Sultanah Safiatuddin, Raja Perempuan Aceh yang Kuasai 4 Bahasa Sempat Ditentang Ulama

Jum'at, 16 Desember 2022 - 08:34 WIB
loading...
Sultanah Safiatuddin,...
Lukisan Kerajaan Aceh Darussalam yang berdiri ratusan tahun silam. Salah satu rajanya adalah seorang perempuan bernama Sultanah Safiatuddin yang mengusai empat bahasa asing dan membawa kejayaan. Foto: Istimewa
A A A
Sultanah Safiatuddin menjadi pemimpin usai suaminya Sultan Iskandar Tsani wafat. Dia adalah putri tertua dari Sultan Iskandar Muda , penguasa Kesultanan Aceh Darussalam.

Berdasarkan catatan sejarah, Sultanah Safiatuddin menjadi perempuan pertama di Aceh Darussalam yang diangkat menjadi raja, dia memiliki gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul Alam Syah Johan Berdaulat Zillu Ilahi fi'I Alam.

Namun dalam penunjukan dirinya sebagai raja banyak ditentang oleh kalangan ulama karena dia adalah perempuan.



Dikutip dari "Perempuan-Perempuan Tangguh Penguasa Tanah Jawa" yang ditulis Krishna Bayu Adji dan Sri Wintala Achmad, saat itu banyak yang tak setuju bila perempuan menjadi pemimpin dengan alasan-alasan tertentu.

Akan tetapi pasca Sultan Iskandar Tsani wafat, ternyata sangat sulit untuk mencari raja laki-laki yang masih berhubungan dengan keluarga dekat. Hingga akhirnya seorang ulama besar di masa itu bernama, Nurudin ar-Raniri menengahi pertentangan di kalangan kaum ulama. Usulan Nuruddin ar-Raniri diterima sehingga Sultanah Safiatuddin menjadi raja.



Meski sebelumnya ditentang karena perempuan, namun Safiatuddin menunjukkan dirinya seorang pemimpin yang tangguh dan gagah berani.

Selama 35 memerintah, dia membentuk barisan perempuan pengawal istana yang turut bertempur di dalam Perang Malaka pada tahun 1639. Sultanah Safiatuddin juga meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah.

Bukan hanya berani menentang penjajah, dia juga dikenal sebagai sosok yang pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, sosok Sultanah Safiatuddin juga menguasai empat bahasa lain yakni Bahasa Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu.



Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat, sehingga di masa itu lahirlah karya-karya besar. Sultanah Safiatuddin juga berhasil menampik usah-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. Bahkan VOC pun tak berhasil memperoleh komoditas atas perdagangan timah dan komoditi lainnya.

Tak hanya itu, ia juga membuat peraturan untuk meningkatkan kedudukan kaum perempuan, sehingga saat itu tercipta keseteraan gender dan perlindungan kepada perempuan begitu tinggi. Salah satu aturan yang dibuat yakni Cap Sikureung, atau cap sembilan yaitu stempel sah Kesultanan Aceh Darussalam.

Pada masa pemerintahannya terdapat dua orang ulama penasehat negara (mufti) yaitu, Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkil yang bergelar Teungku Syiah Kuala. Atas permintaan Ratu, Nuruddin menulis buku berjudul Hidayatul Imam yang ditujukan bagi kepentingan rakyat umum, dan atas permintaan Ratu pula, Abdurrauf Singkil menulis buku berjudul Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, untuk menjadi pedoman bagi para qadhi dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ratu Safiatuddin bukan saja mengutamakan kesejahteraan negerinya tetapi juga berusaha menjalankan pemerintahannya sesuai dengan hukum Islam.



Selain itu, juga terdapat berbagai karya sastra penting yang ditulis pada masa kekuasaannya. Syekh al-Islam Aceh Nuruddin ar-Raniri menulis setidaknya tujuh buku mengenai agama, sejarah, literatur, dan hukum, seperti Shiratul Mustaqim (Jalan Lurus), Syaiful-Qutub (Obat untuk Hati), dan Bustanul Salathin fi Dzikrilawwalin wal-Akhirin (Kebun Sultan mengenai Biografi Tokoh Masa Lalu dan Depan).

Safiatuddin juga menugaskan Abdul Rauf al-Singkel untuk menulis sebuah buku mengenai fikih, yang kini dikenal dengan sebutan Mir’at al Tullab. Buku yang diselesaikan pada tahun 1663 ini merupakan buku pertama mengenai hukum agama yang ditulis dalam bahasa Melayu. Dengan perkembangan berbagai karya ini, sejarawan Sher Banu A.L. Khan berkomentar bahwa masa Sultanah Safiatuddin dapat dianggap sebagai "zaman keemasan Islam dan Melayu di Aceh yang tak tertandingi hingga kini"

Sang perempuan pertama penguasa Kesultanan Aceh Darussalam ini pun wafat pada 23 Oktober 1675. Sebagai pengganti raja yang bukan laki-laki, Sultanah Safiatuddin mendapat gelar Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam.

Sumber: dok.sindonews/inews/okezone
(nic)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1579 seconds (0.1#10.140)