KH Anwar Musaddad, Ulama Besar yang Kerap Merepotkan Pasukan Belanda
Sabtu, 21 November 2020 - 05:00 WIB
Setamat AMS di Batavia, Musaddad sempat menimba ilmu di Pesantren Darussalam Wanaraja, Garut selama dua tahun. Karena keinginan sang Ibu agar anaknya memperdalam ilmu agama Islam, Musaddad pun akhirnya menimba ilmu ke Mekkah selama 11 tahun di Madrasah Al-Falah.
Di Mekkah, dia menuntut ilmu kepada para ulama terkenal Makkah masa itu, di antaranya Sayyid Alwi al Maliki, Syekh Umar Hamdan, Sayyid Amin Qubti, Syekh Janan Toyyib (Mufgi Tanah Haram asal Minang), Syekh Abdul Muqoddasi (Mufti Tanah Haram asal Solo) hingga akhirnya kembali pulang ke Tanah Air saat berakhirnya penjajahan Belanda.
Berbekal ilmu agama Islam yang mumpuni ditambah pengalamannya menimba ilmu di sekolah-sekolah Belanda, Musaddad kecil yang tumbuh dewasa kemudian menjadi sosok ulama yang toleran dan modern.
Yies Sa'diyah dalam bukunya, Biografi Prof KH Anwar Musaddad menyebutkan bahwa saat berusia 32 tahun, Musaddad menerima pendidikan militer dalam program kemiliteran yang digagas Pemerintah Jepang. Program tersebut sengaja digelar untuk melatih warga pribumi dalam upaya mengantisipasi kedatangan pasukan sekutu.
Alih-alih untuk kepentingan Pemerintah Jepang, Musaddad malah memanfaatkan ilmu kemiliteran, termasuk strategi berperang yang diperolehnya itu untuk membangkitkan semangat perlawanan terhadap perjuangan melawan pendudukan Jepang.
Melalui dakwah, Musaddad pun mulai memobilisasi guru, ulama, pandu, pedagang, hingga petani dalam upayanya membangun semangat perjuangan untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Para pemuda pun kemudian dikumpulkan untuk mendapatkan pelatihan militer hingga akhirnya terbentuk sebuah pasukan yang dinamai Hizbullah.
Kala Jepang bertekuk lutut kepada tentara sekutu menjelang proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Musaddad langsung menunjukkan perannya sebagai pejuang ulung dengan strategi berperang yang telah dikuasainya.
Hal itu dia lakukan menyusul informasi bahwa Belanda akan kembali menjajah Indonesia dengan menumpang pasukan sekutu. Kembalinya pasukan Belanda diketahui menjadi pemicu pertempuran di Surabaya, 10 November 1945 yang akhirnya diperingati sebagai Hari Pahlawan dan pembumihangusan Bandung yang dikenal dengan peristiwa Bandung Lautan Api, 23 Maret 1946.
Meski sempat dirawat di rumah sakit pascaterjatuh dari sepeda motor saat proklamasi dikumandangkan, pasca pulih, Musaddad langsung terlibat pertempuran dengan pasukan Belanda yang hendak kembali menjajah Indonesia kala itu. Bersama KH Mustofa Kamil dan KH Yusuf Tauziri, ulama besar lainnya di Garut, Musaddad memberikan perlawanan sengit dalam pertempuran di Garut.
Dengan dukungan sekitar 200 pemuda terlatih yang tergabung dalam pasukan Hizbullah, pertempuran demi pertempuran berhasil dimenangkan, seperti saat melawan Gurkha, pasukan tentara Inggris yang diisi orang-orang dari India.
Di Mekkah, dia menuntut ilmu kepada para ulama terkenal Makkah masa itu, di antaranya Sayyid Alwi al Maliki, Syekh Umar Hamdan, Sayyid Amin Qubti, Syekh Janan Toyyib (Mufgi Tanah Haram asal Minang), Syekh Abdul Muqoddasi (Mufti Tanah Haram asal Solo) hingga akhirnya kembali pulang ke Tanah Air saat berakhirnya penjajahan Belanda.
Berbekal ilmu agama Islam yang mumpuni ditambah pengalamannya menimba ilmu di sekolah-sekolah Belanda, Musaddad kecil yang tumbuh dewasa kemudian menjadi sosok ulama yang toleran dan modern.
Yies Sa'diyah dalam bukunya, Biografi Prof KH Anwar Musaddad menyebutkan bahwa saat berusia 32 tahun, Musaddad menerima pendidikan militer dalam program kemiliteran yang digagas Pemerintah Jepang. Program tersebut sengaja digelar untuk melatih warga pribumi dalam upaya mengantisipasi kedatangan pasukan sekutu.
Alih-alih untuk kepentingan Pemerintah Jepang, Musaddad malah memanfaatkan ilmu kemiliteran, termasuk strategi berperang yang diperolehnya itu untuk membangkitkan semangat perlawanan terhadap perjuangan melawan pendudukan Jepang.
Melalui dakwah, Musaddad pun mulai memobilisasi guru, ulama, pandu, pedagang, hingga petani dalam upayanya membangun semangat perjuangan untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Para pemuda pun kemudian dikumpulkan untuk mendapatkan pelatihan militer hingga akhirnya terbentuk sebuah pasukan yang dinamai Hizbullah.
Kala Jepang bertekuk lutut kepada tentara sekutu menjelang proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Musaddad langsung menunjukkan perannya sebagai pejuang ulung dengan strategi berperang yang telah dikuasainya.
Hal itu dia lakukan menyusul informasi bahwa Belanda akan kembali menjajah Indonesia dengan menumpang pasukan sekutu. Kembalinya pasukan Belanda diketahui menjadi pemicu pertempuran di Surabaya, 10 November 1945 yang akhirnya diperingati sebagai Hari Pahlawan dan pembumihangusan Bandung yang dikenal dengan peristiwa Bandung Lautan Api, 23 Maret 1946.
Meski sempat dirawat di rumah sakit pascaterjatuh dari sepeda motor saat proklamasi dikumandangkan, pasca pulih, Musaddad langsung terlibat pertempuran dengan pasukan Belanda yang hendak kembali menjajah Indonesia kala itu. Bersama KH Mustofa Kamil dan KH Yusuf Tauziri, ulama besar lainnya di Garut, Musaddad memberikan perlawanan sengit dalam pertempuran di Garut.
Dengan dukungan sekitar 200 pemuda terlatih yang tergabung dalam pasukan Hizbullah, pertempuran demi pertempuran berhasil dimenangkan, seperti saat melawan Gurkha, pasukan tentara Inggris yang diisi orang-orang dari India.
tulis komentar anda