Senyum Aulia dan Jalan Cadas Merawat Kebahagiaan di Tengah Pandemi
loading...
A
A
A
SURABAYA - Kehidupan di Surabaya, adalah bingkai manis dari senyuman. Ketika banyak senyum anak-anak yang direnggut karena pandemi COVID-19, kebahagiaan itu harus dikembalikan. Mereka yang sudah kehilangan harta terbaiknya dalam kehidupan kini masih merawat harapan.
Pagi benar-benar menerkam ketika Hery Puspo (15), terbangun dalam tidurnya. Di sebuah kamar yang sempit dengan kasur lipat tipis yang sudah kumal. Matanya masih lengket. Pandangannya kini lurus ke arah jam dinding yang sudah menunjukan pukul 05.40 WIB.
Hery mulai duduk dan meraih sebotol air mineral yang ada di samping kasurnya, beberapa tegukan sudah cukup mengembalikan kesadaranya. Ia terdiam dan coba untuk bangkit dan membuka jendela, memberikan kesempatan angin pagi dan mentari yang siap menyambutnya untuk segera masuk ke dalam rumah.
Pagi itu berjalan tanpa suara. Tak ada satu pun kata yang meluncur dari mulutnya. Ia hanya terdiam, sambil melihat dinding-dinding rumah yang menjadi saksi bisu kehangatan keluarganya. Suara ibunya yang dulu selalu mengema untuk membangunkan anak-anaknya Salat Subuh.
Atau suara Aulia Marisa, adik bungsunya yang merengek minta diambilkan susu dan guling kesukaannya. "Hari ini adik-adik menginap di Bronggalan, rumah saudara. Saya tidur sendirian di rumah," katanya, Selasa (30/11/2021).
Saat selesai dari kamar mandi, suara orang mengetuk pintu mengalihkan perhatiannya. Bergegas Hery menghampiri, sisa-sisa air masih menempel dipungungnya yang belum sempat disapu dengan handuk.
Ketika pintu dibuka, dua orang perempuan dengan masker coklat menyapanya dengan hangat. Ia memberikan tiga kantong makanan untuk sarapan Hery dan kedua adiknya, lengkap dengan minuman serta puding coklat dengan toping buah straberry di atasnya.
Mereka masih bercakap ringan dengan begitu renyah, kedua perempuan itu merupakan utusan dari Pemkot Surabaya yang setiap hari mendatangi rumahnya, untuk mengantarkan makanan dan memastikan anak-anak sehat.
Hery langsung menyantap makanan itu. Menu nasi pecel dengan telor balado serta tempe bacem yang dipadukan bersama sambal terasi dan peyek ikan teri langsung dilahapnya. "Tiap hari dikirim makanan dari pemkot, nanti siang pukul 12.00 WIB serta ketika sore menjelang maghrib," ucapnya.
Sejak kedua orang tuanya meninggal dunia karena COVID-19, Hery dan kedua adiknya hidup sendirian di rumah. Mereka membagi peran untuk bisa saling menebar senyuman. Mereka tak ingin menyerah dalam kehidupan, semua yang terjadi dalam kehidupan mereka menjadi bagian yang harus terus disyukuri.
Hery sendiri saat ini masih terus merawat mimpinya untuk terus bersekolah. Wasiat dari bapak, Alm Segianto dan ibunya, Almarhumah Deti Susanto yang ingin semua anak-anaknya menyelesaikan pendidikan. "Biar untuk pegangan hidup, kata bapak begitu sejak dulu," katanya.
Ia pun memilih untuk melanjutkan sekolah di SMKN 5 Surabaya. Jurusan listrik diambilnya sebagai bekal dalam pengembangan soft skill ke depan. "Almarhum bapak dan ibu ingin banget lihat anaknya sekolah di SMK," sambungnya.
Anak berbadan tegap itu kemudian bercerita, dulu ketika bapaknya yang berprofesi sebagai sopir memiliki cita-cita ketiga anaknya hidup bahagia. Beberapa kali temannya datang ke rumah dan menyarankan Hery untuk menekuni dunia kelistrikan. "Banyak peluang untuk pekerjaan. Bapak dan ibu tiap malam selalu berdoa biar saya bisa sekolah di SMK, akhirnya doa itu terwujud," ucapnya.
