Mengarus Utamakan Toleransi, Masyarakat Harus Dapat Informasi Keberagaman

Rabu, 04 Agustus 2021 - 20:01 WIB
loading...
Mengarus Utamakan Toleransi, Masyarakat Harus Dapat Informasi Keberagaman
Peneliti toleransi dan keberagaman The Wahid Foundation, Alamsyah M Djafar mengatakan, masyarakat harus didorong mendapatkan informasi keragaman agama dan keyakinan. Foto/Ilustrasi/Antara/Mohammad Ayudha
A A A
JAKARTA - Peneliti senior toleransi dan keberagaman The Wahid Foundation,Alamsyah M Djafar mengatakan bahwa untuk bisa mengarus utamakan toleransi,masyarakat harusdidorong mendapatkan informasi tentang keragaman agama dan keyakinan yang adadiIndonesia. Dia mencontohkan seperti kejadian Menteri Agama (Menag) yang mengucapkan selamat kepada aliran Baha'i.

Baca juga: Kearifan Lokal dan Keberagaman Perkuat Toleransi Masyarakat Papua

"Misalnya setelah kejadian Menag itu muncul pernyataan bahwa Baha'i sesat atau agama baru. Itu sesungguhnya menunjukkan bahwa masyarakat belum mengerti bahwa sebetulnya agama Baha'i itu sudah lama masuk keIndonesia," ujar Alamsyah di Jakarta, Rabu (4/8/2021).

Baca juga: Beri Pembekalan ke Pasis Seskoau, Puan Ajak Perwira TNI Bangun Budaya Toleransi

Karena itu, Alamsyahmenyebut agar masyarakat makin sadar dan makin tahu maka diperlukan pendidikan mengenai keragaman agamayang adadi Indonesia. Hal itu untuk menjelaskan bahwa ada banyak agama di luar6 agamayang sudah diakui.

Apalagi menurutnya, di masa pandemi COVID-19 seperti sekarang ini masyarakat punya lebih banyak waktu menggunakan internet,baik melalui di media sosialdan juga media massa. Sehingga mendapat informasi yang semakin beragam.

"Jadi pertama adalah menginformasikan kepada masyarakat.Kedua adalah memberikan pendidikan kepada anak-anak tentang keragaman agama dan keyakinan yang akan terus tumbuh di Indonesia karena globalisasi dan lain-lain," jelaspria yang juga menjabat sebagai Program Manager di Wahid Foundation ini.

Oleh karena itu, pria yang fokus pada isu kebebasan beragama ini menyampaikan bahwa untuk sampai pada sikap yang terbuka, maka masyarakat harus mengembangkan pola pikir yang terbuka sekaligus kritis. Sehingga ketika menemukan informasi yang baru tidak mudah langsung berburuk sangka dan lain-lain, tetapi bisa bersikap kritis.

"Karena intoleransi itu dalam banyak studi sebenarnya masalah utamanya adalah soal perasaan terancam. Jadi orang-orang yang merasa terancam, bisa jadi kelompoknya, agamanya ataupun kehidupannya terhadap kelompok lain yang tidak dia sukai," terangperaih gelar pasca sarjana bidang Kebijakan Publik dari School of Government and Public Policy (SGPP) Indonesia ini.

Lebih lanjut, Alamsyah menyebut kondisi ini tidak hanya terjadi diIndonesia, tetapi hampir di seluruh dunia. Ia mencontohkan misalnya bagi sebagianKristenkonservatif tidak menyukaiIslam karena informasi yang mereka terima, membuat mereka intoleran.

KemudianIslam garis keras juga intoleran kepada umat beragama lain. Menurutnya, ini terutama terjadi kepada kelompok-kelompok agama yang konservatif dan garis keras.

"Nah kalau orangitutidak merasa terancam hidupnyadan terlihatdamai, maka intoleransi itu tidak akan terjadi. Begitu juga kalau dia tidak memiliki rasa kebencian kepada yang lain, tentu intoleran itujugatidak akan terjadi," ungkapnya

Terlebih ia mengatakan ada juga faktor politisasi, persaingan elit politik yang menggunakan ketidaksukaan di masyarakat itu untuk menarik dukungan. Karena menurutnya, cara paling mudah mencari dukungan adalah menggunakan cara paling primordial terutama etnis, agama atau kelas sosial. Karena itu bisa menarik sentimen di masyarakat.

"Untuk mencegahnya salah satunya bisa dengan menggunakan penegakan hukum bagi tindakan intoleransi dengan bobot yang sangat berbahaya. Sampai menimbulkan kekerasan misalnya. Atau tokoh agama atau pejabat publik, berpidato di depan massa banyak lalu melakukan ujaran kebencian atau kata-kata yang bisa melegitimasi kekerasan itu bisa dikenakan penegakan hukum,"kata alumni bidang Komunikasi Penyiaran Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta ini.

Menurutnya, bagi yang bobot kasusnya berat harus ditangani oleh hukum dan kalau tidak terlalu berat bisa dilakukan pecegahan dengan dilakukan dialog. Kemudian ia juga menambahkan bahwa cara mengarusutamakan toleransi bisa melalui informasi. Karena intoleransi ini bisa terjadi juga karena informasi yang dimiliki ini terbatas atau kurang.

"Contoh soal Baha'i, kenapa mereka merasa Baha’isesat? Karena mereka merasa tidak tahu bahwa sebetulnya Baha'i sudah tumbuh lama di Indonesia. Lalu sekarang tiba-tiba informasi itu mereka baru tahu, dan mereka sebut itu agama baru," tutur Alamsyah.

Alamsyah menyebut bahwa penyebaran informasi ini perlu melalui media mainstream, media sosial, tokoh agama dan juga pemerintah. Sebab pemerintah adalah sumber informasi yang resmi dan lebih banyak didengar oleh masyarakat.

"Mungkin butuh tokoh agama yang lebih dekat dengan masyarakat. Bisa juga dengan pendekatan lokal, bisa denganDesa Damai misalnya atauDesa Pancasila,” ujarnya.
(shf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2321 seconds (0.1#10.140)