gerakan perlawanan rakyat tanpa kekerasan yang justru merepotkan dan menjengkelkan Pemerintah Kolonial Belanda.
Perlawanan yang dilakukan kaum Samin cukup unik, yakni menghindari pajak dan kebijakan pemerintah pada zaman penjajahan Belanda. Adalah Surosentiko Samin, seorang petani dari Desa Ploso Kediren, Randublatung, Blora, Jawa Tengah, yang pada tahun 1905 mendapat perhatian besar dari Pemerintah Kolonial Belanda.
Samin ini dianggap telah menyebarkan suatu ajaran yang menjadi biang kerok perlawanan petani di tanah Jawa bagian Tengah dan Timur. Perlawanan rakyat tersebut berjalan tanpa kekerasan. Mereka hanya enggan membayar pajak kepada pemerintah.
Samin lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar, anak kedua dari lima lelaki bersaudara dari keluarga Raden Surowijaya. Dia kemudian mengubah namanya Raden Kohar menjadi Surosentiko Samin.
Sebab, menurutnya, Samin adalah sebuah nama yang bernafaskan wong cilik. Samin termasuk petani yang tidak miskin karena memiliki sawah seluas 3 bau (sekitar 2,1 ha), ladang 1 bau (0,7 ha), dan 6 ekor sapi. Samin termasuk petani gogol. Gogol adalah petani yang punya rumah dan tanah sendiri, memiliki hak sebagian tanah komunitas desa, sehingga wajib membayar pajak dan melakukan kerja paksa.
Sebelum menyebarkan ajaran Samin, dia mengalami peristiwa mistis seperti yang diyakini para pengikutnya. Pada suatu hari, Samin pergi ke sebuah gunung untuk bertapa. Dalam semedinya yang khusyuk, jatuhlah sebuah buku dari langit. Meskipun Samin buta huruf, tiba-tiba dia bisa membaca buku itu dan sangat memahaminya.
Buku yang nantinya menjadi kitab suci kaum Saminis itu bernama Serat Jamus Kalimasada. Yang menarik, nama kitab itu sama dengan nama pusaka sakti milik para satria Pandawa dalam kisah pewayangan. Jamus Kalimasada itu terdiri dari lima kitab yaitu Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, dan Serat Lampahing Urip.
Kitab-kitab ini merupakan pedoman yang amat populer dan dimuliakan oleh kaum Samin. Bisa jadi, Samin memang terinspirasi oleh cerita pewayangan. Selain dirinya disamakan dengan Bima (sama-sama anak ke dua dari lima lelaki bersaudara), beberapa topik dalam ceramahnya, Samin selalu mengatakan bahwa tanah Jawa adalah titipan dari para satria Pandawa, karena itu harus dijaga baik-baik.
Perlawanan yang dilakukan kaum Samin cukup unik, yakni menghindari pajak dan kebijakan pemerintah pada zaman penjajahan Belanda. Adalah Surosentiko Samin, seorang petani dari Desa Ploso Kediren, Randublatung, Blora, Jawa Tengah, yang pada tahun 1905 mendapat perhatian besar dari Pemerintah Kolonial Belanda.
Samin ini dianggap telah menyebarkan suatu ajaran yang menjadi biang kerok perlawanan petani di tanah Jawa bagian Tengah dan Timur. Perlawanan rakyat tersebut berjalan tanpa kekerasan. Mereka hanya enggan membayar pajak kepada pemerintah.
Samin lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar, anak kedua dari lima lelaki bersaudara dari keluarga Raden Surowijaya. Dia kemudian mengubah namanya Raden Kohar menjadi Surosentiko Samin.
Sebab, menurutnya, Samin adalah sebuah nama yang bernafaskan wong cilik. Samin termasuk petani yang tidak miskin karena memiliki sawah seluas 3 bau (sekitar 2,1 ha), ladang 1 bau (0,7 ha), dan 6 ekor sapi. Samin termasuk petani gogol. Gogol adalah petani yang punya rumah dan tanah sendiri, memiliki hak sebagian tanah komunitas desa, sehingga wajib membayar pajak dan melakukan kerja paksa.
Sebelum menyebarkan ajaran Samin, dia mengalami peristiwa mistis seperti yang diyakini para pengikutnya. Pada suatu hari, Samin pergi ke sebuah gunung untuk bertapa. Dalam semedinya yang khusyuk, jatuhlah sebuah buku dari langit. Meskipun Samin buta huruf, tiba-tiba dia bisa membaca buku itu dan sangat memahaminya.
Buku yang nantinya menjadi kitab suci kaum Saminis itu bernama Serat Jamus Kalimasada. Yang menarik, nama kitab itu sama dengan nama pusaka sakti milik para satria Pandawa dalam kisah pewayangan. Jamus Kalimasada itu terdiri dari lima kitab yaitu Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, dan Serat Lampahing Urip.
Kitab-kitab ini merupakan pedoman yang amat populer dan dimuliakan oleh kaum Samin. Bisa jadi, Samin memang terinspirasi oleh cerita pewayangan. Selain dirinya disamakan dengan Bima (sama-sama anak ke dua dari lima lelaki bersaudara), beberapa topik dalam ceramahnya, Samin selalu mengatakan bahwa tanah Jawa adalah titipan dari para satria Pandawa, karena itu harus dijaga baik-baik.
tulis komentar anda