Hery dan kedua adiknya yakni Sigit Budianto dan Aulia Marisa bisa terus bersekolah berkat biaya yang diberikan Pemkot Surabaya melalui Dinas Pendidikan. Hery bisa melanjutkan pendidikan di bangku SMK, Sigit bisa melanjutkan di bangku SMP serta adik bungsunya, Aulia bisa melanjutkan pendidikan di bangku SD.
Mereka bertiga kini memulai kehidupan baru tanpa kedua orang tua. Tanpa ada pelukan hangat yang diberikan di malam hari, tanpa ada dongeng yang disampaikan menjelang tidur dan tidak ada orang yang mengingatkan untuk belajar. "Kami tak mau menyerah, alhamdulilah biaya sekolah tak lagi bayar. Untuk makan juga sudah diberikan. Tetangga juga baik dan selalu membantu," katanya.
Aulia yang masih belia dan masih duduk di bangku kelas 5 SD pun lebih tegar. Awal ketika kedua orang tuanya meninggal karena COVID-19, ia sempat tak mau diajak bicara. Perasaannya terpukul, kesadarannya belum bisa pulih ketika membayangkan wajah ibunya. Orang yang dicintai pergi untuk selamanya.
Sesekali ia masih berharap ibunya muncul dari pintu dapur, membawakannya sepiring makanan dan mereka larut dalam obrolan seputar sekolah dan teman bermain. Ibunya paling suka untuk membuatkannya teh hangat di pagi hari, katanya biar tidak masuk angin. "Pokoknya sekarang harus sekolah, ada mas juga yang bisa jaga Aulia," kata Aulia dengan senyum kecilnya.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi menuturkan, sampai saat ini pihaknya masih mendata berapa banyak warga yang menjadi yatim, piatu, dan yatim piatu karena pandemi COVID-19. Forkopimda Kota Surabaya sepakat untuk berjuang habis-habisan demi kepentingan masyarakat.
Berbagai kendala maupun kebutuhan bagi anak-anak yatim maupun yatim-oiatu karena ditinggak orang tuanya meninggal dunia akan terus dipenuhi. Bahkan, pihaknya menyiapkan asrama bagi anak-anak yang rumahnya tidak layak huni. Tidak hanya itu, pemkot juga akan menjamin pendidikan mereka hingga jenjang kuliah.
"Kita akan berikan asrama jika tidak punya rumah atau rumahnya tidak memenuhi, mereka bisa tinggal di asrama. Kita juga akan biayai pendidikannya sampai dengan kuliah. Sehingga, anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya ini masih merasa mempunyai keluarga besar, yaitu keluarga besar Kota Surabaya," kata Eri.
Tercatat, sampai hari ini ada 1.258 anak yang ditinggal orang tuanya karena terdampak pandemi COVID-19. Mereka terus dilakukan intervensi untuk memastikan sehat, tetap sekolah dan memperoleh kehidupan yang layak. Proses intervensi itu mulai dari bantuan terkait administrasi kependudukan, kesehatan, permakanan hingga bidang pendidikan.
Ribuan anak yang menjadi yatim piatu karena ditinggalkan orang tuanya setelah terpaoar COVID-19 kini terus dipantau. Salah satunya anak-anak yang tak lagi memiliki keluarga untuk mengasuh. UPTD Kalijudan disiapkan untuk menjadi tempat pengasuhan anak-anak.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala DP5A Kota Surabaya, Antiek Sugiharti menuturkan, saat ini Pemkot Surabaya juga tengah memikirkan terkait pengasuhan dari anak-anak tersebut. Utamanya, terhadap anak di bawah umur yang kedua orang tuanya meninggal dunia karena COVID-19.
"Termasuk pengasuhan, kami juga masih komunikasikan. Kalau mereka yang tidak punya pengasuhan dari keluarganya, maka pemkot sudah menyiapkan tempat di UPTD Kalijudan untuk mereka yang tidak punya keluarga," jelasnya.
