Kerja Sama dengan Perusahaan Farmasi Diperlukan untuk Produksi Vaksin
loading...
A
A
A
LONDON - Pada saat para peneliti melakukan uji klinis kandidat vaksin Covid-19, proyeksi tentang produksi vaksin secara massal untuk memenuhi seluruh penduduk dunia juga menjadi pertimbangan. Kerja sama jaringan perusahaan farmasi di seluruh dunia menjadi prioritas yang dilakukan untuk menyelamatkan dunia.
World Economic Forum mengusulkan mekanisme kerja sama bagi para peneliti vaksin dan perusahaan vaksin. Itu bertujuan untuk melindungi, baik peneliti maupun perusahaan farmasi yang akan memproduksi vaksin secara massal. Apalagi uji klinis secara massal juga membutuhkan kerja sama dengan perusahaan vaksin.
Kepala Shaping the Future of Health and Healthcare di World Economic Forum (WEF) Arnaud Bernaert menyarankan pemanfaatan Developing Countries Vaccine Manufacturers Network (DCVMN) untuk memproduksi vaksin. Pasalnya, DCVMN merupakan jaringan perusahaan farmasi yang mampu memproduksi dan menjangkau 65% anggota WHO. (Baca juga: Palestina Puji Saudi Tolak Rencana Israel Caplok Tepi Barat)
“DCVMN memiliki jaringan 40 perusahaan farmasi yang berlokasi di negara berkembang, seperti India, Indonesia, South Korea, Brasil, China, Afrika Selatan yang bisa diajak bekerja sama,” kata Bernaert,l dilansir Weforum. Kenapa fokus di negara berkembang? Negara maju yang tergabung G-7 sudah memiliki skenario sendiri karena mereka yang melakukan penelitian dan memiliki jaringan perusahaan farmasi.
“Saat ini hanya tersedia kurang dari 10 kandidat vaksin dalam proses uji klinis,” kata Bernaert. Sedangkan 3,5 juta vaksin Covid-19 harus diproduksi untuk mencegah penyebaran virus korona dan mengakhiri pandemi ini.
Tantangan lainnya berkaitan dengan lisensi dan persetujuan dari peneliti untuk memproduksi vaksin korona secara massal. “Selanjutnya adalah vaksinasi secara global yang seharusnya memenuhi prinsip akses universal, kesetaraan, dan prioritas kepada penduduk yang rawan,” kata Bernaert.
Sebelumnya, perusahaan farmasi raksasa Inggris-Swedia, AstraZeneca, mendekati salah satu rivalnya dari AS, Gilead Sciences, untuk potensi merger. Melansir Bloomberg, upaya pendekatan itu telah dilakukan sejak bulan lalu. (Baca juga: RI Tegaskan Rencana Aneksasi Tepi Barat oleh Israel Ilegal)
Jika terwujud, merger perusahaan transatlantik itu akan menjadi perusahaan terbesar di dunia dengan nilai aset mencapai USD200 miliar. Itu juga akan menyatukan langkah perusahaan farmasi dalam mengembangkan vaksin dan pengobatan virus corona.
AstraZeneca yang berkantor pusat di Cambridge, Inggris, baru-baru ini mengambil alih Royal Dutch Shell. Gilead kini memiliki nilai mencapai USD96 miliar dan terus melakukan ekspansi.
AstraZeneca menghubungi Gilead pada Mei lalu dan tidak memberikan informasi transaksi tersebut. “Kita tidak berkomentar mengenai rumor atau spekulasi tersebut,” kata juru bicara AstraZeneca kepada Guardian.
Namun, sumber yang dekat dengan AstraZeneca mengungkapkan, upaya pendekatan tersebut sangat rasional karena perkembangan situasi saat ini. AstraZeneca memang menjadi garda depan dalam pengembangan vaksin dengan para peneliti Universitas Oxford. Vaksin mereka berpotensi sukses besar. (Baca juga: Terbang Dekat Perbatasan, Jet F22 AS Kawal Pembon TU-95M Rusia)
Sementara itu, obat antivirus Remdesivir yang diproduksi Gilead telah disepakati sebagai obat perawatan pasien Covid-19 di seluruh dunia. Mereka juga telah sukses melaksanakan uji klinis vaksin Covid-19. Bloomberg melaporkan, Gilead telah mendiskusikan rencana merger dengan para penasihatnya.
