Nyi Ageng Serang, Panglima Perang Perempuan Penakluk Hati Hamengku Buwono II
loading...
A
A
A
Maka akhirnya pasukan Serang terdesak, dan banyak yang gugur sehingga tidak mungkin melanjutkan perlawan lagi. Walaupun Nyi Ageng Serang tidak mau menyerahkan diri, akhirnya tertangkap juga dan menjadi tawanan Belanda.
Panembahan Natapraja sudah makin lanjut usia dan menderita batin yang mendalam dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut. Akhirnya beliau jatuh sakit dan wafat. Selama Nyi Ageng Serang dalam tahanan Belanda, terjadi perubahan-perubahan pending di Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I telah diganti Sultan Hamengkubuwono II.
Bertepatan dengan Upacara Penobatan Sultan Hamengkubuwono II itu, Nyi Ageng Serang dibebaskan dari tahanan Belanda dan bahkan diantarkan ke Yogyakarta untuk diserahkan kepada Sri Sultan.
Entah apa latar belakang yang sesungguhnya sehingga hal itu terjadi. Yang dapat diketahui dengan jelas ialah bahwa kedatangan Nyi Ageng Serang di Yogyakarta disambut secara besar-besaran dengan tata cara penghormatan yang tinggi sesuai adat keraton.
Upacara itu dilakukan mengingat jasa dan patriotisme almarhum Panembahan Natapraja dan Nyi Ageng Serang serta keharuman nama Pahlawan Nasional Wanita itu sendiri.
Baca juga: Kilau Sinar Betis Indah Ratu Laut Selatan yang Membuat Penguasa Mataram Terhenyak
Kisah Asmara
Mengutip www.historia.id, masa muda Nyi Ageng Serang belajar beladiri di Kadilangu. Selepas belajar beladiri, dia harus berkunjung ke Keraton Yogyakarta. Kunjungannya merupakan bagian dari pengenalan budaya keraton sebelum kelak dia menjadi keluarga Kesultanan Yogyakarta. Ayah Kustiah, Panembahan Natapraja, menjodohkannya dengan seorang putra mahkota bernama Raden Mas Sundoro.
Ketika Kustiah berkunjung, sedang ada penyusunan naskah Babad Gianti sehinga dibangunlah perpustakaan. Kustiah sering mampir ke perpusatakaan itu untuk membaca buku-buku sejarah, agama, dan kebudayaan Jawa. Di perpustakaan itu pula Kustiah dan RM Sundoro sering membaca dan mendiskusikan isi buku bersama.
Dari pertemuan rutin dan obrolan menyenangkan itu Raden Mas Sundoro, yang kelak bergelar Hamengku Buwono II, jatuh hati pada Kustiah yang masih belia. Namun, Kustiah justru punya pikiran berbeda. “Betapa terbatasnya hidup di keraton,” pikir Kustiah seperti ditulis Kayatun dalam skripsinya “Nyi Ageng Serang dalam Perang Diponegoro”.
Di keraton, Kustiah menyaksikan bagaimana para perempuan harus bersikap karena terikat adat istiadat. “Pada saat itu ia mulai berpikir, bagaimana seandainya kelak ia benar-benar telah menjadi istri Mas Sundoro, tentunya ia tidak mau harus mengikuti segala aturan itu,” tulis Kayatun. Padahal, Kustiah masih ingin belajar banyak hal, seperti meningkatkan kemampuan beladiri atau memperdalam pengetahuan.
Panembahan Natapraja sudah makin lanjut usia dan menderita batin yang mendalam dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut. Akhirnya beliau jatuh sakit dan wafat. Selama Nyi Ageng Serang dalam tahanan Belanda, terjadi perubahan-perubahan pending di Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I telah diganti Sultan Hamengkubuwono II.
Bertepatan dengan Upacara Penobatan Sultan Hamengkubuwono II itu, Nyi Ageng Serang dibebaskan dari tahanan Belanda dan bahkan diantarkan ke Yogyakarta untuk diserahkan kepada Sri Sultan.
Entah apa latar belakang yang sesungguhnya sehingga hal itu terjadi. Yang dapat diketahui dengan jelas ialah bahwa kedatangan Nyi Ageng Serang di Yogyakarta disambut secara besar-besaran dengan tata cara penghormatan yang tinggi sesuai adat keraton.
Upacara itu dilakukan mengingat jasa dan patriotisme almarhum Panembahan Natapraja dan Nyi Ageng Serang serta keharuman nama Pahlawan Nasional Wanita itu sendiri.
Baca juga: Kilau Sinar Betis Indah Ratu Laut Selatan yang Membuat Penguasa Mataram Terhenyak
Kisah Asmara
Mengutip www.historia.id, masa muda Nyi Ageng Serang belajar beladiri di Kadilangu. Selepas belajar beladiri, dia harus berkunjung ke Keraton Yogyakarta. Kunjungannya merupakan bagian dari pengenalan budaya keraton sebelum kelak dia menjadi keluarga Kesultanan Yogyakarta. Ayah Kustiah, Panembahan Natapraja, menjodohkannya dengan seorang putra mahkota bernama Raden Mas Sundoro.
Ketika Kustiah berkunjung, sedang ada penyusunan naskah Babad Gianti sehinga dibangunlah perpustakaan. Kustiah sering mampir ke perpusatakaan itu untuk membaca buku-buku sejarah, agama, dan kebudayaan Jawa. Di perpustakaan itu pula Kustiah dan RM Sundoro sering membaca dan mendiskusikan isi buku bersama.
Dari pertemuan rutin dan obrolan menyenangkan itu Raden Mas Sundoro, yang kelak bergelar Hamengku Buwono II, jatuh hati pada Kustiah yang masih belia. Namun, Kustiah justru punya pikiran berbeda. “Betapa terbatasnya hidup di keraton,” pikir Kustiah seperti ditulis Kayatun dalam skripsinya “Nyi Ageng Serang dalam Perang Diponegoro”.
Di keraton, Kustiah menyaksikan bagaimana para perempuan harus bersikap karena terikat adat istiadat. “Pada saat itu ia mulai berpikir, bagaimana seandainya kelak ia benar-benar telah menjadi istri Mas Sundoro, tentunya ia tidak mau harus mengikuti segala aturan itu,” tulis Kayatun. Padahal, Kustiah masih ingin belajar banyak hal, seperti meningkatkan kemampuan beladiri atau memperdalam pengetahuan.