Ia melanjutkan, dari total 1.258 anak terdampak COVID-19, Pemkot Surabaya sudah memberikan intervensi sekitar 90 persen dari segi administrasi kependudukan. Baik itu terkait pembuatan kartu anak, pengurusan akta kematian orang tua, maupun Kartu Keluarga (KK).
"Mereka (anak-anak) yang sudah berusia 17 tahun, maka KK-nya bisa sendiri yang yatim piatu. Tapi yang belum, maka kita harus mengikutkan di keluarganya. Itu sudah diproses dan mungkin sudah 90 persen," ungkapnya.
Tak hanya intervensi mengenai administrasi kependudukan, Antiek juga menyatakan, bahwa anak-anak tersebut juga sudah mendapatkan bantuan permakanan dari pemkot. "Untuk permakanan, dari Dinsos (Dinas Sosial) untuk anak yatim piatu juga sudah ditindaklanjuti terus, setiap hari dikirim ke masing-masing rumah," ujarnya.
Di samping itu, Antiek menyebut, Pemkot Surabaya juga sudah mengcover biaya kesehatan anak-anak melalui BPJS Kesehatan. Jika sebelum-nya anak-anak itu di-cover biaya kesehatan dari tempat kerja orang tuanya, maka selanjutnya dibiayai oleh pemkot.
"Ketika kemarin mereka orang tuanya ada, maka BPJS-nya bisa dari kantor orang tuanya. Ketika sekarang (orang tua) tidak ada (meninggal), maka oleh pemkot sudah dialihkan dan dibiayai. Itu sudah 99 persen terlaksana," jelasnya.
Sementara terkait bidang pendidikan, Antiek mengaku, bahwa anak-anak terdampak COVID-19 juga sudah difasilitasi oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Baik itu jenjang SD, SMP, SMA/SMK maupun yang sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Sosiolog Universitas Airlangga, Bagong Suyanto menuturkan, anak-anak harus bisa mendapatkan kembali keceriaannya. Kehilangan kedua orang tua menjadi pukulan berat bagi mereka. Situasi ini memang memberikan pengaruh pada karakternya, namun dukungan dari berbagai pihak bisa mengembalikan senyuman itu. "Anak-anak menjalani masa emas dalam membentuk karakter mereka, jadi butuh pengasuhan yang tepat," ungkapnya.
Menekan COVID-19 Lewat Jalur Kolaborasi
Upaya pencegahan penularan COVID-19 di Kota Pahlawan menapaki jalan terjal. Adanya ribuan anak yang kini menjadi yatim piatu menjadi bukti ganasnya penularan COVID-19.
Langkah Eri Cahyadi untuk menutup Surabaya melakukan swab massal sempat meninggalkan jejak yang panjang. Bahkan, Eri menjadi satu-satunya kepala daerah di Indonesia yang sempat didemo warga dari kabupaten di luar Surabaya. Terbukti, langkah itu menjadi penyelamat bagi warga Surabaya dari ganasnya varian delta.
Saat subuh masih berkumandang, beberapa orang di kaki Jembatan Suramadu membongkar paksa penyekatan. Raut kekecewaan tergambar jelas dari mereka karena sulit untuk masuk ke Surabaya dan harus menjalani tes antien.
Beberapa hari kemudian, ribuan orang dari berbagai daerah di Madura mengepung Balai Kota Surabaya. Eri yang memakai baju putih dengan setelan celana hitam dan berpeci menemui mereka di pelataran balai kota.
Mereka pun diajak untuk shalawatan, sehingga kondisi semakin aman dan kondusif. Ia menyampaikan bahwa penyekatan di Jembatan Suramadu bukanlah kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Ia memastikan bahwa pihak Pemkot Surabaya hanya menjalankan apa yang diinstruksikan oleh Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Jawa Timur.
"Jadi, saya dan Bupati Bangkalan sama-sama menjalankan tugas yang diinstruksikan oleh Forkopimda Jatim. Sekali lagi, penyekatan itu bukan keputusan saya, kita hanya menjalankan tugas," kata Eri waktu itu.
