Kisah Gundik dan Nyai Pribumi di Tangsi Tentara KNIL Masa Kolonial Belanda

Minggu, 24 Juli 2022 - 04:30 WIB
loading...
A A A
Namun di sisi lain mereka berhadapan dengan risiko sosial yang besar. Menjadi nyai dianggap merendahkan diri sendiri. Apalagi jika pasangannya seorang Eropa, mereka dianggap telah merendahkan diri di depan bangsa sendiri. Akibatnya tidak mendapat tempat lagi di masyarakat. "Posisi mereka berada di antara perempuan biasa dan pelacur," kata Anggota Perlemen Scheuren dalam pandangan umum 29 November 1911.

Nasib buruk membayangi para nyai pribumi. Saat umur mereka bertambah tua, fisik tak lagi menarik dan apalagi ditambah adanya anak hasil pergundikan, eksistensi nyai pribumi mulai terancam.



Seorang nyai bisa tiba-tiba dikeluarkan dari tangsi karena tak lagi dikehendaki pasangan kumpul kebonya. Sebab hubungan tentara Eropa dengan nyai pribumi tidak pernah sederajat. "Hubungan antara orang Eropa, bahkan yang brengsek dan miskin sekali pun, dengan nyai Pribumi di dalam tangsi tidak pernah sederajat," kata Reggie Baay.

Selain usia yang bertambah tua dan tak menarik, mutasi si tentara ke tempat lain juga bisa menjadi ancaman. Kemudian habisnya masa kontrak di mana si tentara harus pulang ke Eropa.

Para nyai yang bernasib sial itu tak lagi memiliki masa depan, yakni baik di dunia Eropa maupun di dunia pribumi. Tak jarang mereka yang tak lagi berpenghasilan dan harus merawat anak-anaknya sendiri itu akhirnya menceburkan diri ke jalur prostitusi.

Dalam perjalanannya kemudian, protes terhadap praktik pergundikan tangsi militer bermunculan. Protes datang dari masyarakat Eropa di Hindia Belanda yang mendesak untuk dihapuskan. Pergundikan dianggap sebagai penyebab munculnya penyakit kelamin di kalangan tentara KNIL.
(eyt)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1545 seconds (0.1#10.140)