Nyi Ageng Serang, Panglima Perang Perempuan Penakluk Hati Hamengku Buwono II

Rabu, 02 Maret 2022 - 05:00 WIB
loading...
Nyi Ageng Serang, Panglima Perang Perempuan Penakluk Hati Hamengku Buwono II
Nyi Ageng Serang, perempuan penakluk hati Hamengku Buwono II.Foto/Buku Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX
A A A
Nyi Ageng Serang adalah seorang pahlawan nasional . Dikenal juga sebagai Raden Ayu Serang dengan nama kecil Raden Ajeng Retno Kursiah Edi. Setelah menikah, Raden Ayu Serang berganti nama menjadi Bendoro Raden Ayu Kustiyah Wulaningsih Retno Edi.

Nyi Ageng Serang dilahirkan sekitar 1752 di Desa Serang, sekitar 40 km utara Surakarta dekat Purwodadi, Jawa Tengah. Nyi Ageng Serang masih keturunan Sunan Kalijaga. Ayahnya adalah Pangeran Ronggo seda Jajar yang dijuluki Panembahan Senopati Notoprojo. Pangeran Notoprojo menguasai wilayah terpencil Kerajaan Mataram tepatnya di wilayah Serang, wilayah perbatasan Grobogan-Sragen.

Setelah ayahnya wafat, Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukannya. Nyi Ageng Serang menikah dua kali, yaitu dengan Hamengku Buwono II dan Pangeran Serang I (nama asli: Pangeran Mutia Kusumowijoyo). Di Serang, dia melahirkan seorang putra bernama Pangeran Kusumowijoyo atau Sumowijoyo (1794-1852), yang disebut sebagai Pangeran Serang II dalam sumber Belanda.

Mengutip "Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX", Sang Nyai juga memiliki seorang putri yang kelak akan menikah dengan anak Sultan Hamengku Buwono II, Pangeran Mangkudiningrat I (1775-1824), yang diasingkan ke Pulau Pinang (1812-1815) dan Ambon (1816-1824) setelah Inggris menyerang Kesultanan Yogyakarta.

Pasangan yang terakhir ini punya seorang putra, Raden Tumenggung Mangkudirjo yang kelak akan bergelar Pangeran Adipati Notoprojo atau Raden Mas Papak (1803-1855). Julukan itu diberikan karena jari-jari tengah-tengah kiri sama rata, tanda kebesaran sebagai calon raja.

Nyi Ageng Serang meninggal di Yogyakarta pada 1828 dan dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo. Namun beberapa orang meyakini makamnya di daerah Grobogan yang kini menjadi lokasi Waduk Kedung Ombo, sehingga dibuat makam terapung di waduk tersebut. Salah satu keturunannya adalah seorang pahlawan nasional yaitu Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara.

Sebagai pahlawan nasional, Nyi Ageng Serang tak sepopuler R.A. Kartini atau Cut Nyak Dhien. Bagaimanapun warga Kulon Progo mendirikan monumen di tengah kota Wates untuk mengenangnya. Monumen tersebut berupa patung Nyi Ageng Serang yang sedang menaiki kuda dengan gagah berani membawa tombak.

Baca juga: Arya Penangsang, Raja Demak yang Tewas oleh Keris Setan Kober Miliknya saat Melawan Sutawijaya

Perjuangan Nyi Ageng Serang
Pada "Nyi Ageng Serang: Kehidupan, Perjuangan, dan Akhir Hidup" dituliskan, pada awal Perang Diponegoro pada 1825, Nyi Ageng Serang yang berusia 73 tahun memimpin pasukan dengan tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda.

Tidak hanya turut berperang, ia juga menjadi penasihat perang. Nyi Ageng Serang berjuang di beberapa daerah, seperti Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang.

Nyi Ageng Serang mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang bersama dengan para prajurit pria. Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, maka ia harus siap tempur untuk melawan para penjajah. Salah satu strategi perang paling terkenal darinya adalah penggunaan lumbu (daun talas hijau) untuk penyamaran.

Semangatnya untuk tampil menjadi panglima perang juga dipicu kematian kakaknya saat membela Pangeran Mangkubumi melawan Paku Buwana I yang dibantu Belanda. Yang sangat menonjol dari sejarah perilaku dan perjuangan pahlawan wanita ini antara lain ialah kemahirannya dalam krida perang, kepemimpinan yang arif bijaksana sehingga menjadi suri tauladan bagi penganut-penganutnya.

Tekadnya keras untuk lebih maju dalam berbagai bidang, dengan jiwa patriotisme dan anti penjajahan yang kuat dan konsekuen. Imannya teguh terhadap Allah SWT dan terampil dalam menjalankan peran gandanya sebagai pejuang sekaligus istri/ibu rumah tangga dan pendidik utama putra-putranya.