Jalan tengah pun diambil, mereka berdiskusi dengan ruang kolaborasi. Untuk menekan penularan, Eri memilih langkah yang tak biasa, yakni mengajak kolaborasi kota penyangga di sekitar Surabaya.
"Tidak mungkin kalau hanya Surabaya, karena ini pandemi. Jadi harus bisa bersama-sama. Apa yang terjadi di Surabaya juga berpengaruh di kota tetangga, demikian juga sebaliknya," jelasnya.
Keputusan itu pun tepat, upaya memutus mata rantai penularan diimbangi dengan percepatan vaksinasi yang juga mengajak serta warga di kota-kota penyangga Surabaya. Secara masif, vaksinasi yang diperluas mampu memunculkan kekebalan komunal.
Bahkan, Surabaya juga mengirimkan tenaga kesehatan ke berbagai daerah seperti Sidoarjo, Gresik maupun di Bangkalan. Penanganan bersama dengan gotong royong bersama daerah lain terbukti ampuh untuk menekan jumlah penularan. Secara perlahan, kota di zona Surabaya Raya mulai mengalami penurunan penularan, sampai akhirnya Surabaya bisa masuk ke level 1.
Kondisi itu pun memiliki efek domino pada daerah lainnya, baik di Surabaya maupun kota di tetangganya. Angka penularan terus menurun dan risiko kematian akibat COVID-19 bisa ditekan.
Kondisi itu yang kemudian diimbangi dengan langkah sigap Eri Cahyadi yang menata kembali kebangkitan ekonomi warga. Para UMKM bisa kembali menjual produknya serta disiapkan panggung penjualan baik secara online dengan marketplace serta lapak penjualan di tempat legendaris Surabaya. "Ketika PPKM level 1, sektor ekonomi warga harus kita kerek. Biar mereka bisa pulih secara ekonominya," jelasnya.
Jalan terjal ini menjadi legacy yang dijalani Eri Cahyadi di Kota Pahlawan serta kini menjadi role model nasional dalam menerapkan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) serta pengendalian angka penularan. Kunci yang dipakai dengan berkolaborasi bersama kota penyangga terbukti ampuh untuk bisa membawa Surabaya menekan angka penularan COVID-19.
Baca Juga
Pagi benar-benar menerkam ketika Hery Puspo (15), terbangun dalam tidurnya. Di sebuah kamar yang sempit dengan kasur lipat tipis yang sudah kumal. Matanya masih lengket. Pandangannya kini lurus ke arah jam dinding yang sudah menunjukan pukul 05.40 WIB.
Hery mulai duduk dan meraih sebotol air mineral yang ada di samping kasurnya, beberapa tegukan sudah cukup mengembalikan kesadaranya. Ia terdiam dan coba untuk bangkit dan membuka jendela, memberikan kesempatan angin pagi dan mentari yang siap menyambutnya untuk segera masuk ke dalam rumah.
Pagi itu berjalan tanpa suara. Tak ada satu pun kata yang meluncur dari mulutnya. Ia hanya terdiam, sambil melihat dinding-dinding rumah yang menjadi saksi bisu kehangatan keluarganya. Suara ibunya yang dulu selalu mengema untuk membangunkan anak-anaknya Salat Subuh.
Atau suara Aulia Marisa, adik bungsunya yang merengek minta diambilkan susu dan guling kesukaannya. "Hari ini adik-adik menginap di Bronggalan, rumah saudara. Saya tidur sendirian di rumah," katanya, Selasa (30/11/2021).
Saat selesai dari kamar mandi, suara orang mengetuk pintu mengalihkan perhatiannya. Bergegas Hery menghampiri, sisa-sisa air masih menempel dipungungnya yang belum sempat disapu dengan handuk.
Ketika pintu dibuka, dua orang perempuan dengan masker coklat menyapanya dengan hangat. Ia memberikan tiga kantong makanan untuk sarapan Hery dan kedua adiknya, lengkap dengan minuman serta puding coklat dengan toping buah straberry di atasnya.
