Ambil Untung Tes COVID Bisa Dihukum Pidana dan Pencabutan Izin Usaha
loading...
A
A
A
BANDUNG - Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) Jabar, Banten, dan Jakarta meminta agar tarif rapid test dan swab test tidak membebani masyarakat. Pihaknya memperingatkan jangan sampai ada aksi ambil kesempatan di tengah pendemi.
Ketua HLKI Firman Turmantara mengakui, pihaknya banyak menerima laporan masyarakat terkait mahalnya tarif rapid atau swab test mandiri. Kendati begitu, mayoritas masyarakat hanya menerima, lantaran sudah menjadi ketentuan kelengkapan dokumen untuk bepergian menggunakan pesawat dan kereta api.
"Kebanyakan konsumen menerima saja walaupun mahal karena mereka perlu. Ini kan seperti kasus mahalnya harga masker diawal pandemi. Masyarakat tetap membeli karena perlu," kata Firman, Rabu (24/6/2020).(Baca juga : Rapid Test Jadi Syarat Beraktivitas, Warga Minta Negara Tanggung Biaya )
Pihaknya berharap, pelaku usaha kesehatan tidak memanfaatkan situasi darurat ini. Pihaknya mengindikasikan adanya memanfaatkan situasi pandami untuk mengambil keuntungan.
"Jelas pasti dengan menetapkan harga tinggi, mereka mau ambil untung dengan memanfaatkan keadaan. Ini tidak boleh dilakukan karena melanggar azas atau prinsip hukum misbruik van omsteigheden (Penyalahgunaan Keadaan)," beber dia.
Dugaan adanya ambil untung di tengah pandemi, kata dia, adalah pelanggaran berat bagi hak konsumen. Hal itu diatur UU Perlindungan Konsumen yaitu UU No 8/1999. Sanksi bagi yang melanggar bisa pencabutan izin usaha hingga pidananya 5 tahun penjara
Praktik bisnis pelaku usaha kesehatan paling tidak akan melanggar 6 undang-undang dan bisa dikenakan hukuman berlapis. Yaitu KUHPerdata, JUHPidana, UU Perdagangan, UU Tindak Pidana Perekonomian, dan UU Kesehatan.
Oleh karenanya, HLKI meminta agar pemerintah pusat dalam hal ini Kemendag dan Kemenkes bisa ikut ikut menertibkan tarif tes COVID. Di tingkat daerah, Dinas Kesehatan dan Dinas Perdagangan mestinya ikut melakukan pengawasan.(Baca juga : Pemprov Jabar Pertimbangkan Stop Impor Alat Tes COVID-19 )
Ketua HLKI Firman Turmantara mengakui, pihaknya banyak menerima laporan masyarakat terkait mahalnya tarif rapid atau swab test mandiri. Kendati begitu, mayoritas masyarakat hanya menerima, lantaran sudah menjadi ketentuan kelengkapan dokumen untuk bepergian menggunakan pesawat dan kereta api.
"Kebanyakan konsumen menerima saja walaupun mahal karena mereka perlu. Ini kan seperti kasus mahalnya harga masker diawal pandemi. Masyarakat tetap membeli karena perlu," kata Firman, Rabu (24/6/2020).(Baca juga : Rapid Test Jadi Syarat Beraktivitas, Warga Minta Negara Tanggung Biaya )
Pihaknya berharap, pelaku usaha kesehatan tidak memanfaatkan situasi darurat ini. Pihaknya mengindikasikan adanya memanfaatkan situasi pandami untuk mengambil keuntungan.
"Jelas pasti dengan menetapkan harga tinggi, mereka mau ambil untung dengan memanfaatkan keadaan. Ini tidak boleh dilakukan karena melanggar azas atau prinsip hukum misbruik van omsteigheden (Penyalahgunaan Keadaan)," beber dia.
Dugaan adanya ambil untung di tengah pandemi, kata dia, adalah pelanggaran berat bagi hak konsumen. Hal itu diatur UU Perlindungan Konsumen yaitu UU No 8/1999. Sanksi bagi yang melanggar bisa pencabutan izin usaha hingga pidananya 5 tahun penjara
Praktik bisnis pelaku usaha kesehatan paling tidak akan melanggar 6 undang-undang dan bisa dikenakan hukuman berlapis. Yaitu KUHPerdata, JUHPidana, UU Perdagangan, UU Tindak Pidana Perekonomian, dan UU Kesehatan.
Oleh karenanya, HLKI meminta agar pemerintah pusat dalam hal ini Kemendag dan Kemenkes bisa ikut ikut menertibkan tarif tes COVID. Di tingkat daerah, Dinas Kesehatan dan Dinas Perdagangan mestinya ikut melakukan pengawasan.(Baca juga : Pemprov Jabar Pertimbangkan Stop Impor Alat Tes COVID-19 )
(nun)