Kunjungi Pabrik Gula PT KTM, DPRD Jawa Timur Sebut Permenperin 3/2021 Bikin Biaya Produksi Tinggi
loading...
A
A
A
LAMONGAN - DPRD Jawa Timur (Jatim) melakukan kunjungan kerja (kunker) ke PT Kebun Tebu Mas (KTM) di Lamongan, Selasa (8/6/2021) guna mengetahui kondisi industri pergulaan saat ini. Rombongan yang dipimpin Ketua Komisi B DPRD Jatim, Aliyadi Mustofa diterima langsung Direktur PT KTM Agus Susanto.
Dalam kesempatan tersebut, Aliyadi Mustofa menyayangkan kebutuhan gula rafinasi untuk industri besar dan Industri Kecil Menengah (IKM) di Jatim harus dipasok dari luar daerah. Sehingga mereka harus mengeluarkan tambahan biaya transportasi lagi. “Akibatnya, terjadi biaya tinggi dalam proses produksi,” katanya.
Kondisi tersebut disebabkan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 3/2021 tentang Jaminan ketersediaan Bahan Baku Industri Gula Dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional. Dalam Permenperin itu disebutkan, pabrik yang dapat mengolah rafinasi dibatasi hanya bagi pabrik yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010. Sedangkan pabrik pengolah gula rafinasi di Jatim tidak ada yang memenuhi kriteria tersebut.
Baca juga: Sudah 8.293 Pengendara di Suramadu Swab Antigen, 53 Orang Positif Setelah Tes Swab PCR
“Kami bersama jajaran pemerintah akan bersama-sama melakukan koordinasi ke Jakarta. Karena Permen itu terbitnya kan di Kementerian di Jakarta. Sehingga untuk menyuarakan ini harus ke Jakarta. Intinya apa yang ada dalam Permen, paling tidak harus berikan arti positif bagi PG (pabrik gula) di Jatim dan masyarakat Jatim,” ungkap Aliyadi.
Hal yang sama juga diutarakan oleh Anggota Komisi B DPRD Jatim, Subianto dari Fraksi Demokrat. Menurutnya, kebutuhan industri di Jatim harusnya disuplai dari perusahaan di Jatim. “Kalau disuplai dari sini (pabrik gula di Jatim), biaya atau ongkosnya lebih murah. Kalau dari daerah lain ada tambahan biaya transportasi. Kasihan para pelaku UMKM dan industri mamin. Kami ingin perekonomian Jatim lebih kondusif,” tegas Subianto.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jatim Drajat Irawan mengungkapkan, penentuan kuota impor ditentukan dalam Rapimtas di Kementerian Lembaga dan sama sekali tidak melibatkan pemerintah provinsi, walaupun dalam sebuah kesempatan yang lain, Gubernur Jatim bersama Disperindag Jatim sempat dipanggil untuk membahas keberadaan gula rafinasi. Padahal Jatim adalah pengguna rafinasi terbesar kedua setelah Jawa Barat dengan rata-rata kebutuhan sebesar 27.000 ton per bulan atau sebesar 324.000 ton per tahun.
Baca juga: BPJamsostek Beri Jaminan untuk yang Kehilangan Pekerjaan, Begini Persyaratannya
“Variabel jelas, yang dapat izin impor hanya 11 perusahaan di luar Jatim. Sehingga harus ada biaya transportasi. Kedua KTM telah membangun PG dengan teknologi yang tidak bisa ditransformasikan. Sehingga ketika kebutuhan gula rafinasi disuplai dari sini (KTM), maka akan ada efisiensi. Tetapi di sisi lain Permenperin itu juga ada semangat lumbung pangan. Ini yang harus dipikirkan juga,” ujar Drajat.
Pada kesempatan tersebut, Direktur KTM Agus Susanto menyatakan komitmennya untuk membantu pemerintah menyukseskan swasembada gula nasional. Salah satunya melalui kebijakan beli putus dan jaminan rendemen minimal 7% kepada petani tebu yang menjadi mitra KTM. “Melalui kebijakan ini, petani menjadi senang dan merasa diuntungkan sehingga mereka memiliki gairah untuk memperluas lahan tebu mereka,” ujarnya.
