Webinar 'Krisis Iklim', Efek Rumah Kaca Turun Drastis Selama COVID-19
loading...
A
A
A
BANDUNG - Di tengah pandemi virus Corona (COVID-19), sejak 20 Februari hingga 20 Mei 2020, justru iklim dunia jadi lebih baik. Emisi gas rumah kaca menurun hingga 17 persen.
"Penurunan itu terbesar sepanjang sejarah manusia dan tidak terprediksi sebelumnya. Kita melakukan simply by doing nothing (tak melakukan apa-apa), kita diam di rumah, aktivitas polutan berkurang," kata Duta Besar Indonesia untuk Kuwait Tri Tharyat. (BACA JUGA: 8 Daerah di Jabar Turun Kelas ke Zona Kuning saat New Normal )
Pernyataan itu disampaikan Tri Tharyat saat menjadi pembicara dalam webinar 'Merangkai Gotong Royong Multipihak Menghadapi Krisis Iklim' yang digelar Ikatan Alumni (Ika) Fakultas Hukum (FH) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Sabtu (4/7/2020). (BACA JUGA: Reproduksi COVID-19 Naik, Gubernur Tak Akan Berlakukan Lagi PSBB Provinsi )
Selain Tri Tharyat, webinar juga mengadirkan pembicara Ratnasari Wargahadibrata dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari Gita Syahrani, dan Guru Besar Fakultas Hukum Unpad Ida Nirlinda. (BACA JUGA: 6 Pekan di Posisi Aman, Reproduksi COVID-19 Jabar Naik Lagi di Angka 1,01 )
Foto/Ika FH Unpad
Tri Tharyat mengemukakan, isu climate change atau perubahan iklim di dunia jadi bahasan sangat pelik karena terkait banyak kepentingan, baik kebijakan negara, dunia industri, maupun kelompok non government organization (NGO) atau organisasi non pemerintah.
Emisi gas rumah kaca adalah gas di atmosfer. Gas itu terkumpul secara alami namun juga timbul akibat aktivitas manusia. Misalnya, menghasilkan karbondioksida dari bahan bakar fosil, limbah padat, hingga bahan bakar kendaraan.
Posisi Indonesia di dunia internasional terkait isu climate change sangat strategis karena Indonesia punya potensi untuk menekan krisis iklim.
"Indonesia sangat unik karena kita punya hutan tropis yang besar dan garis pantai yang panjang. Keduanya mampu menyerap karbon sangat tinggi sehingga bisa menekan krisis iklim," ujar Tri.
Ratnasari Wargahadibrata dari Kemen LHK menuturkan, negara-negara di Asia Pasifik menyumbang hingga 40 persen emisi gas rumah kaca. Namun negara-negara maju paling besar menyumbang emisi gas kaca hingga 60 persen.
"Penurunan itu terbesar sepanjang sejarah manusia dan tidak terprediksi sebelumnya. Kita melakukan simply by doing nothing (tak melakukan apa-apa), kita diam di rumah, aktivitas polutan berkurang," kata Duta Besar Indonesia untuk Kuwait Tri Tharyat. (BACA JUGA: 8 Daerah di Jabar Turun Kelas ke Zona Kuning saat New Normal )
Pernyataan itu disampaikan Tri Tharyat saat menjadi pembicara dalam webinar 'Merangkai Gotong Royong Multipihak Menghadapi Krisis Iklim' yang digelar Ikatan Alumni (Ika) Fakultas Hukum (FH) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Sabtu (4/7/2020). (BACA JUGA: Reproduksi COVID-19 Naik, Gubernur Tak Akan Berlakukan Lagi PSBB Provinsi )
Selain Tri Tharyat, webinar juga mengadirkan pembicara Ratnasari Wargahadibrata dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari Gita Syahrani, dan Guru Besar Fakultas Hukum Unpad Ida Nirlinda. (BACA JUGA: 6 Pekan di Posisi Aman, Reproduksi COVID-19 Jabar Naik Lagi di Angka 1,01 )
Foto/Ika FH Unpad
Tri Tharyat mengemukakan, isu climate change atau perubahan iklim di dunia jadi bahasan sangat pelik karena terkait banyak kepentingan, baik kebijakan negara, dunia industri, maupun kelompok non government organization (NGO) atau organisasi non pemerintah.
Emisi gas rumah kaca adalah gas di atmosfer. Gas itu terkumpul secara alami namun juga timbul akibat aktivitas manusia. Misalnya, menghasilkan karbondioksida dari bahan bakar fosil, limbah padat, hingga bahan bakar kendaraan.
Posisi Indonesia di dunia internasional terkait isu climate change sangat strategis karena Indonesia punya potensi untuk menekan krisis iklim.
"Indonesia sangat unik karena kita punya hutan tropis yang besar dan garis pantai yang panjang. Keduanya mampu menyerap karbon sangat tinggi sehingga bisa menekan krisis iklim," ujar Tri.
Ratnasari Wargahadibrata dari Kemen LHK menuturkan, negara-negara di Asia Pasifik menyumbang hingga 40 persen emisi gas rumah kaca. Namun negara-negara maju paling besar menyumbang emisi gas kaca hingga 60 persen.