Jaga Perdamaian, Wartawan Jangan Jadi Kompor!
loading...
A
A
A
SEMARANG - Pesatnya perkembangan teknologi informasi saat ini diikuti dengan tumbuh subur media sosial di tengah masyarakat. Tak ayal, beragam informasi berseliweran tanpa kendali karena warga pun turut berlomba membagikan kabar paling cepat.
Kepala Biro Sindonews Jateng Khusnul Huda mengatakan, tsunami informasi itu diperparah dengan maraknya media-media online yang tak mengedepankan kode etik jurnalistik, melainkan terpacu untuk mendapatkan viewer (pembaca) terbanyak.
“Sekarang ini atau beberapa tahun belakangan ini banyak muncul media-media yang sifatnya provokatif. Kalau kita lihat di Facebook banyak share link berita dengan judul fantastis, tujuannya agar menarik ketika diklik, dibuka,” kata Huda saat menjadi narasumber dalam diskusi “Pembinaan Manajemen Konflik dan Jurnalisme Damai” yang digelar Kanwil Kemenag Jateng di Hotel Grasia Semarang, Senin (15/11/2021).
“Bahkan pada kasus dana hibah Rp2 triliun dari keluarga Akidi Tio yang ternyata bohong di Sumatera Selatan, itu ada media yang menulis judul Siapa Akidi Tio? Nah, dalam isi beritanya juga tidak menjawab pertanyaan tersebut. Jadi antara judul dan isi masih tanda tanya,” imbuhnya.
Alumnus UIN Walisongo Semarang itu mengatakan, masyarakat mesti cerdas memilih informasi dan tak mudah terpengaruh berita yang belum jelas kebenarannya. Terlebih, kecenderungan orang lebih menyukai informasi dari media sosial ketimbang media massa.
“Saat ini (informasi) tidak hanya dari media massa tetapi juga media sosial. Dan itu kecepatannya luar biasa. Kalau media massa seperti kami masih ada kontrol, setelah dari wartawan ada redaktur, yang menilai berita ini layak atau tidak, ada yang salah diperbaiki. Kemudian lagi di atasnya lagi ada pemimpin redaksi yang mengontrol berita, sehingga kemungkinan terjadi konflik itu bisa diminimalisasi,” ungkapnya.
“Kita berharap para jurnalis juga harus lebih berhati-hati karena bagaimana pun apa yang kita tulis itu juga akan dimintai pertanggungjawaban. Jadi kalau nulis tidak sekadar sembarangan. Jurnalis memeliki peran penting untuk menjaga perdamaian, bukan sekadar kompor atau ngipas-ngipasi agar beritanya semakin menarik,” harap dia.
Sementara Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jateng KH Taslim Syahlan, menyebut konflik yang terjadi di masyarakat biasanya akibat persoalan intoleran, tidak pengertian, tidak menghormati, tidak menghargai kesetaraan, dan tidak kerjasama.
“Kalau saya meyakini potensi kerukunan yang merekatkan masyarakat kita itu sangat besar. Jauh lebih besar daripada potensi-potensi konflik. Karena kita memiliki keraifan local atau local wisdom di masing-masing daerah,” jelas dia.
“Contoh di Salatiga itu ada budaya masyarakat yag saling membagikan makanan ketan. Itu semua golongan dan agama (turut membagikan makanan ketan). Dan ketan memiliki makna filosofis bisa merekatkan,” terangnya lagi.
Selain praktisi media dan Ketua FKUB, narasumber juga menghadirkan Kepala Kesbangpol Jateng Haerudin dan agen muda Binda Jateng Syaifuddin. Acara dibuka oleh Kepala TU Kanwil Kemenag Jateng Fajar Adi Nugroho. Sementara peserta berasal dari Kemenag kabupaten/kota beserta FKUB masing-masing daerah.
Kepala Biro Sindonews Jateng Khusnul Huda mengatakan, tsunami informasi itu diperparah dengan maraknya media-media online yang tak mengedepankan kode etik jurnalistik, melainkan terpacu untuk mendapatkan viewer (pembaca) terbanyak.
“Sekarang ini atau beberapa tahun belakangan ini banyak muncul media-media yang sifatnya provokatif. Kalau kita lihat di Facebook banyak share link berita dengan judul fantastis, tujuannya agar menarik ketika diklik, dibuka,” kata Huda saat menjadi narasumber dalam diskusi “Pembinaan Manajemen Konflik dan Jurnalisme Damai” yang digelar Kanwil Kemenag Jateng di Hotel Grasia Semarang, Senin (15/11/2021).
“Bahkan pada kasus dana hibah Rp2 triliun dari keluarga Akidi Tio yang ternyata bohong di Sumatera Selatan, itu ada media yang menulis judul Siapa Akidi Tio? Nah, dalam isi beritanya juga tidak menjawab pertanyaan tersebut. Jadi antara judul dan isi masih tanda tanya,” imbuhnya.
Alumnus UIN Walisongo Semarang itu mengatakan, masyarakat mesti cerdas memilih informasi dan tak mudah terpengaruh berita yang belum jelas kebenarannya. Terlebih, kecenderungan orang lebih menyukai informasi dari media sosial ketimbang media massa.
Baca Juga
“Saat ini (informasi) tidak hanya dari media massa tetapi juga media sosial. Dan itu kecepatannya luar biasa. Kalau media massa seperti kami masih ada kontrol, setelah dari wartawan ada redaktur, yang menilai berita ini layak atau tidak, ada yang salah diperbaiki. Kemudian lagi di atasnya lagi ada pemimpin redaksi yang mengontrol berita, sehingga kemungkinan terjadi konflik itu bisa diminimalisasi,” ungkapnya.
“Kita berharap para jurnalis juga harus lebih berhati-hati karena bagaimana pun apa yang kita tulis itu juga akan dimintai pertanggungjawaban. Jadi kalau nulis tidak sekadar sembarangan. Jurnalis memeliki peran penting untuk menjaga perdamaian, bukan sekadar kompor atau ngipas-ngipasi agar beritanya semakin menarik,” harap dia.
Sementara Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jateng KH Taslim Syahlan, menyebut konflik yang terjadi di masyarakat biasanya akibat persoalan intoleran, tidak pengertian, tidak menghormati, tidak menghargai kesetaraan, dan tidak kerjasama.
“Kalau saya meyakini potensi kerukunan yang merekatkan masyarakat kita itu sangat besar. Jauh lebih besar daripada potensi-potensi konflik. Karena kita memiliki keraifan local atau local wisdom di masing-masing daerah,” jelas dia.
“Contoh di Salatiga itu ada budaya masyarakat yag saling membagikan makanan ketan. Itu semua golongan dan agama (turut membagikan makanan ketan). Dan ketan memiliki makna filosofis bisa merekatkan,” terangnya lagi.
Selain praktisi media dan Ketua FKUB, narasumber juga menghadirkan Kepala Kesbangpol Jateng Haerudin dan agen muda Binda Jateng Syaifuddin. Acara dibuka oleh Kepala TU Kanwil Kemenag Jateng Fajar Adi Nugroho. Sementara peserta berasal dari Kemenag kabupaten/kota beserta FKUB masing-masing daerah.
(shf)