Kejaksaan Diminta Sanksi Tegas Oknum Jaksa yang Diduga Peras Kades di Bone
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Direktur Lembaga Antikorupsi Sulsel (Laksus), Muhammad Ansar, meminta kejaksaan memberikan sanksi tegas terhadap oknum jaksa pemeras kepala desa (kades) di Kabupaten Bone. Meski ada perdamaian lewat jalur mediasi, pelanggaran oknum jaksa itu dinilai harus tetap diproses agar memberi efek jera dan tidak lagi berulang.
Diketahui, Bidang Pengawasan Kejati Sulsel sedang memproses dugaan pemerasan yang dilakukan oleh mantan Kasi Pidsus Kejari Bone, Andi Kurnia, terhadap Kades Letta Tanah, Ahmad, sebesar Rp300 juta. Belakangan, beredar kabar bahwa kedua belah pihak kini tengah menempuh jalur mediasi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara kekeluargaan.
Menurut Ansar, perdamaian kedua belah pihak sejatinya tidak menyurutkan langkah kejaksaan untuk menindak oknum jaksa tersebut, terkhusus perihal kode etik. Toh, sudah ada indikasi bahwa oknum jaksa itu telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai aparat penegak hukum.
"Andaikan kasus ini tidak terungkap ke publik, jaksa yang bersangkutan tidak akan ditindak," ujar Ansar, Rabu (20/4/2022).
Ia memaparkan jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenang seharusnya senantiasa bertindak berdasarkan hukum. Selain itu, berpatokan pada norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya. Toh, semua itu diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
"Termasuk juga dalam Kode Etik Jaksa atau dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-067/A/Ja/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa. Disebutkan terkait serangkaian norma sebagai pedoman untuk mengatur perilaku jaksa dalam menjalankan jabatan profesi, menjaga kehormatan dan martabat profesinya serta menjaga hubungan kerjasama dengan penegak hukum lainnya. Makanya, kita desak Jaksa Agung untuk memberikan sanksi bagi jaksa nakal," tegasnya.
"Meskipun ada kesepakatan damai antara kedua belah pihak, kasus ini semestinya tetap ditindaklanjuti Kejati. Penerapan sanksi etik harus diberlakukan karena ini sudah termasuk dalam penyalahgunaan kewenangan," sambungnya.
Ansar mengimbuhkan jika kasus ini langsung dianggap selesai tanpa ada tindak lanjut berupa saksi tegas, maka akan merusak citra kejaksaan di mata masyarakat. Musababnya, publik akan menilai aparat penagak hukum yang melakukan pelanggaran kebal terhadap hukum. Proses mediasi dinilai menjadi pintu keluar bagi aparat penegak hukum nakal.
"Kalau kasusnya dihentikan karena alasan ada titik temu antara kedua belah pihak maka yakin kepercayaan publik terhadap kejaksaan akan pupus. Ini juga akan menjadi pintu masuk APH nakal melakukan pungli. Makanya harus ditindak tegas,"sebutnya.
Kasi Penerangan Hukum Kejati Sulsel , Soetarmi, yang dikonfirmasi menyebut pihaknya masih memproses terkait pelanggaran oknum jaksa pemeras di Bone. Yang bersangkutan bakal dijatuhi sanksi. Hanya saja, ia belum bisa memastikan jenis sanksi seperti apa yang akan dijatuhkan terhadap pelaku.
"Sanksinya masih diproses di pengawasan internal. Kami belum bisa sampaikan seperti apa jenis sanksi yang akan dijatuhkan," kata dia.
Soetarmi membenarkan bahwa kedua belah pihak yakni oknum jaksa dan kades di Bone kini menempuh jalur mediasi. "Sudah ada pertemuan antara kades dengan terlapor Andi Kurnia. Sudah ada komunikasi yang baik antara mereka, sudah selesai masalahnya," ungkapnya.
Hanya saja, Soetarmi memilih irit bicara mengenai adanya pengembalian uang Rp300 juta oleh Kurnia kepada Ahmad. "Yang pasti informasi yang kami dapat bahwa sudah ada penyelesaian secara kekeluargaan," tutupnya.