Mereka masih bercakap ringan dengan begitu renyah, kedua perempuan itu merupakan utusan dari Pemkot Surabaya yang setiap hari mendatangi rumahnya, untuk mengantarkan makanan dan memastikan anak-anak sehat.
Hery langsung menyantap makanan itu. Menu nasi pecel dengan telor balado serta tempe bacem yang dipadukan bersama sambal terasi dan peyek ikan teri langsung dilahapnya. "Tiap hari dikirim makanan dari pemkot, nanti siang pukul 12.00 WIB serta ketika sore menjelang maghrib," ucapnya.
Sejak kedua orang tuanya meninggal dunia karena COVID-19, Hery dan kedua adiknya hidup sendirian di rumah. Mereka membagi peran untuk bisa saling menebar senyuman. Mereka tak ingin menyerah dalam kehidupan, semua yang terjadi dalam kehidupan mereka menjadi bagian yang harus terus disyukuri.
Hery sendiri saat ini masih terus merawat mimpinya untuk terus bersekolah. Wasiat dari bapak, Alm Segianto dan ibunya, Almarhumah Deti Susanto yang ingin semua anak-anaknya menyelesaikan pendidikan. "Biar untuk pegangan hidup, kata bapak begitu sejak dulu," katanya.
Ia pun memilih untuk melanjutkan sekolah di SMKN 5 Surabaya. Jurusan listrik diambilnya sebagai bekal dalam pengembangan soft skill ke depan. "Almarhum bapak dan ibu ingin banget lihat anaknya sekolah di SMK," sambungnya.
Anak berbadan tegap itu kemudian bercerita, dulu ketika bapaknya yang berprofesi sebagai sopir memiliki cita-cita ketiga anaknya hidup bahagia. Beberapa kali temannya datang ke rumah dan menyarankan Hery untuk menekuni dunia kelistrikan. "Banyak peluang untuk pekerjaan. Bapak dan ibu tiap malam selalu berdoa biar saya bisa sekolah di SMK, akhirnya doa itu terwujud," ucapnya.
Hery dan kedua adiknya yakni Sigit Budianto dan Aulia Marisa bisa terus bersekolah berkat biaya yang diberikan Pemkot Surabaya melalui Dinas Pendidikan. Hery bisa melanjutkan pendidikan di bangku SMK, Sigit bisa melanjutkan di bangku SMP serta adik bungsunya, Aulia bisa melanjutkan pendidikan di bangku SD.
Mereka bertiga kini memulai kehidupan baru tanpa kedua orang tua. Tanpa ada pelukan hangat yang diberikan di malam hari, tanpa ada dongeng yang disampaikan menjelang tidur dan tidak ada orang yang mengingatkan untuk belajar. "Kami tak mau menyerah, alhamdulilah biaya sekolah tak lagi bayar. Untuk makan juga sudah diberikan. Tetangga juga baik dan selalu membantu," katanya.
Aulia yang masih belia dan masih duduk di bangku kelas 5 SD pun lebih tegar. Awal ketika kedua orang tuanya meninggal karena COVID-19, ia sempat tak mau diajak bicara. Perasaannya terpukul, kesadarannya belum bisa pulih ketika membayangkan wajah ibunya. Orang yang dicintai pergi untuk selamanya.
Sesekali ia masih berharap ibunya muncul dari pintu dapur, membawakannya sepiring makanan dan mereka larut dalam obrolan seputar sekolah dan teman bermain. Ibunya paling suka untuk membuatkannya teh hangat di pagi hari, katanya biar tidak masuk angin. "Pokoknya sekarang harus sekolah, ada mas juga yang bisa jaga Aulia," kata Aulia dengan senyum kecilnya.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi menuturkan, sampai saat ini pihaknya masih mendata berapa banyak warga yang menjadi yatim, piatu, dan yatim piatu karena pandemi COVID-19. Forkopimda Kota Surabaya sepakat untuk berjuang habis-habisan demi kepentingan masyarakat.
