Kisah Raja Majapahit Hayam Wuruk yang Dikritik Anak Buahnya Pejabat Keagamaan
Minggu, 05 November 2023 - 06:00 WIB
Kritikan pedas pernah diterima oleh Raja Majapahit Hayam Wuruk. Kritikan itu keluar dari pejabat agama Buddha di Kerajaan Majapahit Mpu Prapanca, yang juga dikenal sebagai pujangga.
Saat itu memang sosok Hayam Wuruk memerintah sebagai raja merupakan penganut Siwa. Hal ini disebut membuatnya kerap bertolakbelakang atau mendiskriminasi Buddha, kendati telah memprogramkan tiga keyakinan kepercayaan, yang disebut tripaksa.
Tak ayal, pendeta Buddha yang merupakan kepala pembesar urusan atau pejabat penting urusan Buddha Majapahit, bersurat pada Hayam Wuruk. Pendeta Buddha dibuat haru dan miris melihat kondisi bangunan bernuansa agama Buddha yang berbeda jauh kondisinya dengan Siwa.
Tak pelak ada sedikit rasa iri yang diungkapkan pendeta bernama Prapanca ini, sebagaimana dikisahkan pada buku "Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit", karya Prof. Slamet Muljana. Kemudian ia menulis surat dalam bentuk pujasastra kepada sang raja.
Konon isi permintaan ini hanya orang yang mempunyai bakat kepujanggaan besar yang dapat menguraikan maksudnya. Intinya isi surat tersebut berisi rasa iri hati Prapanca melihat pemeliharaan candi makam Siwa Kagenengan dan candi Buddha di sebelah selatan tempat tersebut.
Digambarkan dalam bangunan Buddha tersebut terdapat sebuah makam terbengkalai sunyi, tembok dan pintunya bekas zaman kebuddhaan masih berdiri. Di dalamnya ada lantai, tetapi kakinya sebelah barat telah hilang, tinggal yang sebelah timur, hanya sanggar dan pemujaan yang masih utuh. Hal ini tentu bertolakbelakang dan menimbulkan pilih kasih di antara agama yang diakui saat itu.
Prapanca juga menyinggung hilangnya arca Aksobya dari candi Siwa - Buddha yang didirikan oleh Kertanegara. Pada candi itu terdapat dua arca, yakni arca Siwa dan paduka yang senang berziarah ke tempat suci. Dimana Prapanca yang merupakan pemuka agama Buddha, justru menyembah arca Siwa dengan khidmat.
Ia mengadu ke Hayam Wuruk atas hilangnya arca Aksobya yang diduga dicuri oleh orang lain. Namun secara tersurat, Prapanca tak mau menuduh demikian, ia memilih untuk mengajukan protes secara halus mengenai hilangnya arca Aksobya tersebut.
Kebetulan sang raja merupakan penganut agama Siwa, saat itu pun agama Siwa dijadikan agama resmi negara. Rajanya juga memeluk agama Siwa dan berulang kali disebut Girinata. Sementara agama Buddha agak dikesampingkan.
Hilangnya arca Aksobya adalah suatu bukti adanya perasaan tidak senang dari pihak pemeluk agama Siwa kepada agama Buddha. Konon ada persaingan antara agama Buddha dan agama Siwa dalam Kerajaan Majapahit kendati Hayam Wuruk mempunyai program tripaksa.
Saat itu memang sosok Hayam Wuruk memerintah sebagai raja merupakan penganut Siwa. Hal ini disebut membuatnya kerap bertolakbelakang atau mendiskriminasi Buddha, kendati telah memprogramkan tiga keyakinan kepercayaan, yang disebut tripaksa.
Tak ayal, pendeta Buddha yang merupakan kepala pembesar urusan atau pejabat penting urusan Buddha Majapahit, bersurat pada Hayam Wuruk. Pendeta Buddha dibuat haru dan miris melihat kondisi bangunan bernuansa agama Buddha yang berbeda jauh kondisinya dengan Siwa.
Tak pelak ada sedikit rasa iri yang diungkapkan pendeta bernama Prapanca ini, sebagaimana dikisahkan pada buku "Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit", karya Prof. Slamet Muljana. Kemudian ia menulis surat dalam bentuk pujasastra kepada sang raja.
Konon isi permintaan ini hanya orang yang mempunyai bakat kepujanggaan besar yang dapat menguraikan maksudnya. Intinya isi surat tersebut berisi rasa iri hati Prapanca melihat pemeliharaan candi makam Siwa Kagenengan dan candi Buddha di sebelah selatan tempat tersebut.
Digambarkan dalam bangunan Buddha tersebut terdapat sebuah makam terbengkalai sunyi, tembok dan pintunya bekas zaman kebuddhaan masih berdiri. Di dalamnya ada lantai, tetapi kakinya sebelah barat telah hilang, tinggal yang sebelah timur, hanya sanggar dan pemujaan yang masih utuh. Hal ini tentu bertolakbelakang dan menimbulkan pilih kasih di antara agama yang diakui saat itu.
Prapanca juga menyinggung hilangnya arca Aksobya dari candi Siwa - Buddha yang didirikan oleh Kertanegara. Pada candi itu terdapat dua arca, yakni arca Siwa dan paduka yang senang berziarah ke tempat suci. Dimana Prapanca yang merupakan pemuka agama Buddha, justru menyembah arca Siwa dengan khidmat.
Ia mengadu ke Hayam Wuruk atas hilangnya arca Aksobya yang diduga dicuri oleh orang lain. Namun secara tersurat, Prapanca tak mau menuduh demikian, ia memilih untuk mengajukan protes secara halus mengenai hilangnya arca Aksobya tersebut.
Kebetulan sang raja merupakan penganut agama Siwa, saat itu pun agama Siwa dijadikan agama resmi negara. Rajanya juga memeluk agama Siwa dan berulang kali disebut Girinata. Sementara agama Buddha agak dikesampingkan.
Hilangnya arca Aksobya adalah suatu bukti adanya perasaan tidak senang dari pihak pemeluk agama Siwa kepada agama Buddha. Konon ada persaingan antara agama Buddha dan agama Siwa dalam Kerajaan Majapahit kendati Hayam Wuruk mempunyai program tripaksa.
(hri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda