Penjual Ayam Goreng Keliling Ini Harus Makan Nasi Aking Demi Bertahan Hidup
loading...
A
A
A
KOTAWARINGIN BARAT - Demi bertahan hidup dalam kondisi ekonomi sulit di tengah mewabahnya Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), seorang ayah di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalteng rela memakan nasi sisa atau biasa disebut aking yang dibelinya di pasar.
Sudah hampir tiga bulan terakhir ini, Hariadi bersama istri, lima anak, dan satu cucu hidup dalam kondisi sangat sulit. Pria 52 tahun warga asli Sragen , Jawa Tengah yang kini sudah memiliki kartu keluarga (KK) dan sudah menjadi penduduk Kotawaringin Barat ini setiap harinya berjualan ayam goreng keliling. (Baca juga: Penanganan Covid-19 di Muba Patut Dicontoh)
“Ya memang benar saya makan nasi aking sejak COVID-19 mewabah di Indonesia. Saya tidak ada pilihan lain. Tapi itu untuk saya saja, anak dan istri tetap makan nasi yang bagus,” ungkap Hariadi di depan rumah kontraknnya, Selasa (26/5/2020) siang.
Dia nekad membeli nasi sisa atau biasa disebut aking di pasar dengan harga Rp5.000 per kilogram. Pendapatannya berjualan ayam goreng keliling menurun drastis sejak mewabahnya virus corona.
Sebelumnya, dia mampu menghabiskan 5-6 kilogram ayam dan membawa uang bersih Rp200.000 dalam sehari. Pelanggannya banyak dari wilayah pesisir Kecamatan Kumai. “Hampir tiga bulan ini saya hanya mendapat uang bersih Rp50.000 per hari. Itu hasil penjualan 2 kilogram ayam setelah dipotong modal dan uang bensin,” ungkapnya.
Bahkan, rumah kontrakannya saat ini belum terbayar. Sewa rumah per tahun Rp8 juta. Beruntung yang punya rumah berbaik hati memberikan keringanan bisa membayar sewa rumah saat ekonomi kembali membaik.
“Saya merantau di Kalimantan sudah sekitar 7 tahunan, hidup mengontrak berpindah-pindah. Namun saat ini saya sudah menjadi warga Kobar dan sudah memiliki KK dan KTP,” ujar bapak ini dengan ceria meski perjalanan hidupnya sangat dramatis.
Dia mengaku selama hidup merantau di Kalimantan pernah menjadi tukang rosok (mencari barang bekas) hingga berjualan ayam goreng demi mencukupi kebutuhan keluarganya.
Meski hidup di bawah garis kemiskinan, tak nampak sama sekali kesedihan di raut wajahnya. Hariadi bisa menutupi kesulitannya dengan selalu optimistis dan tidak patah semangat. “Hidup terus berjalan dan saya harus menjalaninya selagi saya masih bisa berusaha sendiri. Total anak saya sebenarnya ada 7. Tiga anak dari istri pertama, dua anak bawaan dari istri sekarang ditambah 2 anak dari istri sekarang,” ujarnya.
“Namun dua anak saya sudah menetap di Pulau Jawa. Jadi sekarang yang di sini 5 anak. Sebelum COVID-19, satu anak perempuan saya yang sudah punya putra, kerja di Jawa. Karena kerjaannya ditutup, dia balik ke sini. Padahal biasanya anak saya ini ikut membantu keuangan rumah tangga kami,” imbuhnya.
Tak pernah mendapat bantuan
Sejak menjadi warga Kobar, keluarga ini tak tersentuh bantuan sama sekali dari pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat. Bahkan di masa sulit wabah COVID-19. “Pernah saya menanyakan ke pak RT 15, Kelurahan Sidorejo sesuai KK saya. Meski sudah didata, tetap saja saya sampai sekarang tidak pernah menerima bantuan apapun dari pemerintah, tapi ya sudahlah,” ujarnya.