Berbagai kendala maupun kebutuhan bagi anak-anak yatim maupun yatim-oiatu karena ditinggak orang tuanya meninggal dunia akan terus dipenuhi. Bahkan, pihaknya menyiapkan asrama bagi anak-anak yang rumahnya tidak layak huni. Tidak hanya itu, pemkot juga akan menjamin pendidikan mereka hingga jenjang kuliah.
"Kita akan berikan asrama jika tidak punya rumah atau rumahnya tidak memenuhi, mereka bisa tinggal di asrama. Kita juga akan biayai pendidikannya sampai dengan kuliah. Sehingga, anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya ini masih merasa mempunyai keluarga besar, yaitu keluarga besar Kota Surabaya," kata Eri.
Tercatat, sampai hari ini ada 1.258 anak yang ditinggal orang tuanya karena terdampak pandemi COVID-19. Mereka terus dilakukan intervensi untuk memastikan sehat, tetap sekolah dan memperoleh kehidupan yang layak. Proses intervensi itu mulai dari bantuan terkait administrasi kependudukan, kesehatan, permakanan hingga bidang pendidikan.
Ribuan anak yang menjadi yatim piatu karena ditinggalkan orang tuanya setelah terpaoar COVID-19 kini terus dipantau. Salah satunya anak-anak yang tak lagi memiliki keluarga untuk mengasuh. UPTD Kalijudan disiapkan untuk menjadi tempat pengasuhan anak-anak.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala DP5A Kota Surabaya, Antiek Sugiharti menuturkan, saat ini Pemkot Surabaya juga tengah memikirkan terkait pengasuhan dari anak-anak tersebut. Utamanya, terhadap anak di bawah umur yang kedua orang tuanya meninggal dunia karena COVID-19.
"Termasuk pengasuhan, kami juga masih komunikasikan. Kalau mereka yang tidak punya pengasuhan dari keluarganya, maka pemkot sudah menyiapkan tempat di UPTD Kalijudan untuk mereka yang tidak punya keluarga," jelasnya.
Ia melanjutkan, dari total 1.258 anak terdampak COVID-19, Pemkot Surabaya sudah memberikan intervensi sekitar 90 persen dari segi administrasi kependudukan. Baik itu terkait pembuatan kartu anak, pengurusan akta kematian orang tua, maupun Kartu Keluarga (KK).
"Mereka (anak-anak) yang sudah berusia 17 tahun, maka KK-nya bisa sendiri yang yatim piatu. Tapi yang belum, maka kita harus mengikutkan di keluarganya. Itu sudah diproses dan mungkin sudah 90 persen," ungkapnya.
Tak hanya intervensi mengenai administrasi kependudukan, Antiek juga menyatakan, bahwa anak-anak tersebut juga sudah mendapatkan bantuan permakanan dari pemkot. "Untuk permakanan, dari Dinsos (Dinas Sosial) untuk anak yatim piatu juga sudah ditindaklanjuti terus, setiap hari dikirim ke masing-masing rumah," ujarnya.
Di samping itu, Antiek menyebut, Pemkot Surabaya juga sudah mengcover biaya kesehatan anak-anak melalui BPJS Kesehatan. Jika sebelum-nya anak-anak itu di-cover biaya kesehatan dari tempat kerja orang tuanya, maka selanjutnya dibiayai oleh pemkot.
"Ketika kemarin mereka orang tuanya ada, maka BPJS-nya bisa dari kantor orang tuanya. Ketika sekarang (orang tua) tidak ada (meninggal), maka oleh pemkot sudah dialihkan dan dibiayai. Itu sudah 99 persen terlaksana," jelasnya.
Sementara terkait bidang pendidikan, Antiek mengaku, bahwa anak-anak terdampak COVID-19 juga sudah difasilitasi oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Baik itu jenjang SD, SMP, SMA/SMK maupun yang sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Sosiolog Universitas Airlangga, Bagong Suyanto menuturkan, anak-anak harus bisa mendapatkan kembali keceriaannya. Kehilangan kedua orang tua menjadi pukulan berat bagi mereka. Situasi ini memang memberikan pengaruh pada karakternya, namun dukungan dari berbagai pihak bisa mengembalikan senyuman itu. "Anak-anak menjalani masa emas dalam membentuk karakter mereka, jadi butuh pengasuhan yang tepat," ungkapnya.