Sebutan Nyi Ageng Serang dikaitkan dengan kota tempat kelahirannya yaitu kota Serang yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur (bukan kota Serang, Banten). Kota Serang menjadi terkenal, semula karena menjadi markas besar perjuangan Natapraja atau Penembahan Natapraja, yaitu rekan perjuangan Mangkubumi dalam Perang Giyanti tersebut.

Nyi Ageng Serang mewarisi jiwa dan sifat ayahandanya yang sangat benci kepada penjajahan Belanda (VOC) dan memiliki patriotisme yang tinggi. Menyimpang dari adat kebiasaan yang masih kuat mengingat kaum wanita masa itu, Nyi Ageng Serang mengikuti latihan-latihan kemiliteran dan siasat perang bersama-bersama dengan para prajurit pria.

Keberaniannya sangat mengagumkan, dalam kehidupannya sehari-hari beliau sangat berdisiplin dan pandai mengatur serta memanfaatkan waktu untuk kegiatan-kegatan yang bermanfaat. Pandangannya sangat tajam dan menjangkau jauh ke depan.

Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, selama itu pula rakyat harus siap tempur untuk melawan dan mengusir penjajah. Karena itu rakyat terutama pemudanya dilatih terus-menerus dalam ha kemahiran berperang.

Hal itu rupanya dapat diketahui oleh penjajah Belanda. Karenanya pada suatu ketika mereka mengadakan penyerbuan secara mendada terhadap kubu pertahanan Pangeran Natapraja bersama putra-putrinya itu, dengan kekuatan tentara yang besar. Karena usianya sudah lanjut, pemimpin pertahanan Serang diserahkan kepada Nyi Ageng Serang bersama putranya laki-laki.

Walaupun diserang dengan mendadak dan dengan jumlah dan kekuatan tentara besar, pasukan Serang tetap berjuang dengan gigih dan melakukan perlawanan mati-matian. Dalam suatu pertempuran yang sangat sengit putra Penembahan Natapraja, saudara laki-laki Nyi Ageng Serang, gugur.

Pimpinan dipegang langsung sendiri oleh Nyi Ageng Serang dan berjuang terus dengan gagah berani. Namun demikian, karena jumlah dan kekuatan musuh memang jauh lebih besar, sedangkan rekan seperjuangannya yaitu Pangeran Mangkubumi tidak membantu lagi karena mengadakan perdamaian dengan Belanda berdasarkan perjanjian Giyanti.

Maka akhirnya pasukan Serang terdesak, dan banyak yang gugur sehingga tidak mungkin melanjutkan perlawan lagi. Walaupun Nyi Ageng Serang tidak mau menyerahkan diri, akhirnya tertangkap juga dan menjadi tawanan Belanda.

Panembahan Natapraja sudah makin lanjut usia dan menderita batin yang mendalam dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut. Akhirnya beliau jatuh sakit dan wafat. Selama Nyi Ageng Serang dalam tahanan Belanda, terjadi perubahan-perubahan pending di Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I telah diganti Sultan Hamengkubuwono II.

Bertepatan dengan Upacara Penobatan Sultan Hamengkubuwono II itu, Nyi Ageng Serang dibebaskan dari tahanan Belanda dan bahkan diantarkan ke Yogyakarta untuk diserahkan kepada Sri Sultan.

Entah apa latar belakang yang sesungguhnya sehingga hal itu terjadi. Yang dapat diketahui dengan jelas ialah bahwa kedatangan Nyi Ageng Serang di Yogyakarta disambut secara besar-besaran dengan tata cara penghormatan yang tinggi sesuai adat keraton.

Upacara itu dilakukan mengingat jasa dan patriotisme almarhum Panembahan Natapraja dan Nyi Ageng Serang serta keharuman nama Pahlawan Nasional Wanita itu sendiri.

Baca juga: Kilau Sinar Betis Indah Ratu Laut Selatan yang Membuat Penguasa Mataram Terhenyak

Kisah Asmara
Mengutip www.historia.id, masa muda Nyi Ageng Serang belajar beladiri di Kadilangu. Selepas belajar beladiri, dia harus berkunjung ke Keraton Yogyakarta. Kunjungannya merupakan bagian dari pengenalan budaya keraton sebelum kelak dia menjadi keluarga Kesultanan Yogyakarta. Ayah Kustiah, Panembahan Natapraja, menjodohkannya dengan seorang putra mahkota bernama Raden Mas Sundoro.