Kegigihan Hariadi menafkahi keluarga meski dalam kondisi sulit patut diacungi jempol. Dia tak berharap banyak atas bantuan pemerintah. Dia lebih baik berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga meski masih sangat kurang.
Bahkan, dia berpikir positif jika memang tidak mendapat bantuan dari pemerintah, akan terus berjuang menafkahi keluargnya. “Ya saya berpikir mungkin masih banyak yang lebih susah dari saya yang berhak mendapat bantuan. Karena saya memang masih mampu berusaha sendiri meski sebenarnya sangat berat,” ujarnya.
Warga setempat, Ema Prastya mengaku sedih melihat tetangganya itu hidup dalam kondisi memprihatinkan. Padahal, rumah Ema tepat di depan rumah kontrakan Hariadi. “Ya mereka ini sudah mengontrak rumah sekitar satu tahun. Selama ini memang mereka jarang bergaul dengan tetangga. Kita awalnya mengira mereka sombong, padahal faktanya tidak begitu,” ujar Ema sambil mengelus dada karena merasa bersalah tidak pernah mengetahui kehidupan keluarga Hariadi.
Bak semut di seberang lautan terlihat, namun gajah dipelupuk mata tak terlihat. “Jadi, tadi pagi saya mampir ke rumah Pak Hariadi langsung lewat garasi dan nembus dapur. Saat itulah saya kaget karena Pak Hariadi memasak nasi aking untuk dikonsumi. Saya sangat sedih sekali saat melihatnya,” ungkapnya.
Ema pun berjanji bersama Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (Forum Puspa) Kobar yang dirinya ketuai akan membantu keluarga Hariadi supaya mendapat bantuan dari pemerintah dan dari donasi masyarakat. “Insha Allah kami sedang mengurus data keluarga Pak Hariadi supaya mendapat bantuan dari pemerintah,” ujarnya.
Sementara itu berdasarkan koordinasi Forum Puspa dengan Dinas Sosial Kobar, rencananya besok (Rabu, 27 Mei 2020) petugas akan mendata keluarga Hariadi sebagai penerima bantuan dari pemerintah. “Dan sekaligus menyerahkan bantuan,” ujarnya.
Sudah hampir tiga bulan terakhir ini, Hariadi bersama istri, lima anak, dan satu cucu hidup dalam kondisi sangat sulit. Pria 52 tahun warga asli Sragen , Jawa Tengah yang kini sudah memiliki kartu keluarga (KK) dan sudah menjadi penduduk Kotawaringin Barat ini setiap harinya berjualan ayam goreng keliling. (Baca juga: Penanganan Covid-19 di Muba Patut Dicontoh)
“Ya memang benar saya makan nasi aking sejak COVID-19 mewabah di Indonesia. Saya tidak ada pilihan lain. Tapi itu untuk saya saja, anak dan istri tetap makan nasi yang bagus,” ungkap Hariadi di depan rumah kontraknnya, Selasa (26/5/2020) siang.
Dia nekad membeli nasi sisa atau biasa disebut aking di pasar dengan harga Rp5.000 per kilogram. Pendapatannya berjualan ayam goreng keliling menurun drastis sejak mewabahnya virus corona.
Sebelumnya, dia mampu menghabiskan 5-6 kilogram ayam dan membawa uang bersih Rp200.000 dalam sehari. Pelanggannya banyak dari wilayah pesisir Kecamatan Kumai. “Hampir tiga bulan ini saya hanya mendapat uang bersih Rp50.000 per hari. Itu hasil penjualan 2 kilogram ayam setelah dipotong modal dan uang bensin,” ungkapnya.
Bahkan, rumah kontrakannya saat ini belum terbayar. Sewa rumah per tahun Rp8 juta. Beruntung yang punya rumah berbaik hati memberikan keringanan bisa membayar sewa rumah saat ekonomi kembali membaik.