Menekan COVID-19 Lewat Jalur Kolaborasi
Upaya pencegahan penularan COVID-19 di Kota Pahlawan menapaki jalan terjal. Adanya ribuan anak yang kini menjadi yatim piatu menjadi bukti ganasnya penularan COVID-19.
Langkah Eri Cahyadi untuk menutup Surabaya melakukan swab massal sempat meninggalkan jejak yang panjang. Bahkan, Eri menjadi satu-satunya kepala daerah di Indonesia yang sempat didemo warga dari kabupaten di luar Surabaya. Terbukti, langkah itu menjadi penyelamat bagi warga Surabaya dari ganasnya varian delta.
Saat subuh masih berkumandang, beberapa orang di kaki Jembatan Suramadu membongkar paksa penyekatan. Raut kekecewaan tergambar jelas dari mereka karena sulit untuk masuk ke Surabaya dan harus menjalani tes antien.
Beberapa hari kemudian, ribuan orang dari berbagai daerah di Madura mengepung Balai Kota Surabaya. Eri yang memakai baju putih dengan setelan celana hitam dan berpeci menemui mereka di pelataran balai kota.
Mereka pun diajak untuk shalawatan, sehingga kondisi semakin aman dan kondusif. Ia menyampaikan bahwa penyekatan di Jembatan Suramadu bukanlah kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Ia memastikan bahwa pihak Pemkot Surabaya hanya menjalankan apa yang diinstruksikan oleh Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Jawa Timur.
"Jadi, saya dan Bupati Bangkalan sama-sama menjalankan tugas yang diinstruksikan oleh Forkopimda Jatim. Sekali lagi, penyekatan itu bukan keputusan saya, kita hanya menjalankan tugas," kata Eri waktu itu.
Jalan tengah pun diambil, mereka berdiskusi dengan ruang kolaborasi. Untuk menekan penularan, Eri memilih langkah yang tak biasa, yakni mengajak kolaborasi kota penyangga di sekitar Surabaya.
"Tidak mungkin kalau hanya Surabaya, karena ini pandemi. Jadi harus bisa bersama-sama. Apa yang terjadi di Surabaya juga berpengaruh di kota tetangga, demikian juga sebaliknya," jelasnya.
Baca Juga
Keputusan itu pun tepat, upaya memutus mata rantai penularan diimbangi dengan percepatan vaksinasi yang juga mengajak serta warga di kota-kota penyangga Surabaya. Secara masif, vaksinasi yang diperluas mampu memunculkan kekebalan komunal.
Bahkan, Surabaya juga mengirimkan tenaga kesehatan ke berbagai daerah seperti Sidoarjo, Gresik maupun di Bangkalan. Penanganan bersama dengan gotong royong bersama daerah lain terbukti ampuh untuk menekan jumlah penularan. Secara perlahan, kota di zona Surabaya Raya mulai mengalami penurunan penularan, sampai akhirnya Surabaya bisa masuk ke level 1.
Kondisi itu pun memiliki efek domino pada daerah lainnya, baik di Surabaya maupun kota di tetangganya. Angka penularan terus menurun dan risiko kematian akibat COVID-19 bisa ditekan.
Kondisi itu yang kemudian diimbangi dengan langkah sigap Eri Cahyadi yang menata kembali kebangkitan ekonomi warga. Para UMKM bisa kembali menjual produknya serta disiapkan panggung penjualan baik secara online dengan marketplace serta lapak penjualan di tempat legendaris Surabaya. "Ketika PPKM level 1, sektor ekonomi warga harus kita kerek. Biar mereka bisa pulih secara ekonominya," jelasnya.
Jalan terjal ini menjadi legacy yang dijalani Eri Cahyadi di Kota Pahlawan serta kini menjadi role model nasional dalam menerapkan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) serta pengendalian angka penularan. Kunci yang dipakai dengan berkolaborasi bersama kota penyangga terbukti ampuh untuk bisa membawa Surabaya menekan angka penularan COVID-19.
(eyt)