Keluh Kesah Petani Sayur di Tengah PPKM, Hasil Panen Tak Laku hingga Terpaksa Berutang
loading...
A
A
A
BANDUNG - Pandemi COVID-19 dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat ( PPKM ) telah berdampak luas terhadap para pelaku usaha , tak terkecuali petani yang menggantungkan hidupnya dari menjual hasil panen.
Kondisi tersebut sangat dirasakan Abah Jaja, petani sayur asal Desa Cihideung, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat . Akibat PPKM, hasil panen Abah Jaja yang biasa dijual di pasar tradisional tak laku karena pasar tradisional sepi pembeli menyusul banyaknya masyarakat yang memilih belanja online.
“Sekarang mah beda. Sudah cuacanya begini (tak menentu), jualan ke pasar juga beda (sepi). Biasanya ada yang ambil dari Jakarta, dari daerah mana-mana, sekarang tidak ada," keluhnya.
Abah Jaja adalah petani berumur 68 tahun dan sejak kecil telah berprofesi sebagai petani. Meski anak-anaknya kini telah tinggal terpisah jauh darinya, namun dia tetap harus menghidupi empat anggota keluarga yang masih tinggal bersama di rumahnya yang sederhana.
Menurut Abah Jaja, meski terdampak PPKM, dia dan keluarganya belum menerima bantuan apapun dari pemerintah. Alhasil, dia pun kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama keluarga. Bahkan, untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya, Abah Jaja pun terpaksa berutang.
"Enggak punya (bantuan), untuk kebutuhan keluarga ya pinjem dari orang, ngutang," ungkapnya yang diamini istrinya, Sarmi.
Apalagi, lanjut Abah Jaja, dia hanyalah seorang petani penggarap. Sekitar 300 tumbak lahan pertaniannya milik orang lain, hanya sebagian kecil saja yang merupakan miliknya.
Tidak hanya itu, untuk kebutuhan pupuk saja, dia memanfaatkan kotoran kelinci dan domba pemberian tetangganya. Menurut Abah Jaja, sudah setahun terakhir dia kesulitan bertani karena sulitnya mendapatkan modal, terlebih PPKM terus diperpanjang yang membuat hasil panennya tak laku dijual.
Kondisi tersebut sangat dirasakan Abah Jaja, petani sayur asal Desa Cihideung, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat . Akibat PPKM, hasil panen Abah Jaja yang biasa dijual di pasar tradisional tak laku karena pasar tradisional sepi pembeli menyusul banyaknya masyarakat yang memilih belanja online.
“Sekarang mah beda. Sudah cuacanya begini (tak menentu), jualan ke pasar juga beda (sepi). Biasanya ada yang ambil dari Jakarta, dari daerah mana-mana, sekarang tidak ada," keluhnya.
Abah Jaja adalah petani berumur 68 tahun dan sejak kecil telah berprofesi sebagai petani. Meski anak-anaknya kini telah tinggal terpisah jauh darinya, namun dia tetap harus menghidupi empat anggota keluarga yang masih tinggal bersama di rumahnya yang sederhana.
Menurut Abah Jaja, meski terdampak PPKM, dia dan keluarganya belum menerima bantuan apapun dari pemerintah. Alhasil, dia pun kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama keluarga. Bahkan, untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya, Abah Jaja pun terpaksa berutang.
"Enggak punya (bantuan), untuk kebutuhan keluarga ya pinjem dari orang, ngutang," ungkapnya yang diamini istrinya, Sarmi.
Apalagi, lanjut Abah Jaja, dia hanyalah seorang petani penggarap. Sekitar 300 tumbak lahan pertaniannya milik orang lain, hanya sebagian kecil saja yang merupakan miliknya.
Tidak hanya itu, untuk kebutuhan pupuk saja, dia memanfaatkan kotoran kelinci dan domba pemberian tetangganya. Menurut Abah Jaja, sudah setahun terakhir dia kesulitan bertani karena sulitnya mendapatkan modal, terlebih PPKM terus diperpanjang yang membuat hasil panennya tak laku dijual.