Sekadar diketahui, kasus ini mencuat setelah Kades Letta Tanah, Ahmad, mengungkap ke publik bahwa telah memberikan uang Rp300 juta pada Andi Kurnia sebagai bentuk pengembalian negara tahun 2020 atas kasus yang menjeratnya. Pengembalian itu dilakukan sebab diduga ada kegiatan bermasalah yang dilakukan Pemerintah Desa Letta Tanah pada tahun 2019.
Diketahui, Bidang Pengawasan Kejati Sulsel sedang memproses dugaan pemerasan yang dilakukan oleh mantan Kasi Pidsus Kejari Bone, Andi Kurnia, terhadap Kades Letta Tanah, Ahmad, sebesar Rp300 juta. Belakangan, beredar kabar bahwa kedua belah pihak kini tengah menempuh jalur mediasi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara kekeluargaan.
Menurut Ansar, perdamaian kedua belah pihak sejatinya tidak menyurutkan langkah kejaksaan untuk menindak oknum jaksa tersebut, terkhusus perihal kode etik. Toh, sudah ada indikasi bahwa oknum jaksa itu telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai aparat penegak hukum.
"Andaikan kasus ini tidak terungkap ke publik, jaksa yang bersangkutan tidak akan ditindak," ujar Ansar, Rabu (20/4/2022).
Ia memaparkan jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenang seharusnya senantiasa bertindak berdasarkan hukum. Selain itu, berpatokan pada norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya. Toh, semua itu diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
"Termasuk juga dalam Kode Etik Jaksa atau dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-067/A/Ja/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa. Disebutkan terkait serangkaian norma sebagai pedoman untuk mengatur perilaku jaksa dalam menjalankan jabatan profesi, menjaga kehormatan dan martabat profesinya serta menjaga hubungan kerjasama dengan penegak hukum lainnya. Makanya, kita desak Jaksa Agung untuk memberikan sanksi bagi jaksa nakal," tegasnya.
"Meskipun ada kesepakatan damai antara kedua belah pihak, kasus ini semestinya tetap ditindaklanjuti Kejati. Penerapan sanksi etik harus diberlakukan karena ini sudah termasuk dalam penyalahgunaan kewenangan," sambungnya.
Ansar mengimbuhkan jika kasus ini langsung dianggap selesai tanpa ada tindak lanjut berupa saksi tegas, maka akan merusak citra kejaksaan di mata masyarakat. Musababnya, publik akan menilai aparat penagak hukum yang melakukan pelanggaran kebal terhadap hukum. Proses mediasi dinilai menjadi pintu keluar bagi aparat penegak hukum nakal.
"Kalau kasusnya dihentikan karena alasan ada titik temu antara kedua belah pihak maka yakin kepercayaan publik terhadap kejaksaan akan pupus. Ini juga akan menjadi pintu masuk APH nakal melakukan pungli. Makanya harus ditindak tegas,"sebutnya.
Kasi Penerangan Hukum Kejati Sulsel , Soetarmi, yang dikonfirmasi menyebut pihaknya masih memproses terkait pelanggaran oknum jaksa pemeras di Bone. Yang bersangkutan bakal dijatuhi sanksi. Hanya saja, ia belum bisa memastikan jenis sanksi seperti apa yang akan dijatuhkan terhadap pelaku.
"Sanksinya masih diproses di pengawasan internal. Kami belum bisa sampaikan seperti apa jenis sanksi yang akan dijatuhkan," kata dia.
Soetarmi membenarkan bahwa kedua belah pihak yakni oknum jaksa dan kades di Bone kini menempuh jalur mediasi. "Sudah ada pertemuan antara kades dengan terlapor Andi Kurnia. Sudah ada komunikasi yang baik antara mereka, sudah selesai masalahnya," ungkapnya.
Hanya saja, Soetarmi memilih irit bicara mengenai adanya pengembalian uang Rp300 juta oleh Kurnia kepada Ahmad. "Yang pasti informasi yang kami dapat bahwa sudah ada penyelesaian secara kekeluargaan," tutupnya.
Sekadar diketahui, kasus ini mencuat setelah Kades Letta Tanah, Ahmad, mengungkap ke publik bahwa telah memberikan uang Rp300 juta pada Andi Kurnia sebagai bentuk pengembalian negara tahun 2020 atas kasus yang menjeratnya. Pengembalian itu dilakukan sebab diduga ada kegiatan bermasalah yang dilakukan Pemerintah Desa Letta Tanah pada tahun 2019.
(tri)