Kades di Kebumen Uji Materi UU Pilkada di MK, Minta Masa Cuti Calon Petahana Diperpanjang
loading...
A
A
A
KEBUMEN - Seorang kepala desa di Kebumen, Jawa Tengah, Edi Iswadi mengajukan uji materi Pasal 70 Ayat (3) Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ketentuan cuti kepala daerah baik Gubernur, Bupati, dan Wali Kota pada masa kampanye. Permohonan Perkara Nomor 154/PUU-XXII/2024 ini diajukan Edi Iswadi, yang merupakan Kepala Desa Bojongsari, Kecamatan Alian, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.
Menurut Edi, cuti selama masa kampanye harusnya diperpanjang sampai dengan waktu penetapan rekapitulasi hasil suara oleh KPU. Karena jika tidak, bisa membuka peluang besar penyalahgunaan kekuasaan dan konflik kepentingan yang sistematis, terstruktur, dan masif, yang dilakukan calon petahana.
Terutama pada saat-saat kritis seperti masa pemungutan suara, penghitungan suara, dan rekapitulasi hasil penghitungan suara. Hal ini menyebabkan inkonsistensi dalam pelaksanaan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan melanggar moralitas yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seorang kepala daerah yang terikat pada sumpah jabatan.
Dari perspektif keadilan, pemohon merasa aturan cuti yang terbatas pada masa kampanye saja menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat diterima baik bagi pemohon sebagai kepala desa maupun sebagai pemilih.
"Sebagai kepala desa dan pemilih saya merasakan dampak dari penyalahgunaan kekuasaan dan konflik kepentingan, di mana calon kepala daerah petahana berpotensi besar melakukan intervensi. Saya mengharapkan adanya proses pemilihan yang jujur, bebas, dan adil, tanpa adanya pengaruh atau intervensi dari calon kepala daerah petahana," ujar Edi Iswadi kepada wartawan usai sidang perdana pengujian materiil di MK, Senin (4/11/2024).
Edi menegaskan bahwa Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 karena melanggar hak konstitusional pemohon yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945.
Hal ini tidak hanya gagal mendorong pelaksanaan pilkada yang jujur, adil, dan bebas, tetapi memberikan kesempatan kepada petahana untuk memanfaatkan kekuasaan negara sebagai alat untuk memenangkan diri mereka, terutama pada waktu-waktu kritis, seperti masa tenang hingga rekapitulasi hasil suara.
Selain itu, pasal ini tidak memberikan batasan yang adil sesuai dengan moral, nilai-nilai agama, serta keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis. Karena meskipun ada pembatasan melalui cuti selama masa kampanye pada saat yang sama hal ini tetap membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan ketika masa tenang.
"Karena itu saya berpendapat bahwa ketentuan ini tidak hanya mencederai prinsip-prinsip keadilan, tetapi juga mengancam integritas pemilu itu sendiri," katanya.
Sementara itu, kuasa hukum pemohon, Sulthoni dan Azam Prasojo Kadar memohon Mahkamah Konstitusi (MK) memperpanjang cuti kepala daerah baik gubernur, bupati dan wali kota yang maju kembali dalam kontestasi pilkada.
Menurut Edi, cuti selama masa kampanye harusnya diperpanjang sampai dengan waktu penetapan rekapitulasi hasil suara oleh KPU. Karena jika tidak, bisa membuka peluang besar penyalahgunaan kekuasaan dan konflik kepentingan yang sistematis, terstruktur, dan masif, yang dilakukan calon petahana.
Terutama pada saat-saat kritis seperti masa pemungutan suara, penghitungan suara, dan rekapitulasi hasil penghitungan suara. Hal ini menyebabkan inkonsistensi dalam pelaksanaan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan melanggar moralitas yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seorang kepala daerah yang terikat pada sumpah jabatan.
Dari perspektif keadilan, pemohon merasa aturan cuti yang terbatas pada masa kampanye saja menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat diterima baik bagi pemohon sebagai kepala desa maupun sebagai pemilih.
"Sebagai kepala desa dan pemilih saya merasakan dampak dari penyalahgunaan kekuasaan dan konflik kepentingan, di mana calon kepala daerah petahana berpotensi besar melakukan intervensi. Saya mengharapkan adanya proses pemilihan yang jujur, bebas, dan adil, tanpa adanya pengaruh atau intervensi dari calon kepala daerah petahana," ujar Edi Iswadi kepada wartawan usai sidang perdana pengujian materiil di MK, Senin (4/11/2024).
Edi menegaskan bahwa Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 karena melanggar hak konstitusional pemohon yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945.
Hal ini tidak hanya gagal mendorong pelaksanaan pilkada yang jujur, adil, dan bebas, tetapi memberikan kesempatan kepada petahana untuk memanfaatkan kekuasaan negara sebagai alat untuk memenangkan diri mereka, terutama pada waktu-waktu kritis, seperti masa tenang hingga rekapitulasi hasil suara.
Selain itu, pasal ini tidak memberikan batasan yang adil sesuai dengan moral, nilai-nilai agama, serta keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis. Karena meskipun ada pembatasan melalui cuti selama masa kampanye pada saat yang sama hal ini tetap membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan ketika masa tenang.
"Karena itu saya berpendapat bahwa ketentuan ini tidak hanya mencederai prinsip-prinsip keadilan, tetapi juga mengancam integritas pemilu itu sendiri," katanya.
Sementara itu, kuasa hukum pemohon, Sulthoni dan Azam Prasojo Kadar memohon Mahkamah Konstitusi (MK) memperpanjang cuti kepala daerah baik gubernur, bupati dan wali kota yang maju kembali dalam kontestasi pilkada.