Keberhasilan Penanganan Covid-19 Pengaruhi Popularitas Pemimpin Dunia
loading...
A
A
A
Jajak pendapat yang dilaksanakan Datafolha, popularitas Bolsanaro hanya 33%. Itu kalah jauh dengan popularitas mantan Menteri Kesehatan Luiz Henrique Mandetta yang dipecat Bolsanaro. Mandetta bisa meraih tingkat popularitas hingga 76% dalam penanganan virus corona. Mandeta mendorong kebijakan jaga jarak sosial, sedangkan Bolsanaro justru menganggap kebijakan itu memperlambat perekonomian Brasil.
PM Jepang Shinzo Abe juga dikritik karena menempuh pendekatan lunak dalam menangani wabah. Kyodo News menyebutkan popularitasnya hanya 40%. Banyak kritik juga meminta Abe untuk mengundurkan diri karena tidak mampu mengatasi wabah virus corona.
“Jepang terlalu bergantung pada strategi cepat untuk mengidentifikasi kluster pada kasus baru,” kata Bruce Klingner, pakar hubungan Jepang di Heritage Foundation, kepada Fox News. “Penanganan Covid-19 di Jepang tidak terlalu seenergi seperti yang dilakukan Korea Selatan yang melakukan pengujian massal dan isolasi wilayah,” katanya.
Namun demikian, banyak pemimpin dunia yang menunjukkan popularitasnya terus meningkat. Popularitas Kanselir Jerman Angela Merkel menunjukkan kenaikan 11% hingga 79% sejak awal Maret dalam survei yang dilaksanakan Forschungsgruppe Wahlen.
Kalau PM Italia Giuseppe Conte, justru menikmati keuntungan kenaikan popularitasnya hingga 71%. Itu merupakan tingkat tertinggi sejak dia berkuasa pada 2018 lalu. Sama seperti Conte, popularitas Presiden Prancis Emmanuel Macron juga meroket hingga 14% sejak Februari lalu hingga 51%. Itu menjadi dukungan paling kuat sejak Juni 2018.
Kalau PM Inggris Boris Johnson yang dikritik karena lambannya penanganan pandemi sebelum dirawat setelah terjangkit virus corona, dia justru mengalami kenaikan. Tingkat kepuasan terhadap kinerjanya mencapai 52% pada survei yang dilaksanakan YouGov. Itu menunjukkan kenaikan dibandingkan Februari lalu. Di Kanada, PM Justin Trudeau justru mengalami kenaikan popularitas hingga 74%. Partai Liberal yang dipimpinnya pun mendapatkan dukungan luas.
Pakar politik asal Amerika Serikat Will Jenning dari Universitas Southampton mengatakan, krisis Covid-19 menjadi kesempatan bagi pemimpin untuk menjadi tokoh pemersatu. "Politik dan media menjadi tidak terlalu penting, tetapi masyarakat merasa terancam dan membutuhkan pemimpin yang mampu melindungi mereka," kata Jenning dilansir Guardian.
Ancaman krisisi ekonomi, menurut Chatherine Fieschi, direktur Global Policy Institute di Universitas Queen Mary London, pemimpin populis justru tidak bisa mengambil kesempatan pada krisis.
PM Jepang Shinzo Abe juga dikritik karena menempuh pendekatan lunak dalam menangani wabah. Kyodo News menyebutkan popularitasnya hanya 40%. Banyak kritik juga meminta Abe untuk mengundurkan diri karena tidak mampu mengatasi wabah virus corona.
“Jepang terlalu bergantung pada strategi cepat untuk mengidentifikasi kluster pada kasus baru,” kata Bruce Klingner, pakar hubungan Jepang di Heritage Foundation, kepada Fox News. “Penanganan Covid-19 di Jepang tidak terlalu seenergi seperti yang dilakukan Korea Selatan yang melakukan pengujian massal dan isolasi wilayah,” katanya.
Namun demikian, banyak pemimpin dunia yang menunjukkan popularitasnya terus meningkat. Popularitas Kanselir Jerman Angela Merkel menunjukkan kenaikan 11% hingga 79% sejak awal Maret dalam survei yang dilaksanakan Forschungsgruppe Wahlen.
Kalau PM Italia Giuseppe Conte, justru menikmati keuntungan kenaikan popularitasnya hingga 71%. Itu merupakan tingkat tertinggi sejak dia berkuasa pada 2018 lalu. Sama seperti Conte, popularitas Presiden Prancis Emmanuel Macron juga meroket hingga 14% sejak Februari lalu hingga 51%. Itu menjadi dukungan paling kuat sejak Juni 2018.
Kalau PM Inggris Boris Johnson yang dikritik karena lambannya penanganan pandemi sebelum dirawat setelah terjangkit virus corona, dia justru mengalami kenaikan. Tingkat kepuasan terhadap kinerjanya mencapai 52% pada survei yang dilaksanakan YouGov. Itu menunjukkan kenaikan dibandingkan Februari lalu. Di Kanada, PM Justin Trudeau justru mengalami kenaikan popularitas hingga 74%. Partai Liberal yang dipimpinnya pun mendapatkan dukungan luas.
Pakar politik asal Amerika Serikat Will Jenning dari Universitas Southampton mengatakan, krisis Covid-19 menjadi kesempatan bagi pemimpin untuk menjadi tokoh pemersatu. "Politik dan media menjadi tidak terlalu penting, tetapi masyarakat merasa terancam dan membutuhkan pemimpin yang mampu melindungi mereka," kata Jenning dilansir Guardian.
Ancaman krisisi ekonomi, menurut Chatherine Fieschi, direktur Global Policy Institute di Universitas Queen Mary London, pemimpin populis justru tidak bisa mengambil kesempatan pada krisis.
(zai)