Laskar Inong Balee, Pasukan Janda Pejuang Aceh yang Ciutkan Nyali Tentara VOC

Kamis, 06 Januari 2022 - 05:50 WIB
loading...
Laskar Inong Balee, Pasukan Janda Pejuang Aceh yang Ciutkan Nyali Tentara VOC
Laksamana Keumalahayati merupakan tokoh yang menjadi representasi Laskar Inong Balee.Foto/dok wikipedia
A A A
Peranan pejuang perempuan bergelora ketika rakyat Aceh melawan Belanda pada abad IXX. Inong Balee yang merupakan janda prajurit perang Aceh menjadi ikon perlawanan perempuan.

Janda pejuang ini juga dinarasikan sebagai simbol kekuatan militer, politik dan kultural. Seperti yang terjadi pada abad XVI, simbol militer dan politik diwujudkan dalam aksi perlawanan dan diplomasi berhadapan dengan Portugis.

Baca juga: Kisah Cinta Putri Ong Tien dengan Sunan Gunung Jati

Salah satu tokoh yang menjadi representasi Inong Balee adalah Laksamana Keumalahayati. Dia menjadi salah seorang perempuan pejuang dari Kesultanan Aceh. Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530–1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513–1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.

Dalam buku "Laksamana Malahayati: Sang Perempuan Keumala" oleh Endang Moerdopo disebutkan, bahwa Malahayati menjadi Panglima Angkatan Perang kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Al Mukammil (1589-1604).

Ia mendapat kepercayaan menjadi orang nomor satu dalam militer dari Sultan karena keberhasilannya memimpin pasukan wanita, Inong Balee. Ia berasal dari keturunan sultan. Ayahnya, Mahmud Syah, seorang laksamana. Kakeknya dari garis ayah, juga seorang laksamana bernama Muhammad Said Syah putra Sultan Salahuddin Syah yang memerintah tahun 1530-1539.

Sultan Salahhuddin sendiri putera Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530), pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Dilihat dari asal keturunannya, darah militer berasal dari kakeknya. Pembentukan pasukan wanita yang semuanya janda yang disebut armada Inong Bale itu merupakan ide Malahayati. Maksud dari pembentukan pasukan wanita tersebut adalah agar para janda tersebut dapat menuntut balas kematian suaminya.

Baca juga: Rakai Pikatan, Kisah Cinta Sejati Penguasa Mataram Kuno Pemersatu 2 Wangsa

Pasukan tersebut mempunyai benteng pertahanan. Sisa-sisa pangkalan Inong Balee masih ada di Teluk Kreung Raya. John Davis, seorang berkebangsaan Inggris, nahkoda di sebuah kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa Malahayati menjadi Laksamana, melaporkan, kerajaan Aceh pada masa itu mempunyai perlengkapan armada laut terdiri dari 100 buah kapal perang, diantaranya ada yang berkapasitas 400-500 penumpang.

Masa itu, Kerajaan Aceh memiliki angkatan perang yang kuat. Selain memiliki armada laut, di darat ada pasukan gajah. Kapal-kapal tersebut bahkan juga ditempatkan di daerah-daerah kekuasaan Aceh diberbagai tempat. Kekuatan Keumalahayati mendapat ujian pertamakalinya ketika terjadi kontak senjata antara Aceh dengan pihak Belanda.

Pada tanggal 21 Juni 1599, dua kapal VOC yang dipimpin dua bersaudara Coernelis de Houtman dan Federick de Houtman berlabuh dengan tenang di Aceh. Laksamana Keumalahayati menyerang kedua kapal tersebut. Dalam penyerangan itu, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh.

Sedangkan Federick de Houtman ditawan dan dijebloskan ketahanan Kerajaan Aceh. Sesuatu yang menggegerkan bangsa Eropa dan terutama Belanda sekaligus menunjukkan kewibawaan Laksamana Keumalahayati, ketika Mahkamah Amsterdam menjatuhkan hukuman denda kepada van Caerden sebesar 50.000 gulden yang harus dibayarkan kepada Aceh.

Uang sejumlah itu benar-benar dibayarkan kepada yang berhak. Denda tersebut adalah buntut tindakan Paulus van Caerden ketika datang ke Aceh menggunakan dua kapal, menenggelamkan kapal dagang Aceh serta merampas muatannya berupa lada, lalu pergi meninggalkan Aceh.

