Kisah Sultan Malik As-Saleh dan Legenda Meurah Silu, Sultan Kerajaan Islam Pertama di Nusantara
loading...
A
A
A
Tiga batu nisan bersurat, yang ada di Leubok Tuwe, Meurah Mulia, dan di Matang Ulim, Samudra, menjadi saksi bisu awal mula berdirinya Kesultanan Samudra Pasai, sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Nusantara.
Keberadaan tiga batu nisan bersurat ini dimuat dalam buku "Tinggalan Sejarah Samudra Pasai" terbitan Center for Information of Samudra Pasai Heritage (CISAH). Dalam buku tersebut, disebutkan bahwa tiga batu nisan bersurat ini, menjadi bukti berdirinya Kesultanan Samudra Pasai pada abad ke 13 Masehi, atau abad ke 7 Hijriah.
Ketiga batu nisan bersurat tersebut, memuat epitaf atau tulisan keterangan tentang pemilik kubur. Epitaf itu menjelaskan yang wafat dan dimakamkan merupakan tokoh yang sangat dicintai oleh hati orang banyak atau Mahbub Qulub Al-Khala'iq.
Dalam catatan di batu nisan bercerita, disebutkan dua tokoh yang dimakamkan di Leubok Tuwe telah meninggal pada tahun 622 Hijriah atau 1226 Masehi. Sementara tokoh yang ada di Matang Ulim, meninggal dunia pada 676 Hijriah atau 1278 Masehi.
Dari kata "As-As'id" pada epitaf ketiga nisan tersebut, dapat diketahui bahwa ketiganya merupakan penguasa sebelum Sultan Al-Malik Ash-Shalih atau juga dikenal dengan sebutan Sultan Malik As-Saleh, dan dinastinya memerintah di Samudra Pasai.
Buku karya CISAH ini juga memuat legenda tentang Meurah Silu, yang setelah memeluk Islam berubah nama menjadi Malikussaleh. Legenda itu begitu populer di tengah masyarakat, namun sayangnya tidak mengisahkan sosok Sultan Al-Malik Ash-Shalih dengan baik.
Lewat inskripsi pada nisan makam Sultan Al-Malik Ash-Shalih, ahli sejarah dari zaman Samudra Pasai, mencatat bahwa Sultan Al-Malik As-Shalih atau dikenal dengan Malikussaleh, adalah seorang yang bertaqwa, pemberi nasehat, berasal dari keturunan terhormat serta terkenal.
Keberadaan tiga batu nisan bersurat ini dimuat dalam buku "Tinggalan Sejarah Samudra Pasai" terbitan Center for Information of Samudra Pasai Heritage (CISAH). Dalam buku tersebut, disebutkan bahwa tiga batu nisan bersurat ini, menjadi bukti berdirinya Kesultanan Samudra Pasai pada abad ke 13 Masehi, atau abad ke 7 Hijriah.
Ketiga batu nisan bersurat tersebut, memuat epitaf atau tulisan keterangan tentang pemilik kubur. Epitaf itu menjelaskan yang wafat dan dimakamkan merupakan tokoh yang sangat dicintai oleh hati orang banyak atau Mahbub Qulub Al-Khala'iq.
Dalam catatan di batu nisan bercerita, disebutkan dua tokoh yang dimakamkan di Leubok Tuwe telah meninggal pada tahun 622 Hijriah atau 1226 Masehi. Sementara tokoh yang ada di Matang Ulim, meninggal dunia pada 676 Hijriah atau 1278 Masehi.
Dari kata "As-As'id" pada epitaf ketiga nisan tersebut, dapat diketahui bahwa ketiganya merupakan penguasa sebelum Sultan Al-Malik Ash-Shalih atau juga dikenal dengan sebutan Sultan Malik As-Saleh, dan dinastinya memerintah di Samudra Pasai.
Buku karya CISAH ini juga memuat legenda tentang Meurah Silu, yang setelah memeluk Islam berubah nama menjadi Malikussaleh. Legenda itu begitu populer di tengah masyarakat, namun sayangnya tidak mengisahkan sosok Sultan Al-Malik Ash-Shalih dengan baik.
Lewat inskripsi pada nisan makam Sultan Al-Malik Ash-Shalih, ahli sejarah dari zaman Samudra Pasai, mencatat bahwa Sultan Al-Malik As-Shalih atau dikenal dengan Malikussaleh, adalah seorang yang bertaqwa, pemberi nasehat, berasal dari keturunan terhormat serta terkenal.