Hingga saat ini, total lahan tebu petani yang menjadi mitra KTM mencapai 9.761 hektar. Sedangkan lahan milik sendiri atau kerjasama yang dikelola oleh KTM mencapai 14,94% dari target 4.457 hektar. Lahan tebu itu tersebar di Lamongan, Tuban, Bojonegoro dan Gresik.
Dalam kesempatan tersebut, Aliyadi Mustofa menyayangkan kebutuhan gula rafinasi untuk industri besar dan Industri Kecil Menengah (IKM) di Jatim harus dipasok dari luar daerah. Sehingga mereka harus mengeluarkan tambahan biaya transportasi lagi. “Akibatnya, terjadi biaya tinggi dalam proses produksi,” katanya.
Kondisi tersebut disebabkan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 3/2021 tentang Jaminan ketersediaan Bahan Baku Industri Gula Dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional. Dalam Permenperin itu disebutkan, pabrik yang dapat mengolah rafinasi dibatasi hanya bagi pabrik yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010. Sedangkan pabrik pengolah gula rafinasi di Jatim tidak ada yang memenuhi kriteria tersebut.
Baca juga: Sudah 8.293 Pengendara di Suramadu Swab Antigen, 53 Orang Positif Setelah Tes Swab PCR
“Kami bersama jajaran pemerintah akan bersama-sama melakukan koordinasi ke Jakarta. Karena Permen itu terbitnya kan di Kementerian di Jakarta. Sehingga untuk menyuarakan ini harus ke Jakarta. Intinya apa yang ada dalam Permen, paling tidak harus berikan arti positif bagi PG (pabrik gula) di Jatim dan masyarakat Jatim,” ungkap Aliyadi.
Hal yang sama juga diutarakan oleh Anggota Komisi B DPRD Jatim, Subianto dari Fraksi Demokrat. Menurutnya, kebutuhan industri di Jatim harusnya disuplai dari perusahaan di Jatim. “Kalau disuplai dari sini (pabrik gula di Jatim), biaya atau ongkosnya lebih murah. Kalau dari daerah lain ada tambahan biaya transportasi. Kasihan para pelaku UMKM dan industri mamin. Kami ingin perekonomian Jatim lebih kondusif,” tegas Subianto.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jatim Drajat Irawan mengungkapkan, penentuan kuota impor ditentukan dalam Rapimtas di Kementerian Lembaga dan sama sekali tidak melibatkan pemerintah provinsi, walaupun dalam sebuah kesempatan yang lain, Gubernur Jatim bersama Disperindag Jatim sempat dipanggil untuk membahas keberadaan gula rafinasi. Padahal Jatim adalah pengguna rafinasi terbesar kedua setelah Jawa Barat dengan rata-rata kebutuhan sebesar 27.000 ton per bulan atau sebesar 324.000 ton per tahun.
Baca juga: BPJamsostek Beri Jaminan untuk yang Kehilangan Pekerjaan, Begini Persyaratannya
“Variabel jelas, yang dapat izin impor hanya 11 perusahaan di luar Jatim. Sehingga harus ada biaya transportasi. Kedua KTM telah membangun PG dengan teknologi yang tidak bisa ditransformasikan. Sehingga ketika kebutuhan gula rafinasi disuplai dari sini (KTM), maka akan ada efisiensi. Tetapi di sisi lain Permenperin itu juga ada semangat lumbung pangan. Ini yang harus dipikirkan juga,” ujar Drajat.
Pada kesempatan tersebut, Direktur KTM Agus Susanto menyatakan komitmennya untuk membantu pemerintah menyukseskan swasembada gula nasional. Salah satunya melalui kebijakan beli putus dan jaminan rendemen minimal 7% kepada petani tebu yang menjadi mitra KTM. “Melalui kebijakan ini, petani menjadi senang dan merasa diuntungkan sehingga mereka memiliki gairah untuk memperluas lahan tebu mereka,” ujarnya.
Hingga saat ini, total lahan tebu petani yang menjadi mitra KTM mencapai 9.761 hektar. Sedangkan lahan milik sendiri atau kerjasama yang dikelola oleh KTM mencapai 14,94% dari target 4.457 hektar. Lahan tebu itu tersebar di Lamongan, Tuban, Bojonegoro dan Gresik.
(msd)