Keberhasilan Penanganan Covid-19 Pengaruhi Popularitas Pemimpin Dunia

Selasa, 21 April 2020 - 11:19 WIB
loading...
Keberhasilan Penanganan Covid-19 Pengaruhi Popularitas Pemimpin Dunia
Penanganan wabah corona ternyata berpengaruh terhadap popularitas para pemimpin dunia. Foto/Istimewa
A A A
WASHINGTON - Penanganan wabah corona ternyata berpengaruh terhadap popularitas para pemimpin dunia. Sejumlah pemimpin yang dinilai gagal menangani Covid-19 pun mendapat kritikan pedas dari rakyatnya sehingga mengancam karier politiknya. Namun, banyak yang berhasil "memanfaatkan" momentum tersebut untuk mendulang popularitas.

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Perdana Menteri (PM) Shinzo Abe, dan Presiden Brasil Jair Bolsanaro mengalami penurunan popularitas yang mengancam karier politik mereka. Trump menjadi pemimpin dunia yang paling disorot karena terlambat dalam penanganan pandemi virus corona. Dia malah menyalahkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang terlalu berpihak kepada China. Dia pun mengancam China akan menghadapi konsekuensi buruk karena menutupi kasus pandemi sehingga akhirnya mewabah ke seluruh dunia.

Jajak pendapat yang dilaksanakan Gallup menunjukkan popularitas Trump pada kisaran 43% dan tingkat ketidaksepakatan atau “kutukan” mencapai 54% pada April ini. Dibandingkan pada jajak pendapat Maret lalu, tingkat popularitasnya 49%, dan level ketidaksepakatan adalah 45%. CNN pun menyebut Trump menjadi presiden di dunia yang mengalami pergerakan tercepat survei popularitas dalam sejarah politik modern.

Rendahnya tingkat popularitas bisa dikaitkan dengan kegagalan penanganan pandemi Covid-19. Dia memberlakukan isolasi wilayah pada pertengahan Maret yang sangat terlambat. Padahal, dia berniat maju sebagai calon presiden (capres) pada pemilu November mendatang. Namun, semuanya bisa saja berubah ketika vaksin virus corona ditemukan dan ekonomi AS kembali bangkit.

Dalam pandangan Matt Bai, analis politik AS, menyebutkan bahwa ketidakjelasan penanganan pandemi global itu menjadikan publik semakin frustrasi. "Upaya Trump yang selalu tampil dalam konferensi pers setiap hari tentang penanganan virus corona seolah-olah sia-sia saja," kata Bai, dilansir Washington Post.

Apalagi, jajak pendapat Pew Research Center menunjukkan 65% rakyat AS berpikir Trump bertindak lambat dalam melihat ancaman virus corona. "Tujuh dari 10 orang AS menyatakan krisis terburuk akan segera menghantam AS," demikian kesimpulan survei Pew Research Center.

Survei lain yang dilaksanakan Morning Consult menunjukkan tingkat kesetujuan terhadap penanganan virus korona yang dilakukan Presiden Trump hanya negatif 10 pada awal Januari, menjadi negatif 3 pada pertengahan April lalu. Itu menunjukkan Trump dinilai gagal dalam penanganan virus corona. Publik AS pun sangat kecewa kepadanya.

Sejarah politik AS mencatat bahwa dukungan terhadap presiden seharusnya menunjukkan kenaikan saat krisis. Namun, Trump tidak mampu memanfaatkannya. Dukungan tertinggi terjadi pada George W Bush saat serangan teroris 11 September di mana popularitasnya meningkat hingga 89,8%. Hal yang sama juga dialami Presiden Barack Obama saat berhasil membunuh Osama bin Laden. Kemudian, krisis penyanderaan Iran pada 1979 menjadi Presiden Jimmy Carter mengalami peningkatan popularitas dari 32% menjadi 56%.

Namun demikian, popularitas Kongres justru mengalami kenaikan. Survei Gallup yang diterbitkan Gallup menyebutkan popularitas Kongres tertinggi sejak 2009 silam. Itu bisa saja setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berusaha memakzulkan Trump pada tahun lalu.

Selain Trump, Presiden Brasil Jair Bolsanaro disebut sebagai pemimpin terburuk dalam menangani virus korona. Forbes mengungkapkan, popularitasnya mencapai 28-30% dan tingkat ketidaksepakatannya menjadi 40% dalam penanganan virus corona.

Jajak pendapat yang dilaksanakan Datafolha, popularitas Bolsanaro hanya 33%. Itu kalah jauh dengan popularitas mantan Menteri Kesehatan Luiz Henrique Mandetta yang dipecat Bolsanaro. Mandetta bisa meraih tingkat popularitas hingga 76% dalam penanganan virus corona. Mandeta mendorong kebijakan jaga jarak sosial, sedangkan Bolsanaro justru menganggap kebijakan itu memperlambat perekonomian Brasil.

PM Jepang Shinzo Abe juga dikritik karena menempuh pendekatan lunak dalam menangani wabah. Kyodo News menyebutkan popularitasnya hanya 40%. Banyak kritik juga meminta Abe untuk mengundurkan diri karena tidak mampu mengatasi wabah virus corona.

“Jepang terlalu bergantung pada strategi cepat untuk mengidentifikasi kluster pada kasus baru,” kata Bruce Klingner, pakar hubungan Jepang di Heritage Foundation, kepada Fox News. “Penanganan Covid-19 di Jepang tidak terlalu seenergi seperti yang dilakukan Korea Selatan yang melakukan pengujian massal dan isolasi wilayah,” katanya.

Namun demikian, banyak pemimpin dunia yang menunjukkan popularitasnya terus meningkat. Popularitas Kanselir Jerman Angela Merkel menunjukkan kenaikan 11% hingga 79% sejak awal Maret dalam survei yang dilaksanakan Forschungsgruppe Wahlen.

Kalau PM Italia Giuseppe Conte, justru menikmati keuntungan kenaikan popularitasnya hingga 71%. Itu merupakan tingkat tertinggi sejak dia berkuasa pada 2018 lalu. Sama seperti Conte, popularitas Presiden Prancis Emmanuel Macron juga meroket hingga 14% sejak Februari lalu hingga 51%. Itu menjadi dukungan paling kuat sejak Juni 2018.

Kalau PM Inggris Boris Johnson yang dikritik karena lambannya penanganan pandemi sebelum dirawat setelah terjangkit virus corona, dia justru mengalami kenaikan. Tingkat kepuasan terhadap kinerjanya mencapai 52% pada survei yang dilaksanakan YouGov. Itu menunjukkan kenaikan dibandingkan Februari lalu. Di Kanada, PM Justin Trudeau justru mengalami kenaikan popularitas hingga 74%. Partai Liberal yang dipimpinnya pun mendapatkan dukungan luas.

Pakar politik asal Amerika Serikat Will Jenning dari Universitas Southampton mengatakan, krisis Covid-19 menjadi kesempatan bagi pemimpin untuk menjadi tokoh pemersatu. "Politik dan media menjadi tidak terlalu penting, tetapi masyarakat merasa terancam dan membutuhkan pemimpin yang mampu melindungi mereka," kata Jenning dilansir Guardian.

Ancaman krisisi ekonomi, menurut Chatherine Fieschi, direktur Global Policy Institute di Universitas Queen Mary London, pemimpin populis justru tidak bisa mengambil kesempatan pada krisis.
(zai)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2616 seconds (0.1#10.140)