Rowo Bayu, Pertapaan Prabu Tawang Alun yang Selalu Diselimuti Kabut Misteri
loading...
A
A
A
BANYUWANGI - Musim kemarau belumlah berakhir, saat gerimis mulai menitik di lereng Gunung Raung. Kabut tipis menyelimuti sepanjang jalan setapak yang mendaki. Kicau burung bersautan, di antara hening hutan yang lebat.
Di antara kabut tipis yang menjaga hutan di sisi utara Gunung Raung itu, langkah-langkah pendaki terhenti di telaga berair jernih. Airnya begitu tenang, hanya sesekali saja nampak bergelombang saat angin lembah turun menyapa.
Masyarakat sekitar mengenalnya dengan Rowo Bayu, telaga luas berair jernih yang masuk dalam wilayah Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi. Di antara keheningan di awal September, terlihat sejumlah orang datang ke telaga itu.
Tak banyak kata terucap dari setiap mereka yang datang. Sesekali mereka menghentikan langkah, menegadahkan tangannya lalu berkomat-kamit seperti sedang berbicara dengan orang lain, namun suaranya sangat lirih.
Langkah orang-orang yang mengunjungi telaga itu, terkadang hilang di antara batang-batang pohon kekar yang menjulang bak menara di sekitar telaga. Ya, mereka menyepi lalu membaca doa dan mantra.
Dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam untuk mencapai Rowo Bayu. Jaraknya sekitar 45 km dari pusat Kabupaten Banyuwangi. Jarak perjalanan yang panjang, tak menyurutkan langkah-langkah orang-orang yang ingin melakukan ritual.
Wewangian dari bunga da asap dupa, menyeruak di antara dingin kabut tipis yang menyelimuti seputaran telaga. Di sekitaran telaga juga nampak berdiri stupa, candi, serta makam kuno.
Kawasan hutan dan telaga itu, sangat disakralkan oleh masyarakat sekitarnya. Mereka meyakini, kawasan itu adalah petilasan Prabu Tawang Alun. Yakni, tempat Prabu Tawang Alun bertapa sebelum membuka lahan di lereng Gunung Raung.
Jejak Prabu Tawang Alun di Rowo Bayu, juga diakui oleh juru kunci Rowo Bayu, Saji. "Banyak warga yang datang untuk berdoa. Mereka juga banyak yang meyakini Prabu Tawang Alun, masih ada di petilsan tersebut," terangnya.
Petilasan yang diyakini sebagai tempat pertapaan Prabu Tawang Alun tersebut, luasnya sekitar 4 x 4 meter. Kain kelambu berwarna merah dan putih, juga nampak menutupi seluruh ruangan tersebut.
Di tengah ruangan yang diyakini sebagai tempat bertapa terdapat batu untuk duduk. Peziarah yang datang, akan menyalakan dupa dan menaburkan bunga, serta wewangian di sekitar petilasan tersebut, lalu menggelar doa.
Saji mengatakan, di kawasan Rowo Bayu terdapat lima sumber air, yang memiliki nama sendiri-sendiri. "Sumber pertama disebut Kaputren, lalu ada Dwi Gangga, Sumber Rahayu, Sumber Panguripan, dan terakhir Sumber Kamulian," terangnya.
Warga yang datang ke Rowo Bayu, bukan hanya dari wilayah Banyuwangi saja, melainkan banyak dari luar kota. Salah satunya Sumitro Aji, yang datang ke Rowo Bayu untuk melakukan ritual. "Di sini saya biasa berdoa dan menenangkan diri," ungkapnya.
Para pengunjung Rowo Bayu, tak sekedar berwisata menikmati pemadangan alam dan sejuknya udara pegunungan. Mereka kini banyak yang datang untuk melakukan wisata religi. Tak jarang mereka sengaja datang, dan tinggal beberapa hari dengan tujuan tertentu.
Di antara kabut tipis yang menjaga hutan di sisi utara Gunung Raung itu, langkah-langkah pendaki terhenti di telaga berair jernih. Airnya begitu tenang, hanya sesekali saja nampak bergelombang saat angin lembah turun menyapa.
Masyarakat sekitar mengenalnya dengan Rowo Bayu, telaga luas berair jernih yang masuk dalam wilayah Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi. Di antara keheningan di awal September, terlihat sejumlah orang datang ke telaga itu.
Tak banyak kata terucap dari setiap mereka yang datang. Sesekali mereka menghentikan langkah, menegadahkan tangannya lalu berkomat-kamit seperti sedang berbicara dengan orang lain, namun suaranya sangat lirih.
Langkah orang-orang yang mengunjungi telaga itu, terkadang hilang di antara batang-batang pohon kekar yang menjulang bak menara di sekitar telaga. Ya, mereka menyepi lalu membaca doa dan mantra.
Dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam untuk mencapai Rowo Bayu. Jaraknya sekitar 45 km dari pusat Kabupaten Banyuwangi. Jarak perjalanan yang panjang, tak menyurutkan langkah-langkah orang-orang yang ingin melakukan ritual.
Wewangian dari bunga da asap dupa, menyeruak di antara dingin kabut tipis yang menyelimuti seputaran telaga. Di sekitaran telaga juga nampak berdiri stupa, candi, serta makam kuno.
Kawasan hutan dan telaga itu, sangat disakralkan oleh masyarakat sekitarnya. Mereka meyakini, kawasan itu adalah petilasan Prabu Tawang Alun. Yakni, tempat Prabu Tawang Alun bertapa sebelum membuka lahan di lereng Gunung Raung.
Jejak Prabu Tawang Alun di Rowo Bayu, juga diakui oleh juru kunci Rowo Bayu, Saji. "Banyak warga yang datang untuk berdoa. Mereka juga banyak yang meyakini Prabu Tawang Alun, masih ada di petilsan tersebut," terangnya.
Petilasan yang diyakini sebagai tempat pertapaan Prabu Tawang Alun tersebut, luasnya sekitar 4 x 4 meter. Kain kelambu berwarna merah dan putih, juga nampak menutupi seluruh ruangan tersebut.
Di tengah ruangan yang diyakini sebagai tempat bertapa terdapat batu untuk duduk. Peziarah yang datang, akan menyalakan dupa dan menaburkan bunga, serta wewangian di sekitar petilasan tersebut, lalu menggelar doa.
Saji mengatakan, di kawasan Rowo Bayu terdapat lima sumber air, yang memiliki nama sendiri-sendiri. "Sumber pertama disebut Kaputren, lalu ada Dwi Gangga, Sumber Rahayu, Sumber Panguripan, dan terakhir Sumber Kamulian," terangnya.
Warga yang datang ke Rowo Bayu, bukan hanya dari wilayah Banyuwangi saja, melainkan banyak dari luar kota. Salah satunya Sumitro Aji, yang datang ke Rowo Bayu untuk melakukan ritual. "Di sini saya biasa berdoa dan menenangkan diri," ungkapnya.
Para pengunjung Rowo Bayu, tak sekedar berwisata menikmati pemadangan alam dan sejuknya udara pegunungan. Mereka kini banyak yang datang untuk melakukan wisata religi. Tak jarang mereka sengaja datang, dan tinggal beberapa hari dengan tujuan tertentu.
(eyt)