Mengarus Utamakan Toleransi, Masyarakat Harus Dapat Informasi Keberagaman
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peneliti senior toleransi dan keberagaman The Wahid Foundation,Alamsyah M Djafar mengatakan bahwa untuk bisa mengarus utamakan toleransi,masyarakat harusdidorong mendapatkan informasi tentang keragaman agama dan keyakinan yang adadiIndonesia. Dia mencontohkan seperti kejadian Menteri Agama (Menag) yang mengucapkan selamat kepada aliran Baha'i.
Baca juga: Kearifan Lokal dan Keberagaman Perkuat Toleransi Masyarakat Papua
"Misalnya setelah kejadian Menag itu muncul pernyataan bahwa Baha'i sesat atau agama baru. Itu sesungguhnya menunjukkan bahwa masyarakat belum mengerti bahwa sebetulnya agama Baha'i itu sudah lama masuk keIndonesia," ujar Alamsyah di Jakarta, Rabu (4/8/2021).
Baca juga: Beri Pembekalan ke Pasis Seskoau, Puan Ajak Perwira TNI Bangun Budaya Toleransi
Karena itu, Alamsyahmenyebut agar masyarakat makin sadar dan makin tahu maka diperlukan pendidikan mengenai keragaman agamayang adadi Indonesia. Hal itu untuk menjelaskan bahwa ada banyak agama di luar6 agamayang sudah diakui.
Apalagi menurutnya, di masa pandemi COVID-19 seperti sekarang ini masyarakat punya lebih banyak waktu menggunakan internet,baik melalui di media sosialdan juga media massa. Sehingga mendapat informasi yang semakin beragam.
"Jadi pertama adalah menginformasikan kepada masyarakat.Kedua adalah memberikan pendidikan kepada anak-anak tentang keragaman agama dan keyakinan yang akan terus tumbuh di Indonesia karena globalisasi dan lain-lain," jelaspria yang juga menjabat sebagai Program Manager di Wahid Foundation ini.
Oleh karena itu, pria yang fokus pada isu kebebasan beragama ini menyampaikan bahwa untuk sampai pada sikap yang terbuka, maka masyarakat harus mengembangkan pola pikir yang terbuka sekaligus kritis. Sehingga ketika menemukan informasi yang baru tidak mudah langsung berburuk sangka dan lain-lain, tetapi bisa bersikap kritis.
"Karena intoleransi itu dalam banyak studi sebenarnya masalah utamanya adalah soal perasaan terancam. Jadi orang-orang yang merasa terancam, bisa jadi kelompoknya, agamanya ataupun kehidupannya terhadap kelompok lain yang tidak dia sukai," terangperaih gelar pasca sarjana bidang Kebijakan Publik dari School of Government and Public Policy (SGPP) Indonesia ini.
Lebih lanjut, Alamsyah menyebut kondisi ini tidak hanya terjadi diIndonesia, tetapi hampir di seluruh dunia. Ia mencontohkan misalnya bagi sebagianKristenkonservatif tidak menyukaiIslam karena informasi yang mereka terima, membuat mereka intoleran.
Baca juga: Kearifan Lokal dan Keberagaman Perkuat Toleransi Masyarakat Papua
"Misalnya setelah kejadian Menag itu muncul pernyataan bahwa Baha'i sesat atau agama baru. Itu sesungguhnya menunjukkan bahwa masyarakat belum mengerti bahwa sebetulnya agama Baha'i itu sudah lama masuk keIndonesia," ujar Alamsyah di Jakarta, Rabu (4/8/2021).
Baca juga: Beri Pembekalan ke Pasis Seskoau, Puan Ajak Perwira TNI Bangun Budaya Toleransi
Karena itu, Alamsyahmenyebut agar masyarakat makin sadar dan makin tahu maka diperlukan pendidikan mengenai keragaman agamayang adadi Indonesia. Hal itu untuk menjelaskan bahwa ada banyak agama di luar6 agamayang sudah diakui.
Apalagi menurutnya, di masa pandemi COVID-19 seperti sekarang ini masyarakat punya lebih banyak waktu menggunakan internet,baik melalui di media sosialdan juga media massa. Sehingga mendapat informasi yang semakin beragam.
"Jadi pertama adalah menginformasikan kepada masyarakat.Kedua adalah memberikan pendidikan kepada anak-anak tentang keragaman agama dan keyakinan yang akan terus tumbuh di Indonesia karena globalisasi dan lain-lain," jelaspria yang juga menjabat sebagai Program Manager di Wahid Foundation ini.
Oleh karena itu, pria yang fokus pada isu kebebasan beragama ini menyampaikan bahwa untuk sampai pada sikap yang terbuka, maka masyarakat harus mengembangkan pola pikir yang terbuka sekaligus kritis. Sehingga ketika menemukan informasi yang baru tidak mudah langsung berburuk sangka dan lain-lain, tetapi bisa bersikap kritis.
"Karena intoleransi itu dalam banyak studi sebenarnya masalah utamanya adalah soal perasaan terancam. Jadi orang-orang yang merasa terancam, bisa jadi kelompoknya, agamanya ataupun kehidupannya terhadap kelompok lain yang tidak dia sukai," terangperaih gelar pasca sarjana bidang Kebijakan Publik dari School of Government and Public Policy (SGPP) Indonesia ini.
Lebih lanjut, Alamsyah menyebut kondisi ini tidak hanya terjadi diIndonesia, tetapi hampir di seluruh dunia. Ia mencontohkan misalnya bagi sebagianKristenkonservatif tidak menyukaiIslam karena informasi yang mereka terima, membuat mereka intoleran.