“Saya merantau di Kalimantan sudah sekitar 7 tahunan, hidup mengontrak berpindah-pindah. Namun saat ini saya sudah menjadi warga Kobar dan sudah memiliki KK dan KTP,” ujar bapak ini dengan ceria meski perjalanan hidupnya sangat dramatis.
Dia mengaku selama hidup merantau di Kalimantan pernah menjadi tukang rosok (mencari barang bekas) hingga berjualan ayam goreng demi mencukupi kebutuhan keluarganya.
Meski hidup di bawah garis kemiskinan, tak nampak sama sekali kesedihan di raut wajahnya. Hariadi bisa menutupi kesulitannya dengan selalu optimistis dan tidak patah semangat. “Hidup terus berjalan dan saya harus menjalaninya selagi saya masih bisa berusaha sendiri. Total anak saya sebenarnya ada 7. Tiga anak dari istri pertama, dua anak bawaan dari istri sekarang ditambah 2 anak dari istri sekarang,” ujarnya.
“Namun dua anak saya sudah menetap di Pulau Jawa. Jadi sekarang yang di sini 5 anak. Sebelum COVID-19, satu anak perempuan saya yang sudah punya putra, kerja di Jawa. Karena kerjaannya ditutup, dia balik ke sini. Padahal biasanya anak saya ini ikut membantu keuangan rumah tangga kami,” imbuhnya.
Tak pernah mendapat bantuan
Sejak menjadi warga Kobar, keluarga ini tak tersentuh bantuan sama sekali dari pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat. Bahkan di masa sulit wabah COVID-19. “Pernah saya menanyakan ke pak RT 15, Kelurahan Sidorejo sesuai KK saya. Meski sudah didata, tetap saja saya sampai sekarang tidak pernah menerima bantuan apapun dari pemerintah, tapi ya sudahlah,” ujarnya.
Kegigihan Hariadi menafkahi keluarga meski dalam kondisi sulit patut diacungi jempol. Dia tak berharap banyak atas bantuan pemerintah. Dia lebih baik berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga meski masih sangat kurang.
Bahkan, dia berpikir positif jika memang tidak mendapat bantuan dari pemerintah, akan terus berjuang menafkahi keluargnya. “Ya saya berpikir mungkin masih banyak yang lebih susah dari saya yang berhak mendapat bantuan. Karena saya memang masih mampu berusaha sendiri meski sebenarnya sangat berat,” ujarnya.
Warga setempat, Ema Prastya mengaku sedih melihat tetangganya itu hidup dalam kondisi memprihatinkan. Padahal, rumah Ema tepat di depan rumah kontrakan Hariadi. “Ya mereka ini sudah mengontrak rumah sekitar satu tahun. Selama ini memang mereka jarang bergaul dengan tetangga. Kita awalnya mengira mereka sombong, padahal faktanya tidak begitu,” ujar Ema sambil mengelus dada karena merasa bersalah tidak pernah mengetahui kehidupan keluarga Hariadi.
Bak semut di seberang lautan terlihat, namun gajah dipelupuk mata tak terlihat. “Jadi, tadi pagi saya mampir ke rumah Pak Hariadi langsung lewat garasi dan nembus dapur. Saat itulah saya kaget karena Pak Hariadi memasak nasi aking untuk dikonsumi. Saya sangat sedih sekali saat melihatnya,” ungkapnya.
Ema pun berjanji bersama Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (Forum Puspa) Kobar yang dirinya ketuai akan membantu keluarga Hariadi supaya mendapat bantuan dari pemerintah dan dari donasi masyarakat. “Insha Allah kami sedang mengurus data keluarga Pak Hariadi supaya mendapat bantuan dari pemerintah,” ujarnya.
Sementara itu berdasarkan koordinasi Forum Puspa dengan Dinas Sosial Kobar, rencananya besok (Rabu, 27 Mei 2020) petugas akan mendata keluarga Hariadi sebagai penerima bantuan dari pemerintah. “Dan sekaligus menyerahkan bantuan,” ujarnya.
(nbs)