Ketika Kustiah berkunjung, sedang ada penyusunan naskah Babad Gianti sehinga dibangunlah perpustakaan. Kustiah sering mampir ke perpusatakaan itu untuk membaca buku-buku sejarah, agama, dan kebudayaan Jawa. Di perpustakaan itu pula Kustiah dan RM Sundoro sering membaca dan mendiskusikan isi buku bersama.

Dari pertemuan rutin dan obrolan menyenangkan itu Raden Mas Sundoro, yang kelak bergelar Hamengku Buwono II, jatuh hati pada Kustiah yang masih belia. Namun, Kustiah justru punya pikiran berbeda. “Betapa terbatasnya hidup di keraton,” pikir Kustiah seperti ditulis Kayatun dalam skripsinya “Nyi Ageng Serang dalam Perang Diponegoro”.

Di keraton, Kustiah menyaksikan bagaimana para perempuan harus bersikap karena terikat adat istiadat. “Pada saat itu ia mulai berpikir, bagaimana seandainya kelak ia benar-benar telah menjadi istri Mas Sundoro, tentunya ia tidak mau harus mengikuti segala aturan itu,” tulis Kayatun. Padahal, Kustiah masih ingin belajar banyak hal, seperti meningkatkan kemampuan beladiri atau memperdalam pengetahuan.

Sementara dalam pemberontakan Mangkubumi, Natapraja memimpin pasukan di Serang yang ditugaskan merebut kembali wilayah Semarang dan Rembang. Setelah Mangkubumi dinobatkan jadi raja bergelar Sultan Hamengku Buwono I, dia meminta Natapraja tinggal di keraton. Namun, Notoprojo menolak secara halus dengan bilang dirinya sudah terlalu sepuh untuk tinggal di keraton dan lebih memilih untuk kembali ke Serang.

Mendengar jawaban itu, sultan mengajukan usul lain: menjodohkan kedua anak mereka, Raden Ajeng Kustinah dijodohkan dengan Putera Mahkota Raden Mas Sundoro. Perjodohan itu bertujuan agar persahabatan mereka tidak terputus kelak ketika keduanya sudah wafat.

Setelah Sultan Hamengku Buwono I wafat, kerabat keraton mendesak agar pernikahan Kustiah dan Sundoro segera dilaksanakan. Kustiah mengiyakan ajakan Sundoro untuk menikah namun dia mengajukan syarat: mereka tidak harus tinggal bersama. Kustiah masih ingin memperdalam ilmu beladiri dan membutuhkan lebih banyak pengalaman hidup untuk memperkuat semangat juangnya.

Kustiah meyakinkan calon suaminya untuk memenuhi keinginan itu. Raden Mas Sudoro atau Sultan Hamengku Buwono II menyepakati syarat Kustiah meski baginya suami-istri tidak tinggal bersama adalah hal yang lucu dan janggal.

Menjelang hari pernikahan, Kustiah kembali mengajukan syarat: upacara pernikahan cukup secara simbolik saja. Sultan Hamengku Buwono II menerima syarat itu. Mereka pun menikah. Nama Kustiah berubah menjadi Raden Ajeng Kustiah Wulaningsih Retno Edi dan masuk dalam daftar kerabat keraton.

Ketika kesehatan Panembahan Natapraja memburuk, Kustiah meminta izin suaminya untuk merawat sang ayah. Sultan tidak bisa menolak keinginan Kustiah. Selama kepergian Kustiah, sultan menyadari bahwa mereka tidak cocok menjadi suami-istri. Sultan akhirnya memberi kebebasan pada Kustiah untuk memilih jodohnya sendiri.

Pada 1787, mereka bercerai. Setelah berpisah, Kustiah menikah lagi dengan Pangeran Mutia Kusumowijoyo yang bergelar Pangeran Serang I sehingga dikenal sebagai Nyi Ageng Serang. “Gelar Nyi Ageng,” tulis Peter Carey dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, “dia dapat dari dinasnya di Korps ‘para nyai’ di Keraton Yogya. Sedangkan Serang, didapatnya karena menikahi Pangeran Serang.”

Meski sudah bercerai, Sultan Hamengku Buwono II dan Nyi Ageng Serang masih menjalin hubungan baik. Sultan tak ingin melepaskan hubungan batin dengan perempuan yang dikenal kuat, tangguh, dan pintar itu. Mereka akhirnya menjadi besan ketika Kustinah, anak Nyi Ageng Serang, menikah dengan Pangeran Aria Adipati Mangkudiningrat, anak Sultan Hamengku Buwono I

Sumber:
- Wikipedia
- Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX
- Nyi Ageng Serang: Kehidupan, Perjuangan, dan Akhir Hidup
- Diolah berbagai sumber
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1584 seconds (0.1#10.140)