Sultanah Safiatuddin, Raja Perempuan Aceh yang Kuasai 4 Bahasa Sempat Ditentang Ulama

Jum'at, 16 Desember 2022 - 08:34 WIB
loading...
A A A


Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat, sehingga di masa itu lahirlah karya-karya besar. Sultanah Safiatuddin juga berhasil menampik usah-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. Bahkan VOC pun tak berhasil memperoleh komoditas atas perdagangan timah dan komoditi lainnya.

Tak hanya itu, ia juga membuat peraturan untuk meningkatkan kedudukan kaum perempuan, sehingga saat itu tercipta keseteraan gender dan perlindungan kepada perempuan begitu tinggi. Salah satu aturan yang dibuat yakni Cap Sikureung, atau cap sembilan yaitu stempel sah Kesultanan Aceh Darussalam.

Pada masa pemerintahannya terdapat dua orang ulama penasehat negara (mufti) yaitu, Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkil yang bergelar Teungku Syiah Kuala. Atas permintaan Ratu, Nuruddin menulis buku berjudul Hidayatul Imam yang ditujukan bagi kepentingan rakyat umum, dan atas permintaan Ratu pula, Abdurrauf Singkil menulis buku berjudul Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, untuk menjadi pedoman bagi para qadhi dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ratu Safiatuddin bukan saja mengutamakan kesejahteraan negerinya tetapi juga berusaha menjalankan pemerintahannya sesuai dengan hukum Islam.



Selain itu, juga terdapat berbagai karya sastra penting yang ditulis pada masa kekuasaannya. Syekh al-Islam Aceh Nuruddin ar-Raniri menulis setidaknya tujuh buku mengenai agama, sejarah, literatur, dan hukum, seperti Shiratul Mustaqim (Jalan Lurus), Syaiful-Qutub (Obat untuk Hati), dan Bustanul Salathin fi Dzikrilawwalin wal-Akhirin (Kebun Sultan mengenai Biografi Tokoh Masa Lalu dan Depan).

Safiatuddin juga menugaskan Abdul Rauf al-Singkel untuk menulis sebuah buku mengenai fikih, yang kini dikenal dengan sebutan Mir’at al Tullab. Buku yang diselesaikan pada tahun 1663 ini merupakan buku pertama mengenai hukum agama yang ditulis dalam bahasa Melayu. Dengan perkembangan berbagai karya ini, sejarawan Sher Banu A.L. Khan berkomentar bahwa masa Sultanah Safiatuddin dapat dianggap sebagai "zaman keemasan Islam dan Melayu di Aceh yang tak tertandingi hingga kini"

Sang perempuan pertama penguasa Kesultanan Aceh Darussalam ini pun wafat pada 23 Oktober 1675. Sebagai pengganti raja yang bukan laki-laki, Sultanah Safiatuddin mendapat gelar Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam.

Sumber: dok.sindonews/inews/okezone
(nic)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2958 seconds (0.1#10.140)