Peristiwa penting lainnya selama Malahayati menjadi Laksama adalah ketika ia mengirim tiga utusan ke Belanda, yaitu Abdoelhamid, Sri Muhammad dan Mir Hasan ke Belanda. Ketiganya merupakan duta-duta pertama dari sebuah kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Belanda. Banyak cacatan orang asing tentang Malahayati. Kehebatannya memimpin sebuah angkatan perang ketiga itu diakui oleh negara Eropa, Arab, Cina, dan India.

Pendidikan Militer
Keumalahayati dilahirkan di Aceh Besar pada tahun 1550. Pada masa kanak-kanak dan remaja ia mendapat pendidikan istana. Keumalahayati masih berkerabat dengan Sultan Aceh. Ayah dan kakeknya berbakti di Kesultanan Aceh sebagai Panglima Angkatan Laut. Dari situlah semangat kelautan Keumalahayati muncul. Ia kemudian mengikuti jejak ayah dan kakeknya dengan menempuh pendidikan militer jurusan angkatan laut di akademi Baitul Maqdis.

Pada 1585–1604, dia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV. Keumalahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal.

Perjuangannya melawan penjajah dimulai setelah terjadinya pertempuran di Teluk Haru. Armada laut Kesultanan Aceh melawan armada Portugis. Pada pertempuran itu, Laksamana Zainal Abidin, suami Keumalahayati, gugur. Setelah suaminya wafat, dia mengusulkan kepada Sultan Aceh untuk membentuk pasukan yang terdiri dari janda prajurit Aceh yang gugur dalam peperangan. Permintaan itu dikabulkan. Ia diangkat sebagai pemimpin pasukan Inong Balee dengan pangkat laksamana. Keumalahayati adalah perempuan Aceh pertama yang menyandang pangkat ini.

Mengutip grid.id, Keumalahayati tak hanya cakap di medan perang. Ia juga melakukan perundingan damai mewakili Sultan Aceh dengan pihak Belanda. Perundingan itu adalah upaya Belanda untuk melepaskan Frederick de Houtman yang ditangkap oleh Laksamana Keumalahayati.

Perdamaian itu terwujud. Frederick de Houtman dilepaskan namun Belanda harus membayar ganti rugi kepada Kesultanan Aceh. Laksamana Keumalahayati juga menjadi orang yang menerima James Lancaster, duta utusan Ratu Elizabeth I dari Inggris. Keumalahayati meninggal dunia pada 1615. Makamnya terletak di Desa Lamreh, Kecamatan Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar.



Inong Balee Masa DOM
Inong balee kembali muncul dalam sejarah perempuan Aceh sekira 1989. Saat itu konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah RI sedang memuncak. Pada 1990, pemerintah RI bahkan menetapkan Aceh dalam status Daerah Operasi Militer (DOM).

Pada masa ini, makna Inong Balee bukan hanya para janda perang, tapi juga para gadis dan perempuan bersuami yang tergabung dalam GAM. Mereka pun turut melawan pemerintah RI dan angkatan bersenjata Indonesia. Tak sekadar mengangkat senjata, mereka pun berperan dalam banyak aspek, mulai dari dapur umum, perawatan, logistik, propaganda, dan intelijen.

Mengutip Al Chaidar dalam Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status DOM di Aceh 1989-1998 (1998) dijelaskan, pergesaran makna itu dipengaruhi oleh perubahan perilaku dan mentalitas di saat konflik. Pada saat itu, kekerasan bersenjata antara kelompok GAM dengan angkatan bersenjata Indonesia semakin panas.

Begitu juga Reni Nuryanti dalam Perempuan Berselimut Konflik (2012) menerangkan, perempuan Aceh pun mulai memposisikan diri lebih aktif dalam konflik. Sejak 1990, mereka bukan lagi sekedar objek konflik atau instrumen teror, melainkan terlibat sebagai subjek peristiwa.

Pada masa-masa itulah Inong Balee digunakan untuk menyebut para tentara perempuan itu. Julukan ini diberikan oleh Panglima GAM Tengku Abdullah Syafei. Secara resmi, penyebutan Inong Baleesebagai tentara perempuan GAM dinyatakan oleh Juru Bicara GAM Sofyan Dawood pada ulang tahun GAM pada 2000.

Dalam konteks masa DOM, pilihan menjadi Inong Balee bagi perempuan Aceh adalah sebuah konsekuensi pada pilihan hidup atau mati. Namun begitu, posisi inong balee tetaplah penting dalam sejarah Aceh.

Bahan Tulisan: Laksamana Malahayati: Sang Perempuan Keumala oleh Endang Moerdopo
Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status DOM di Aceh 1989-1998 (1998)
Perempuan Berselimut Konflik (2012) oleh Reni Nuryanti
Diolah berbagai sumber
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1709 seconds (0.1#10.140)