World Economic Forum mengusulkan mekanisme kerja sama bagi para peneliti vaksin dan perusahaan vaksin. Itu bertujuan untuk melindungi, baik peneliti maupun perusahaan farmasi yang akan memproduksi vaksin secara massal. Apalagi uji klinis secara massal juga membutuhkan kerja sama dengan perusahaan vaksin.
Kepala Shaping the Future of Health and Healthcare di World Economic Forum (WEF) Arnaud Bernaert menyarankan pemanfaatan Developing Countries Vaccine Manufacturers Network (DCVMN) untuk memproduksi vaksin. Pasalnya, DCVMN merupakan jaringan perusahaan farmasi yang mampu memproduksi dan menjangkau 65% anggota WHO. (Baca juga: Palestina Puji Saudi Tolak Rencana Israel Caplok Tepi Barat)
“DCVMN memiliki jaringan 40 perusahaan farmasi yang berlokasi di negara berkembang, seperti India, Indonesia, South Korea, Brasil, China, Afrika Selatan yang bisa diajak bekerja sama,” kata Bernaert,l dilansir Weforum. Kenapa fokus di negara berkembang? Negara maju yang tergabung G-7 sudah memiliki skenario sendiri karena mereka yang melakukan penelitian dan memiliki jaringan perusahaan farmasi.
“Saat ini hanya tersedia kurang dari 10 kandidat vaksin dalam proses uji klinis,” kata Bernaert. Sedangkan 3,5 juta vaksin Covid-19 harus diproduksi untuk mencegah penyebaran virus korona dan mengakhiri pandemi ini.
Tantangan lainnya berkaitan dengan lisensi dan persetujuan dari peneliti untuk memproduksi vaksin korona secara massal. “Selanjutnya adalah vaksinasi secara global yang seharusnya memenuhi prinsip akses universal, kesetaraan, dan prioritas kepada penduduk yang rawan,” kata Bernaert.
Sebelumnya, perusahaan farmasi raksasa Inggris-Swedia, AstraZeneca, mendekati salah satu rivalnya dari AS, Gilead Sciences, untuk potensi merger. Melansir Bloomberg, upaya pendekatan itu telah dilakukan sejak bulan lalu. (Baca juga: RI Tegaskan Rencana Aneksasi Tepi Barat oleh Israel Ilegal)
Jika terwujud, merger perusahaan transatlantik itu akan menjadi perusahaan terbesar di dunia dengan nilai aset mencapai USD200 miliar. Itu juga akan menyatukan langkah perusahaan farmasi dalam mengembangkan vaksin dan pengobatan virus corona.
AstraZeneca yang berkantor pusat di Cambridge, Inggris, baru-baru ini mengambil alih Royal Dutch Shell. Gilead kini memiliki nilai mencapai USD96 miliar dan terus melakukan ekspansi.
AstraZeneca menghubungi Gilead pada Mei lalu dan tidak memberikan informasi transaksi tersebut. “Kita tidak berkomentar mengenai rumor atau spekulasi tersebut,” kata juru bicara AstraZeneca kepada Guardian.
Namun, sumber yang dekat dengan AstraZeneca mengungkapkan, upaya pendekatan tersebut sangat rasional karena perkembangan situasi saat ini. AstraZeneca memang menjadi garda depan dalam pengembangan vaksin dengan para peneliti Universitas Oxford. Vaksin mereka berpotensi sukses besar. (Baca juga: Terbang Dekat Perbatasan, Jet F22 AS Kawal Pembon TU-95M Rusia)
Sementara itu, obat antivirus Remdesivir yang diproduksi Gilead telah disepakati sebagai obat perawatan pasien Covid-19 di seluruh dunia. Mereka juga telah sukses melaksanakan uji klinis vaksin Covid-19. Bloomberg melaporkan, Gilead telah mendiskusikan rencana merger dengan para penasihatnya.
(don)